Patofisiologi Rubella
Secara patofisiologi, infeksi rubella post natal dan kongenital memiliki persamaan dalam hal mekanisme. Namun, infeksi rubella post natal dan kongenital berbeda dalam hal tingkat kerusakan organ dan komplikasi jangka panjang yang mungkin terjadi.[3-5]
Infeksi Virus Rubella
Setelah transmisi melalui sistem respirasi, virus bereplikasi di nasofaring dan kelenjar limfe regional. Penempelan virus ke sel tubuh terjadi karena mediasi protein E1 dengan cara fusi membran. Transmisi kontak melalui objek yang terkontaminasi sekret nasofaring, darah, dan urine jarang terjadi.[3-5]
Pelekatan Virus Rubella
Virus rubella dapat menginfeksi beberapa jenis sel manusia, yang mengindikasikan reseptor virus rubella banyak ditemui di berbagai sel. Pelekatan virus rubella dimediasi melalui protein E1 melalui fusi endosom.
Ketika virus berada dalam vakuola endosom, pH rendah 6 atau kurang membuat perubahan konformasional pada glikoprotein E1 dan E2 yang membuat fusi envelope virus dengan membran endosom. Salah satu reseptor yang berikatan dengan protein E1 adalah myelin oligodendrocyte glycoprotein (MOG). MOG terdapat dalam sistem saraf pusat dan terdeteksi di beberapa jaringan lain seperti limpa, hati, dan timus.[3]
Perubahan Sitoskeleton pada Infeksi Rubella
Daya tahan virus pada proses patogenesis bergantung pada kemampuan virus dalam memanipulasi proses biologis dari host. Beberapa strategi dilakukan virus untuk memanipulasi proses selular untuk bisa bermultiplikasi secara efisien.
Sel-sel yang terinfeksi virus rubella telah terbukti tumbuh dengan lambat. Beberapa kelompok sel yang terinfeksi virus rubella tumbuh dengan kecepatan setara beberapa generasi sel sejenisnya. Gangguan penyusunan aktin merupakan salah satu penyebab lambatnya tumbuh sel yang diakibatkan gangguan mitosis. Penurunan aktivitas mitosis telah terbukti pada sel embrio yang terinfeksi rubella.[3]
Perubahan Mitokondria Ketika Infeksi Rubella
Hubungan antara mitokondria dan infeksi virus rubella didukung dengan adanya kardiolipin fosfolipid yang spesifik terhadap membran mitokondria internal pada virion virus rubella. Mitokondria berfungsi sebagai tempat untuk virus bereplikasi. Mitokondria pada sel yang terinfeksi berkumpul mengelilingi area replikasi virus. Replikasi virus merupakan proses kompleks yang memerlukan energi secara ekstensif.[3]
Infeksi Rubella dan Apoptosis
Apoptosis memegang peran penting dalam patogenesis infeksi rubella. Telah dihipotesiskan bahwa apoptosis yang diinduksi rubella berhubungan dengan pembentukan sindroma rubella kongenital.
Virus rubella menyebabkan efek sitopatik seperti cell rounding, pelepasan sel dari monolayer pada garis sel seperti Vero dan BHK 21. Dari penelitian membuktikan bahwa terjadi apoptosis yang terinduksi rubella pada kultur non-proliferatif sitotropoblas dan villi korionik yang berasal dari plasenta manusia.[3]
Perubahan Ekspresi Gen Ketika Infeksi Rubella
Perubahan regulasi gen ketika infeksi rubella banyak ditemui pada gen yang berasal dari fetus dan dewasa. Gen-gen yang terlihat jelas di antaranya gen yang terlibat dalam pembentukan organ sensorik seperti Ceroid-lipofuscinosis neuronal 8 (CLN8), Fibroblast growth factor receptor 2 (FGFR2), Frizzled family receptor 3 (FZD3), Jagged 2 (JAG2), Myosin 7A (MYO7A), Nance-Horan syndrome (NHS), Noggin (NOG), and Solute carrier family 25 member 27 (SLC25A27).[3]
Rubella dan Kehamilan
Pada wanita hamil, infeksi plasenta terjadi ketika viremia dan dapat berujung ke infeksi janin melalui rute transplasental. Kerusakan sel-sel janin terjadi karena kerusakan sel dan kerusakan proses pembelahan sel. Infeksi janin sering berujung pada infeksi persisten. Secara tipikal janin mengalami masalah pendengaran, kerusakan mata, dan kelainan kardiovaskular.[3-5]
Imunitas maternal, baik natural maupun didapat dari vaksinasi, secara umum protektif terhadap infeksi rubella intrauterin. Pada pasien hamil yang rentan, setelah menginfeksi plasenta, virus dapat melewati plasenta, dan menyebar melalui sistem vaskular janin. Kerusakan sel-sel fetus dapat berakibat dari nekrosis epitel vili korion, kerusakan langsung dari virus melalui proses apoptosis, inhibisi mitosis dan sel prekursor oleh virus, serta kematian sel karena vasokontriksi pembuluh darah akibat virus.[1]
Risiko Infeksi Fetus
Infeksi maternal rubella tidak harus berujung pada transmisi vertikal ke fetus. Risiko infeksi fetus bervariasi tergantung dari waktu infeksi maternal. Risiko infeksi fetus adalah sebesar 80% pada trimester pertama, 25% pada trimester kedua, 35% pada 27 sampai 30 minggu usia kehamilan, dan hampir 100% setelah 36 minggu usia kehamilan.
Walaupun terjadi infeksi fetus, malformasi organ tidak harus selalu terjadi. Risiko terjadinya malformasi organ pada infeksi fetus adalah 90% ketika infeksi maternal terjadi sebelum 11 minggu; 33% pada 11-12 minggu; 11% pada 13-14 minggu; 24% pada 15-16 minggu; dan 0% setelah 20 minggu usia kehamilan. Hal ini diduga berkaitan dengan transfer pasif antibodi maternal dan dari perkembangan respon imun humoral dan seluler pada fetus.[1]
Rubella Post Natal
Rubella post natal ditransmisikan kebanyakan melalui inhalasi dari partikel aerosol dari individu yang terinfeksi. Virus masuk melalui sel di saluran pernapasan atas melalui endositosis termediasi reseptor. Replikasi awal terjadi pada sel nasofaring dan jaringan limfoid nasofaring dan saluran napas atas.
Individu terinfeksi dapat menularkan virus dari sel-sel saluran napas atas yang terlepas sebelum orang yang terinfeksi bermanifestasi gejala. Viremia terjadi ketika hari ke 5 sampai ke 7 setelah inokulasi. Pada tahap ini virus mengalami diseminasi ke beberapa organ termasuk kulit, kelenjar limfa, dan pada orang yang sedang hamil ke plasenta. Ruam makulopapular terjadi 2 hari sampai 8 hari setelah viremia dan menghilang ketika respon imun muncul, pada masa ini viremia berakhir.[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita