Diagnosis Ruptur Ginjal
Diagnosis ruptur ginjal dicurigai pertama kali jika ada riwayat trauma pada area pinggang, baik trauma tumpul maupun tajam. Namun, ruptur ginjal juga dapat terjadi spontan, sehingga harus ditanyakan juga riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pemeriksaan penunjang sensitif yang dapat dilakukan adalah CT scan abdomen. Berdasarkan derajat cedera ginjal dari American Association for the Surgery of Trauma (AAST), ruptur ginjal termasuk derajat 2-laserasi.[1,2,5]
Anamnesis
Anamnesis yang cermat diperlukan dalam menggali informasi kecurigaan ruptur ginjal. Pasien ruptur ginjal biasanya datang dengan keluhan saat berkemih, seperti disuria, nyeri di area pinggang, hematuria, oliguria/anuria, dan gangguan pancaran urin.
Hal-hal yang perlu didapatkan dari anamnesis antara lain:
- Lokasi, onset, dan jenis nyeri yang dialami
- Riwayat dan mekanisme trauma pada area pinggang (flank)
- Adanya proses trauma yang diikuti dengan keluhan saat berkemih dapat menjadi indikator kecurigaan trauma ginjal.
- Riwayat penyakit ginjal sebelumnya, karena pasien trauma dengan riwayat penyakit ginjal lebih berisiko mengalami ruptur ginjal
- Riwayat operasi ginjal sebelumnya [1,2,5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menentukan lokasi, luas, dan keparahan cedera yang dialami. Pada mekanisme trauma tumpul, jejas dapat menjadi indikator lokasi trauma yang terjadi. Adanya jejas pada flank, punggung, dada bagian bawah, dan perut bagian atas dapat meningkatkan kecurigaan terhadap ruptur ginjal.
Pada mekanisme trauma tembus, luka masuk dan luka keluar perlu diidentifikasi. Tanda-tanda peritoneum seperti guarding sign dan rebound tenderness juga perlu diperiksa. Adanya hematuria yang terlihat langsung, hematoma pada perut bagian atas atau flank, terabanya massa, ekimosis atau abrasi, dan fraktur iga merupakan tanda yang harus diwaspadai.[1,2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding ruptur ginjal adalah trauma pada organ saluran kemih lainnya, seperti trauma ureter, trauma buli, dan trauma uretra. Trauma saluran kemih dapat memberikan gambaran anamnesis dan pemeriksaan fisik yang hampir serupa.
Hematuria, baik gross (makroskopik) dan mikroskopik, adalah gejala yang dapat ditemui pada semua jenis trauma saluran kemih, sehingga hematuria tidak dapat dijadikan dasar penegakan diagnosis pada trauma saluran kemih. Pencitraan saluran kemih diperlukan untuk membedakan lokasi trauma saluran kemih.[4,5]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama yang diperlukan dalam penegakan diagnosis ruptur ginjal adalah pencitraan. Pencitraan diperlukan untuk grading ruptur ginjal, mengetahui kelainan ginjal yang dialami sebelumnya, dan mengetahui kerusakan organ lain. Pencitraan yang dapat dilakukan pada ruptur ginjal, antara lain CT scan, intravenous pyelography, dan USG.
Computed Tomography (CT) Scan
CT scan dengan kontras intravena merupakan gold standard penegakan diagnosis pada pasien ruptur ginjal. Pencitraan dengan CT scan dapat menentukan lokasi cedera ginjal dan organ lain dengan cepat dan akurat melalui informasi anatomis dan fisiologis yang diperlukan dalam grading.
CT scan hanya dapat dilakukan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. CT scan diindikasikan pada pasien trauma tumpul dengan gross haematuria atau dengan hematuria mikroskopik disertai hipotensi. CT scan juga diindikasikan pada pasien trauma tembus dengan hematuria, baik mikroskopik maupun makroskopik.[1,2,4]
Intravenous Pyelography (IVP)
IVP digunakan sebagai pencitraan intraoperatif untuk mengetahui anatomis dan fungsional ginjal yang tidak terkena cedera. IVP dapat dilakukan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. IVP dilakukan dengan injeksi kontras one-shot secara bolus dan diikuti foto polos abdomen setelah 10 menit injeksi.[1,2]
Ultrasonography (USG)
USG abdomen dapat dilakukan untuk mengetahui adanya cairan bebas pada abdomen. Hasil pencitraan USG sangat dipengaruhi oleh pengalaman dari operator. Operator yang berpengalaman dapat mendeteksi adanya hematoma dan laserasi ginjal. USG lebih disarankan pada pasien anak. USG juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya batu ginjal, kista ginjal, dan kelainan pada ginjal lainnya.[1,2]
Klasifikasi
Penentuan derajat trauma pada ginjal yang paling banyak digunakan adalah berdasarkan klasifikasi American Association for the Surgery of Trauma (AAST). Klasifikasi AAST ditentukan berdasarkan hasil CT scan ataupun eksplorasi.
AAST dapat menentukan derajat, kebutuhan transfusi darah, kebutuhan nefrektomi, dan prognosis ruptur ginjal. AAST juga dapat digunakan dalam memprediksi morbiditas trauma tumpul dan tembus, serta mortalitas trauma tumpul pada ginjal.[2]
Tabel 1. Derajat Cedera Ginjal Menurut American Association for the Surgery of Trauma (AAST)
Derajat | Deskripsi | |
1 | Kontusio | Hematuria mikroskopik atau gross, studi urologi normal |
Hematoma | Hematoma subkapsular yang tak meluas tanpa laserasi parenkim ginjal | |
2 | Hematoma | Hematoma perirenal yang tidak meluas |
Laserasi | Laserasi korteks ginjal dengan kedalaman <1 cm tanpa ekstravasasi urin | |
3 | Laserasi | Laserasi korteks >1 cm tanpa ruptur sistem pengumpul dan tanpa ekstravasasi urin |
4 | Laserasi | Laserasi parenkim ginjal meluas melalui korteks ginjal, medulla, dan system pengumpul (collecting system) |
Vaskuler | Cedera arteri atau vena segmental dengan hematoma atau laserasi pembuluh darah parsial atau trombosis pembuluh darah | |
5 | Laserasi | Shattered kidney |
Vaskuler | Avulsi hilum ginjal yang menyebabkan devaskularisasi ginjal |
Sumber: Michael Sintong, 2019.[2]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini