Patofisiologi Common Cold
Patofisiologi common cold atau selesma berawal dari infeksi virus pada saluran pernapasan atas, termasuk cavum nasi, tenggorokan, sinus maupun faring yang kemudian memicu reaksi inflamasi pada dinding mukosa. Berbeda dengan bakteri, virus memiliki kemampuan untuk menghindar dari sistem imun oleh eskalator mukosiliar dan mekanisme nonimunologis dari tubuh inangnya.[2,5]
Di luar negeri, 80% infeksi saluran pernapasan atas pada musim gugur disebabkan oleh rhinovirus. Virus ini memiliki beberapa metode penularan dan dapat menginfeksi populasi dalam jumlah besar pada waktu tertentu. Penularan yang paling sering terjadi adalah melalui kontak langsung dengan individu yang rentan atau melalui partikel aerosol.
Virus kemudian melakukan inokulasi ke hidung atau mata. Tempat inokulasi utama untuk rhinovirus adalah mukosa hidung, tetapi terkadang dapat melibatkan konjungtiva.[2,6]
Rhinovirus menempel pada epitel pernapasan dan menyebar secara lokal melalui reseptornya. Infeksi hanya melibatkan sebagian kecil epitel. Gejala berkembang 1–2 hari setelah infeksi dan memuncak 2–4 hari setelah inokulasi. Namun, pada beberapa kasus, gejala dapat muncul 2 jam setelah inokulasi dan gejala primer muncul 8–16 jam kemudian.[6.7]
Respons peradangan lokal menyebabkan munculnya gejala rinorea, kongesti nasal, bersin, dan iritasi tenggorokan. Sel yang terinfeksi akan melepaskan interleukin (IL)–8 yang merupakan kemoatraktan poten untuk leukosit polimorfonuklear (PMN).
Banyaknya IL–8 yang disekresikan berhubungan dengan tingkat keparahan gejala common cold. Mediator inflamasi, seperti kinin dan prostaglandin, dapat menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan sekresi kelenjar eksokrin. Pada keadaan ini juga terjadi stimulasi saraf parasimpatis lokal yang menimbulkan gejala rinorea.[6,7]
Antibodi spesifik ditemukan pada hari ke–7 hingga ke–21 pada 80% pasien common cold. Antibodi ini akan bertahan selama bertahun–tahun dan memberikan kekebalan yang tahan lama, walaupun pemulihan penyakit lebih berkaitan dengan imunitas yang dimediasi sel. Perlindungan pada infeksi berulang juga melibatkan antibodi imunoglobulin A (IgA), serum imunoglobulin G (IgG), dan imunoglobulin M (IgM).[6]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli