Pendahuluan Melioidosis
Melioidosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri Burkholderia pseudomallei. Penyakit ini dapat menyerang manusia melalui paparan langsung dengan tanah atau air yang terkontaminasi, baik melalui inhalasi droplets, inokulasi perkutan, atau ingesti.[1,2]
Diagnosis melioidosis ditegakkan melalui identifikasi Burkholderia pseudomallei pada pemeriksaan laboratorium. Secara klinis, anamnesis faktor risiko dapat membantu mengarahkan diagnosis, sedangkan tanda dan gejala klinis melioidosis tidak spesifik. Didukung adanya faktor risiko, melioidosis dapat dicurigai bila pasien menunjukkan gejala luas tanpa diagnosis lain yang lebih mungkin, khususnya bila disertai demam, gejala pernapasan, lesi kulit, abses organ dalam, atau gejala neurologis, yang tidak membaik dengan terapi empiris standar.[1,3,4]
Tata laksana melioidosis bertujuan untuk mencapai stabilisasi klinis, mengatasi infeksi aktif, serta mencegah rekurensi penyakit. Tata laksana diberikan dalam dua fase, yaitu fase intensif dengan terapi antibiotik intravena selama 2-8 minggu, dan dilanjutkan fase eradikasi dengan antibiotik oral selama 3-6 bulan. Tata laksana juga meliputi perawatan intensif pada sepsis, drainase bedah pada abses, dan kontrol kondisi predisposisi seperti diabetes melitus, penyakit ginjal, dan imunosupresi.[1-3]
Prognosis melioidosis tergantung pada derajat keparahan penyakit dan keberhasilan terapi. Tanpa terapi adekuat, kasus akut dapat berujung pada kematian dalam waktu 24-48 jam akibat sepsis fulminan. Namun, dengan tata laksana yang tepat, prognosis pasien dapat membaik secara signifikan dan risiko kekambuhan dapat ditekan.[1,2]
Edukasi dan promosi kesehatan mengenai melioidosis memegang peran penting dalam upaya pencegahan penyakit dan kekambuhan, terutama pada individu yang memiliki faktor risiko tinggi.[1,4]