Diagnosis Gangguan Keinginan dan Gairah Seksual
Diagnosis gangguan keinginan dan gairah seksual (sexual drive disorder) ditegakkan berdasarkan kriteria dalam ICD X atau DSM-V. Pasien jarang mengungkapkan adanya masalah seksual, sehingga bila terdapat kecurigaan masalah seksual, sebaiknya dokter yang mengawali bertanya, bisa dengan instrumen decreased sexual desire screener.[1]
Anamnesis
Mengangkat topik seksual seringkali membuat pasien merasa enggan atau tidak nyaman. Oleh karena itu, proses anamnesis kesehatan seksual bisa diawali dengan meminta pasien untuk mengisi instrumen skrining gangguan seksual, misalnya instrumen decreased sexual desire screener.[1]
Tabel 1. Instrumen Decreased Sexual Desire Screener
Sumber: Goldstein, 2017.[1]
Instrumen lain yang bisa digunakan untuk skrining dan telah divalidasi dalam bahasa Indonesia adalah female sexual function index (FSFI). Namun, instrumen ini hanya bisa digunakan pada pasien perempuan dan mengukur komponen-komponen, seperti gairah seksual, rangsangan, orgasme, nyeri, dan kepuasan.[11]
Anamnesis untuk gangguan keinginan dan gairah seksual mencakup gambaran detail masalah seksual yang dialami, termasuk onset, durasi, tingkat keparahan, dan distress yang dialami akibat masalah ini. Pada perempuan, keluhan mengenai gairah dan keinginan seksual seringkali saling tumpang tindih dengan keluhan seksual lainnya, misalnya keluhan sulit orgasme atau nyeri ketika penetrasi.[1]
Pemeriksaan psikiatri lengkap juga harus dilakukan untuk menyingkirkan gangguan-gangguan psikiatri lain yang berhubungan dengan penurunan keinginan dan gairah seksual. Untuk menegakkan diagnosis, perlu juga dilakukan penilaian apakah stimulasi yang didapatkan ketika beraktivitas seksual adekuat atau tidak.[9]
Pemeriksaan Fisik
Meskipun pemeriksaan fisik sebenarnya tidak diperlukan untuk penegakan diagnosis gangguan keinginan dan gairah seksual, tetapi harus tetap dilakukan. Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup tanda vital dan pemeriksaan lain sesuai dengan riwayat sebelumnya.
Hal ini untuk menyingkirkan faktor-faktor yang mungkin ikut memberikan kontribusi terhadap rendahnya gairah dan keinginan seksual, misalnya kondisi yang menimbulkan nyeri ketika beraktivitas seksual atau insufisiensi hormonal.[1]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab biologis dari gangguan yang dialami. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi klinis, misalnya pemeriksaan kadar prolaktin dan tiroid.
Pemeriksaan testosterone dan hormon seksual tidak diperlukan, kecuali bila ada pertimbangan untuk dilakukan terapi hormonal untuk mengatasi gangguan ini.[1]
Pemeriksaan Prolaktin
Hiperprolaktinemia pada pria dilaporkan berhubungan dengan disfungsi ereksi yang disertai dengan penurunan gairah seksual dan gangguan orgasme. Kadar hormon prolaktin dalam darah bisa diperiksa pada pria yang mempunyai keluhan demikian.[13]
Pada wanita, kadar prolaktin meningkat setelah mengalami orgasme sehingga dihipotesiskan bahwa kadar prolaktin berhubungan dengan kepuasan seksual pada perempuan. Kepuasan seksual akan memodulasi dorongan seksual lewat jaras feedback ke neuron dopaminergik.[14]
Keluhan penurunan gairah seksual pada perempuan mungkin disebabkan karena kegagalan mencapai kepuasan ketika berhubungan seksual yang mungkin disebabkan oleh rendahnya kadar prolaktin, atau tidak ada peningkatan prolaktin pasca berhubungan seksual.[14]
Pemeriksaan Tiroid
Baik hipertiroid maupun hipotiroid dilaporkan berhubungan dengan gangguan libido, baik pada pria maupun wanita. Namun, bukti pengaruh tiroid pada pria masih tumpang tindih.
Sebaliknya pada perempuan dilaporkan bahwa, baik hiper maupun hipotiroid, berhubungan dengan gangguan gairah seksual, rangsangan/lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan nyeri ketika berhubungan seksual.[15]
Pemeriksaan Neuroimaging
Pemeriksaan neuroimaging bisa dilakukan pada pasien-pasien yang mengalami keluhan penurunan gairah seksual, misalnya dengan pemeriksaan MRI. Namun, pemeriksaan-pemeriksaan ini hanya digunakan sebagai sarana penelitian, bukan untuk penegakan diagnosis atau terapi. Gangguan keinginan dan gairah seksual berhubungan dengan disfungsi area fronto-limbik-parietal otak.[16]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari gangguan keinginan dan gairah seksual adalah gangguan mental nonseksual (misalnya depresi berat), penyalahgunaan zat/efek samping obat, dan kondisi medis berat (misalnya diabetes melitus, penyakit endothelial, disfungsi tiroid, penyakit sistem saraf pusat).[9]
Gangguan Mental Nonseksual
Keluhan penurunan libido sering ditemukan pada pasien dengan diagnosis depresi atau pasien dengan gejala-gejala depresi (misalnya skizoafektif tipe depresi, gangguan penyesuaian dengan reaksi depresi).[3,17]
Penyalahgunaan Zat atau Efek Samping Obat
Penyalahgunaan berbagai zat (amphetamine and cocaine use disorder) juga dilaporkan berhubungan dengan timbulnya berbagai keluhan disfungsi seksual, termasuk keluhan penurunan keinginan dan gairah seksual.[18]
Keluhan-keluhan yang sama dengan gangguan keinginan dan gairah seksual juga sering dikeluhkan oleh pasien-pasien yang mendapatkan terapi antipsikotik atau antidepresan. Untuk membedakan apakah keluhan seksual karena penggunaan antidepresan atau depresi, perlu dilakukan pelacakan onset keluhan secara akurat.[3,17,19]
Penyakit Medis Berat
Gangguan keinginan dan gairah seksual sering dialami oleh pasien-pasien yang menderita penyakit medis berat, seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, gagal ginjal akut dan penyakit ginjal kronis, dan HIV. Gangguan ini banyak juga ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis rutin. Pasien-pasien pasca stroke juga sering melaporkan adanya penurunan gairah seksual.[3,20–23]
Kriteria Diagnosis ICD X
Dalam ICD X, gangguan keinginan dan gairah seksual masuk ke dalam kriteria disfungsi seksual di mana pasien mengeluhkan tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan seksual sebagaimana yang diinginkan.
Gangguan keinginan dan gairah seksual ditegakkan apabila masalah utama pasien adalah kehilangan keinginan dan gairah seksual, dan bukan disebabkan oleh masalah seksual lainnya, misalnya gangguan ereksi atau dispareunia.
Gangguan ini tidak menghalangi pasien untuk merasakan kenikmatan atau rangsangan seksual, tapi menyebabkan pasien kesulitan menginisiasi aktivitas seksual. Dalam ICD X tidak dilakukan pembedaan gender untuk gangguan keinginan dan gairah seksual.[12]
Kriteria Diagnosis DSM-V
Dalam DSM-V, gangguan keinginan dan gairah seksual masuk dalam kriteria disfungsi seksual, serta dibedakan antara laki-laki dan perempuan.[9]
Gangguan Keinginan/Rangsangan Seksual pada Perempuan
a. Kurangnya atau penurunan signifikan keinginan/rangsangan seksual yang bermanifestasi sebagai (minimal 3):
- Tidak ada/berkurangnya minat dalam aktivitas seksual
- Tidak ada/berkurangnya pikiran/fantasi yang bersifat erotis atau seksual
- Tidak/berkurangnya inisiasi aktivitas seksual dan biasanya tidak merespon upaya pasangan untuk menginisiasi.
- Tidak ada/berkurangnya kesenangan/kenikmatan seksual ketika beraktivitas seksual pada semua atau hampir semua kesempatan
- Tidak ada/berkurangnya minat/rangsangan seksual sebagai respon terhadap rangsangan-rangsangan seksual/erotis, baik internal maupun eksternal (misalnya tertulis, verbal, visual)
- Tidak ada atau berkurangnya sensasi genital atau nongenital ketika melakukan aktivitas seksual pada semua atau hampir semua kesempatan
b. Gejala-gejala dalam kriteria A telah berlangsung selama minimal 6 bulan.
c. Gejala-gejala pada kriteria A menyebabkan distress yang signifikan.
d. Disfungsi seksual yang terjadi tidak bisa dijelaskan oleh gangguan mental nonseksual. Selain itu, bukan sebagai konsekuensi distress hubungan interpersonal yang berat (misalnya kekerasan oleh pasangan) atau stressor signifikan lainnya, serta bukan disebabkan karena penggunaan zat/obat atau kondisi medis lainnya.
Gangguan Gairah Seksual Hipoaktif pada Laki-Laki
a. Defisiensi (atau tidak ada) pikiran/fantasi erotic/seksual dan gairah untuk ektivitas seksual yang persisten atau rekuren. Penilaian defisiensi dilakukan oleh klinisi dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas seksual, misalnya umur dan konteks sosio-kultural.
b. Gejala-gejala dalam kriteria A telah berlangsung selama minimal 6 bulan.
c.Gejala-gejala pada kriteria A menyebabkan distress yang signifikan.
d. Disfungsi seksual yang terjadi tidak bisa dijelaskan oleh gangguan mental nonseksual. Selain itu, bukan sebagai konsekuensi distress hubungan interpersonal yang berat (misalnya kekerasan oleh pasangan) atau stressor signifikan lainnya, serta bukan disebabkan karena penggunaan zat/obat atau kondisi medis lainnya.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini