Penatalaksanaan Delirium
Langkah awal untuk penatalaksanaan delirium adalah mengidentifikasi dan menangani penyebabnya. Hal tersebut dilakukan sembarimemastikan keamanan lingkungan bagi pasien dan intervensi suportif.[4,9]
Terapi Farmakologi
Sampai saat ini, belum ada modalitas farmakoterapi yang direkomendasikan untuk delirium Belum ada pula obat yang disetujui oleh FDA khusus untuk pengobatan delirium. Farmakoterapi pada delirium dibagi menjadi dua, yaitu farmakoterapi untuk gangguan yang mendasari dan farmakoterapi untuk gejala-gejala delirium. Tata laksana farmakoterapi untuk delirium hanya diindikasikan untuk kasus-kasus tertentu, misalnya delirium yang disertai dengan agitasi atau delirium akibat penggunaan alkohol atau benzodiazepine.[3,16]
Antipsikotik
Obat yang paling banyak diteliti dan digunakan untuk menangani agitasi pada delirium adalah haloperidol. Haloperidol memblokade reseptor dopamine kortikal dan nigrostriatal, serta menghambat asetilkolin. Dosis haloperidol harus dimulai dari dosis paling kecil dan dengan durasi pemberian sesingkat mungkin.
Karena risiko efek samping ekstrapiramidal yang lebih rendah, saat ini antipsikotik atipikal seperti olanzapine, ziprasidone, risperidone atau quetiapin lebih banyak digunakan untuk penanganan delirium. Antipsikotik atipikal dilaporkan sama aman dan efektif dalam penanganan delirium. In treatment patients with underlying parkinsonism atypical antipsychotics are preferred and haloperidol should be avoided.[21,28,29]
Dosis yang dapat diberikan adalah:
- Haloperidol dosis rendah 0,5–1 mg, dapat diulang 1–2 jam sesuai kebutuhan. Dosis maksimal 5 mg/hari. Obat dapat diberikan secara oral, intramuskular, atau intravena
Risperidone oral 0,5–3 mg, setiap 12 jam
- Olanzapine oral 2,5–15 mg, sekali sehari
- Quetiapin oral 25–200 mg, setiap 12 jam
Benzodiazepine
Benzodiazepin dapat digunakan untuk delirium yang disebabkan oleh withdrawal alkohol atau benzodiazepine. Benzodiazepine juga dapat menjadi pilihan pada kondisi dimana obat antipsikotik dikontraindikasikan. Pada kondisi lain, benzodiazepine sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang delirium. Obat yang menjadi pilihan adalah lorazepam 0,5–1 mg, dapat diulang 1–2 jam sesuai kebutuhan secara per oral atau intravena.[30]
Obat Lain
Ramelteon merupakan agonis reseptor melatonin. Obat ini dapat memperbaiki siklus dan kualitas tidur sehingga mengurangi gejala delirium. Ramelteon diberikan 8 mg secara per oral, 30 menit sebelum tidur.
Vitamin B1 dapat diberikan pada ensefalopati Wernicke. Dosis yang dianjurkan adalah 100 mg (IV), dilanjutkan dengan 50–100mg/hari (IV atau IM).
Vitamin B12 dapat diberikan untuk delirium yang disebabkan kekurangan B12.[2,3,16,17]
Terapi Nonfarmakologi
Pendekatan nonfarmakologi ditujukan untuk meminimalkan dampak agitasi (misalnya dengan restraint fisik) atau justru menjadi strategi pencegahan delirium. Ada berbagai pendekatan nonfarmakoterapi untuk delirium, yaitu manajemen gangguan kognitif, sleep hygiene, mobilisasi awal, dukungan visual dan auditorik, hidrasi, intervensi lingkungan, intervensi untuk reorientasi, intervensi untuk familiarisasi, strategi komunikasi, dan penanganan nyeri.[2,4,18]
Pada pasien usia tua dengan risiko delirium, bisa diberikan intervensi nonfarmakologi untuk mencegah delirium, missal dengan HELP program (Hospital Elder Life Program) yang mencakup.
- Manajemen gangguan kognitif
- Sleep hygiene
- Dukungan visual dan auditorik
- Mobilisasi awal
- Hidrasi[2,3,18]
Tabel 1. Evaluasi dan Manajemen Penyebab Delirium yang Bisa Dimodifikasi
Langkah dan isu kunci | Evaluasi dan penanganan |
Obat-obatan | Pertimbangkan peran etiologi obat-obatan yang baru diterima pasien, peningkatan dosis, interaksi, obat-obat yang dijual bebas, dan konsumsi alkohol. Untuk obat-obat yang menunjukkan potensi risiko tinggi, pertimbangkan untuk menurunkan dosis, menghentikan obat, atau mengganti dengan obat non psikoaktif |
Gangguan elektrolit | Lakukan pemeriksaan dan penanganan, khususnya untuk dehidrasi, gangguan keseimbangan natrium, dan abnormalitas tiroid |
Kekurangan obat | Lakukan penilaian kemungkinan gejala-gejala putus zat akibat penggunaan sedatif jangka panjang, termasuk alkohol dan obat tidur. Lakukan penilaian dan tangani nyeri yang tidak tertangani dengan baik (penggunaan analgesik yang terlalu minimal). Gunakan regimen yang meminimalkan penggunaan opioid |
Infeksi | Evaluasi dan tangani, khususnya infeksi saluran kencing, infeksi saluran napas, dan infeksi jaringan lunak |
Penurunan input sensoris | Tangani masalah yang berhubungan dengan penglihatan (misalnya penggunaan kacamata) dan pendengaran (misalnya penggunaan alat bantu dengar) |
Gangguan intrkranial | Pertimbangkan kemungkinan gangguan neurologi bila ada temuan neurologis fokal baru atau riwayat yang menunjukkan kemungkinan itu, terutama bila penyebab di luar sistem saraf pusat sulit ditemukan |
Gangguan urinasi dan fekal | Lakukan penilaian dan penanganan kemungkinan retensi urine dan impaksi fekal |
Gangguan miokardial dan pulmoner | Lakukan penilaian dan penanganan untuk infark miokard, aritmia, gagal jantung, hipotensi, anemia berat, eksaserbasi PPOK, hipoksia, dan hiperkarbia |
(Sumber: dr. Irwan, 2022)
Tabel 2. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
Cegah atau tangani komplikasi | |
Inkontinensia urine | Terapkan jadawal toileting yang teratur |
Imobilisasi dan risiko jatuh | Hindari restraint fisik, lakukan mobilisasi dengan panduan dan pengawasan, dan terapi fisik |
Ulkus dekubitus | Mobilisasi teratur, reposisi pasien tirah baring secara teratur, dan monitoring rutin lokasi-lokasi tekanan pada tubuh pasien |
Gangguan tidur | Terapkan sleep hygiene, termasuk protocol tidur malam hari, hindari penggunaan sedatif, dan minimalkan gangguan jam tidur pasien (misalnya untuk pemeriksaan tanda vital) |
Gangguan makan | Monitor asupan makanan, bantuan pemberian makan bila diperlukan (misal pemasangan NGT), pencegahan aspirasi, dan suplementasi bila diperlukan |
(Sumber: dr. Irwan, 2022)
Tabel 3. Penanganan Tambahan
Pertahankan kenyamanan dan keamanan pasien | |
Intervensi perilaku | Ajarkan staf rumah sakit untuk melakukan tehnik de-eskalasi untuk pasien delirium yang hiperaktif atau agitatif, dorong kunjungan rutin keluarga |
Intervensi farmakologis | Gunakan antipsikotik potensi tinggi dengan dosis rendah |
Pengembalian fungsi | |
Lingkungan rumah sakit | Suasana tenang tanpa suara bising, pencahayaan yang cukup, dorong keluarga untuk membawa benda-benda familiar dari rumah |
Rekondisi kognitif | Staf rumah sakit membantu reorietasi pasien untuk orang, waktu, dan tempat; setidaknya tiga kali dalam sehari |
Kemampuan aktivitas sehari-hari | Berikan terapi fisik dan okupasi, setelah delirium membaik, sesuaikan kinerja dengan kemampuan pasien |
Edukasi keluarga | Berikan edukasi pada keluarga mengenai delirium, penyebab dan reversibilitasnya, cara untuk berinteraksi dengan pasien yang mengalami delirium, dan peran keluarga dalam mengembalikan fungsi pasien |
Discharge planning dan edukasi | Berikan peningkatan dukungan untuk beraktivitas harian sebagaimana yang diperlukan setelah pulang, ajarkan keluarga untuk mengikuti status mental pasien sebagai barometer proses pemulihan |
(Sumber: dr.Irwan, 2022)
Penulisan pertama oleh: dr. Paulina Livia Tandijono