Diagnosis Infeksi CMV
Diagnosis infeksi CMV atau cytomegalovirus ditegakkan melalui klasifikasi gejala klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis termasuk pemeriksaan serologi, kultur virus, dan radiologi pencitraan.[1]
Anamnesis
Anamnesis pada pasien dengan infeksi CMV dibedakan menjadi pasien yang terinfeksi CMV pada kehamilan, pasien dengan status imunokompromais salah satunya HIV/AIDS maupun pengguna obat kortikosteroid lama, dan pasien dengan status imunokompeten.[1]
Infeksi CMV pada Kehamilan
Gejala infeksi CMV bersifat tidak spesifik dikarenakan gejala yang ada menyerupai terhadap infeksi influenza pada umumnya, seperti lemas, sakit kepala, mudah lelah, batuk, pilek, ataupun adanya gejala infeksi saluran pernafasan. Gejala yang dialami terjadi pada pasien hamil ataupun pasien dengan status imunokompromais. Namun, sekitar 25-50% wanita hamil bersifat asimptomatik.[1]
Infeksi CMV Pasien Imunokompromais
Pada pasien dengan status imunokompromais, seperti pada pasien dengan riwayat transplantasi organ, pasien dengan riwayat penyakit HIV/AIDS maupun riwayat penyakit autoimun sebelumnya, gejala infeksi CMV yang dialami dapat terjadi lebih berat yang ditandai dengan adanya kerusakan sistem organ.
Apabila sudah ada kerusakan sistem organ, umumnya menimbulkan gejala seperti artralgia dan rash tanpa penyebab yang jelas. Sistem pernafasan menjadi target kerusakan sistem organ tersering pada pasien dengan infeksi CMV. Gagal nafas menjadi penyebab kematian umum pada pasien dengan status imunokompromais dengan infeksi CMV.
Selain sistem pernafasan, kerusakan sistem gastrointestinal juga menjadi target organ tersering. Gangguan sistem pencernaan disertai adanya erosi luas pada mukosa traktus digestif menandai kerusakan organ yang terjadi.[11]
Infeksi CMV pada Pasien Imunokompeten
Gejala infeksi CMV pada pasien yang memiliki status imunokompeten cukup berbeda dengan gejala pada pasien dengan status imunokompromais. Gejala pasien dengan status imunokompeten dapat menjadi lebih panjang, misalnya demam yang dialami dapat mencapai 3 minggu.
Gejala khas yang umumnya muncul pada pasien imunokompeten adalah demam yang berkepanjangan, dapat mencapai hingga 3 minggu, malaise, dan keringat malam. Selain itu, gejala penyerta adalah myalgia, nyeri sendi, dan transaminitis. Infeksi CMV juga dapat lebih cepat memberikan gejala yang mengancam nyawa, seperti meningitis, ensefalitis, serta kegagalan organ.[12]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik infeksi CMV dibedakan menjadi pasien dengan infeksi CMV kongenital, pasien dengan status imunokompromais, dan pasien dengan status imunokompeten.
Infeksi CMV Kongenital
Pada bayi, infeksi CMV dapat memberikan kelainan pada pemeriksaan fisik yang dilakukan. Pemeriksaan fisik infeksi CMV pada bayi dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu asimptomatik, asimptomatik dengan tuli sensorineural di mana pasien tidak memiliki gejala apapun terkait infeksi CMV melainkan tuli sensorineural (≥21 desibel), serta simptomatik.[1,4,5]
Simptomatik Derajat Ringan:
Pasien mengalami 1 atau 2 gejala infeksi CMV, antara lain hepatomegali ringan, trombositopenia, atau peningkatan enzim hati SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase) dan SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase).[1,4,5]
Simptomatik Derajat Sedang-Berat
Banyak gejala yang ditemukan, seperti anemia, trombositopenia, petekie, hepatomegali, splenomegali, pertumbuhan terhambat, dan hepatitis (peningkatan enzim hati atau bilirubin). Selain itu, dapat ditemukan kelainan sistem saraf pusat (mikrosefali), korioretinitis, dan tuli sensorineural.[1,4,5]
Kelainan radiologis khas infeksi CMV terdiri dari ventrikulomegali, kalsifikasi intraserebral, ekogenisitas periventricular, dan malformasi serebelum. Pada pasien dapat ditemukan DNA CMV melalui pemeriksaan cairan serebrospinal.[1,4,5]
Manifestasi klinis kelainan sistem saraf pusat pada neonatus dapat diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu tipe paroksismal dan tipe monofasik. Pada tipe paroksismal, gangguan saraf dimanifestasikan sebagai gangguan neurologis fokal, seperti defisit neurologis dan nyeri kepala yang hanya berlangsung dalam hitungan menit hingga jam.[5]
Sedangkan pada tipe monofasik, dikarakteristikan sebagai gangguan neurologis yang berulang, seperti kejang dan gangguan sensorik yang berlangsung berhari-hari.[5]
Infeksi CMV Pasien Imunokompromais
Pemeriksaan fisik menjadi pemeriksaan yang kurang spesifik pada pasien dewasa dengan infeksi CMV. Pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan infeksi CMV umumnya hanya sering ditemukan pada pasien dewasa yang juga memiliki riwayat HIV/AIDS. Pemeriksaan fisik dapat menemukan retinitis, esophagitis, dan enteritis.
Kelainan sistem saraf tepi seperti neuropati perifer dan poliradikuloneuritis juga sering ditemukan sebagai kelainan fisik dari pasien infeksi CMV dengan HIV/AIDS.[11]
Infeksi CMV pada Pasien Imunokompeten
Pemeriksaan fisik yang sering ditemukan pada pasien dengan status imunokompeten seringkali berkaitan dengan kerusakan organ yang, yaitu kolitis, vaskular trombosis, pneumonia, dan miokarditis. Kelainan hematologi, seperti anemia hemolitik dan trombositopenia, juga sering didapatkan pada pasien imunokompeten dengan infeksi CMV.[12-14]
Diagnosa Banding
Infeksi CMV dapat didiagnosis banding dengan infeksi kongenital lainnya, seperti toxoplasmosis, rubella, herpes simpleks, dan penyakit Zika. Pemeriksaan serologi, kultur virus, dan pemeriksaan radiologi menjadi pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis dari setiap infeksi kongenital yang ada.[9,15]
Toxoplasmosis
Toxoplasmosis merupakan infeksi kongenital yang disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Sama seperti infeksi pada CMV, diagnosis pasti dari infeksi toksoplasma ditegakkan melalui pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) dari cairan amnion. Perbedaannya adalah dari DNA mikroorganisme yang ditemukan.
Pemeriksaan USG juga dapat menjadi penentu dari infeksi toksoplasma. Pada gambaran USG, infeksi toksoplasma ditemui adanya gambaran nodul parenkim yang bersifat echogenic, disertai adanya kalsifikasi vokal dimana kalsifikasi pada infeksi toxoplasma umumnya akan tersebar pada parenkim otak, dan ditemukan ventrikulomegali, serta hidrosefalus.[9,15]
Infeksi Virus Herpes Simpleks
Kelainan kongenital akibat virus herpes simpleks di antaranya katarak dan vesikel yang multipel pada tubuh bayi. Infeksi herpes simpleks pada janin umumnya ditegakkan melalui pemeriksaan PCR untuk mendeteksi adanya DNA virus pada janin. Gejala pada janin sendiri dapat dibagi menjadi manifestasi pada kulit, sistem saraf, dan mata.
Manifestasi pada kulit umumnya bayi dilahirkan dengan adanya vesikel yang multipel, ataupun adanya vesikobulosa, ulkus, pustula, eritema yang tersebar diseluruh tubuh. Pemeriksaan sistem saraf dapat ditemukan encephalomalacia, perdarahan otak, meningoensefalitis, dan hipertonus otot. Pemeriksaan mata seringkali disertai keratokonjungtivitis, korioretinitis, katarak, dan ablasio retina.[9,15]
Rubella
Kelainan kongenital pada rubella yaitu katarak, kelainan tulang, dan adanya tanda khas lesi blueberry muffin, yaitu lesi kulit berwarna biru keunguan saat bayi dilahirkan.[9,15]
Penyakit Zika
Virus Zika merupakan virus yang berasal dari famili Flaviviridae dan ditransmisikan melalui nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kelainan kongenital yang disebabkan oleh virus Zika pada janin memiliki kemiripan dengan infeksi CMV kongenital.
Gambaran infeksi virus Zika sendiri yang dapat membedakan dengan infeksi CMV adalah mikrosefali, kalsifikasi sering ditemukan pada corticomedullary junction, ventrikulomegali, dan dapat disertai dengan adanya kelainan serebelum dan atrofi parenkim otak.[9,15]
Infeksi Epstein-Barr
Angka kejadian infeksi virus Epstein-Barr (EBV) lebih sedikit daripada infeksi CMV. Manifestasi klinis khas infeksi EBV adalah faringitis, demam, dan limfadenopati. Selain itu, pemeriksaan penunjang infeksi EBV dapat ditemukan limfositosis dan serologi positif terhadap Epstein Barr.
Perbedaan mononukleosis yang disebabkan oleh CMV adalah jarang ditemui gejala faringitis, serta nilai limfositosis dan transaminitis yang lebih rendah daripada infeksi EBV.[12]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis infeksi CMV adalah pemeriksaan serologi, kultur virus, polymerase chain reaction (PCR), dan pencitraan.[4]
Serologi
Pemeriksaan serologi infeksi CMV terdiri dari IgG dan IgM. Hasil positif pada pemeriksaan IgG mengindikasikan adanya riwayat infeksi CMV masa lampau, sedangkan IgM diindikasikan untuk infeksi akut atau yang sedang berlangsung saat ini.
Namun, hasil IgM kurang berkorelasi dengan kondisi pasien saat pemeriksaan, karena dapat tetap positif selama beberapa bulan setelah infeksi primer. Selain itu, IgM nilai positif pada infeksi CMV dapat berulang. Oleh karena itu, untuk menentukan diagnosis infeksi CMV, dilakukan juga pemeriksaan aviditas IgG untuk membedakan infeksi CMV primer dan sekunder.[11]
Kultur Sel
Kultur sel umumnya dilakukan pada sel fibroblas manusia yang diinokulasikan dengan spesimen tertentu dan diamati selama 2‒21 hari. Hasil positif kultur ditandai dengan sel bergerombol yang bersifat fokal. Kultur sel membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendiagnosis infeksi CMV.[11]
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR merupakan pemeriksaan yang cepat dan sensitif untuk dilakukan dalam mendeteksi infeksi CMV. Pemeriksaan PCR ini dilakukan untuk mendeteksi antigen atau DNA dari virus CMV. DNA virus dapat ditemukan pada sel darah merah, sel leukosit, sel plasma, ataupun cairan tubuh seperti urin dan cairan serebrospinal.
Adapun alur diagnosis dari infeksi CMV adalah dengan menegakkan diagnosis infeksi CMV maternal terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan pada janin.[2,3,4,11]
Pemeriksaan Antigen Virus CMV
Pemeriksaan antigen virus pp65 sudah lama digunakan untuk mendeteksi virus CMV secara kuantitatif. Pemeriksaan ini menggunakan antibodi monoklonal untuk menemukan protein virus pada sel leukosit pada fase replikasi virus. Hasil positif dinyatakan dengan menemukan 2 x 105 sel leukosit yang positif mengandung antigen pp65.[11]
Pemeriksaan antigen virus lainnya yang dapat digunakan adalah pemeriksaan nucleic acid sequence-based amplification (NASBA), dimana pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan mRNA virus (pp67). Pemeriksaan NASBA saat ini dikatakan menjadi lebih sensitif dibanding pemeriksaan antigen pp65.[11]
Imunohistokimia
Pemeriksaan immunohistochemistry dilakukan dengan membuat apusan pada jaringan tubuh atau cairan tubuh yang akan diperiksa. Apusan umumnya dibuat dengan menggunakan teknik biopsy secara frozen section terhadap jaringan tubuh yang diperiksa, contohnya jaringan hepar atau paru-paru.
Apusan ini kemudian akan diperiksa menggunakan fluoresen dan mikroskop dan apabila ditemukan adanya antibodi monoklonal atau poliklonal maka pemeriksaan dikatakan memiliki hasil yang positif.[11]
Diagnosis CMV pada Infeksi Maternal dan Janin
Pemeriksaan serologi untuk menegakkan diagnosis infeksi CMV maternal terdiri dari serokonversi menjadi positif, serta IgG -IgM positif dengan aviditas rendah. Penegakkan diagnosis infeksi CMV umumnya berdasarkan pemeriksaan kadar IgM >300 U/mL, diikuti dengan peningkatan kadar IgG dalam 2‒3 minggu sejak onset gejala.[4,5]
Pemeriksaan IgM positif perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan aviditas IgG. IgM dapat terus menunjukkan hasil positif hingga 6‒9 bulan setelah fase akut. Ibu hamil yang menderita CMV dapat mengalami serokonversi dari IgG negatif menjadi IgG positif.[4,5,7]
Apabila infeksi maternal sudah ditegakkan, maka perlu juga ditegakkan diagnosis infeksi CMV pada janin melalui pemeriksaan PCR dari cairan amnion. Amniosentesis dilakukan pada minggu ke-7 setelah ditegakkan infeksi maternal, di mana kehamilan telah berusia >21 minggu.[4,5,7]
Apabila pemeriksaan PCR janin didapatkan hasil positif infeksi CMV, pemeriksaan USG lakukan serial setiap 2 minggu. Pemeriksaan jumlah DNA virus dalam cairan amnion berbanding lurus terhadap prognosis janin, di mana jumlah virus tinggi akan memberikan manifestasi klinis pada bayi.[4,5,7]
Apabila pemeriksaan PCR janin didapatkan hasil negatif, pemeriksaan USG dapat diulang dalam 4‒6 minggu berikutnya. Hasil USG yang tidak menunjukkan kelainan menandakan tidak ada infeksi CMV pada janin.[4,5,7]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini