Profilaksis antipsikotik diduga dapat menurunkan risiko gangguan psikotik pada pasien dengan risiko tinggi psikosis.
Onset gangguan psikotik di awal usia remaja atau dewasa muda seringkali tidak terdeteksi dan mendapatkan terapi yang tepat dalam beberapa periode waktu.[1] Hal ini berdampak pada kualitas hidup dan performa fungsi harian, sosial, pekerjaan serta fungsi terkait. Identifikasi terhadap awal tanda dan gejala memberikan harapan bahwa kondisi tersebut dapat diminimalkan risikonya dan mencegah terjadinya kondisi gangguan psikotik.[1,2]
Definisi Pasien Risiko Tinggi Gangguan Psikotik (The Ultra-High Risk)
Beberapa publikasi ilmiah mendeskripsikan populasi yang berisiko tinggi mengalami gangguan psikotik masuk dalam kelompok Clinical High Risk (CHR) of Psychosis.[3-5] Meskipun istilah CHR of psychosis atau risiko tinggi gangguan psikotik relatif baru dan belum mendapat terminologi resmi dalam klasifikasi secara klinis, namun ditengarai sebagai istilah yang mampu memberikan tanda bagi klinisi untuk mampu mengenali kondisi pasien lebih baik terkait risiko yang dimiliki. [3-6]
Evaluasi CHR of psychosis berbeda di setiap pusat penelitian namun memiliki persamaan tools pemeriksaan yang diadaptasi dari Structured Interview of Prodrome Syndrome (SIPS), Global Assessment Function (GAF), Early Detection, Intervention, and Prevention of Psychosis Program (EDIPPP), MATRICS Consensus Cognitive Battery (MCCB), Attenuated Positive Symptom Syndrome (APSS), Brief Intermittent Psychotic Syndrome (BIPS), Childhood Trauma and Abuse Scale, Research Interview Life Events Scale dan durasi gejala prodromal yang tidak tertangani.[3-6]
Penelitian kohort oleh Li et al. menilai laju konversi pasien high risk psikosis. Penelitian ini melaporkan setidaknya dalam 1-2 tahun pertama follow up, sekitar 25% pasien yang terkategori dalam CHR tersebut akan mengalami gangguan psikotik sebenarnya.[7] Hal ini memberikan suatu asumsi atau praduga bahwa apabila seseorang ditengarai masuk dalam kriteria risiko tinggi gangguan psikotik, maka klinisi tersebut harus memberikan intervensi klinik sehingga mencegah terjadinya gangguan psikotik.
Manfaat Profilaksis Antipsikotik
Penelitian yang dilakukan oleh Zhang, et al (2020) menunjukkan bahwa dari 309 subjek penelitian yang memiliki risiko tinggi psikotik diberikan antipsikotik selama periode follow up, 203 (65.7%) mendapatkan antipsikotik dosis rendah, beberapa obat yang digunakan adalah aripiprazole (27.8%), olanzapine (18.8%), risperidone (14.6%), amisulpride (11.7%) dan quetiapine (7.4%). [6]
Subjek penelitian yang diberikan olanzapine atau aripiprazole tetap mengalami perubahan menjadi fase aktif gangguan psikotik dibandingkan kelompok tanpa pemberian antipsikotik profilaksis. Pada pemberian risperidone atau olanzapine yang lebih tinggi dosisnya dibandingkan olanzapine/aripiprazole/amisulpride yang lebih lama dikaitkan dengan risiko terjadinya gangguan psikotik yang jauh lebih tinggi.[6]
Pemberian Zat Selain Antipsikotik Tidak Bermanfaat Dalam Pencegahan Gangguan Psikotik
Pemberian zat lain selain antipsikotik sebagai profilaksis juga ditemukan tidak bermanfaat seperti halnya hasil penelitian McGorry, et al (2017) yang membandingkan pemberian ω-3 Polyunsaturated Fatty Acids dengan psikoterapi suportif pada 304 subjek penelitian yang mengalami risiko tinggi psikotik. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada beda signifikan antara kelompok perlakuan dalam 6 bulan dan 12 bulan perlakuan (hazard ratio, 1.1; 95% CI 0.55-2.23; P=.76).[8]
Review yang dilakukan oleh Lieberman, et al. (2019) terhadap 18 penelitian sejak tahun 2002 -2018 pada pasien risiko tinggi psikotik jauh lebih unggul pada intervensi preventif berupa psikoterapi (cognitive behavioral therapy, suportif, non-directive reflective listening, psikoedukasi, problem solving training, cognitive remediation therapy, skill training, konseling) dibandingkan pemberian risperidone, olanzapine, omega-3, glycine, serin, cannabidiol.[9] Dengan demikian, belum didapatkan korelasi positif dari pemberian antipsikotik ataupun zat lain yang dianggap dapat memberikan manfaat sebagai profilaksis pasien risiko tinggi psikotik.
Meskipun tujuan awal profilaksis antipsikotik ditujukan untuk menekan risiko terjadinya gangguan psikotik pada populasi dengan risiko tinggi, namun tidak seluruhnya bermanfaat. Hal ini bisa dikarenakan pemberian antipsikotik akan efektif untuk meredakan gejala psikotik saja, tidak ditujukan sebagai terapi pencegahan dalam jangka waktu lama diakibatkan tidak adanya target spesifik yang dituju.[6]
Peran Dokter Umum Terkait Risiko Tinggi Gangguan Psikotik dan Edukasi Penggunaan Antipsikotik
Pemeriksaan status mental secara menyeluruh menjadi modalitas penapisan diagnosis, sehingga dokter umum diharapkan mampu berpikir sistematis mengenai temuan saat melakukan anamnesis psikiatrik. Penapisan adanya risiko tinggi psikotik dapat dievaluasi berdasarkan pertanyaan yang diadopsi dari Prodromal Questionnaire Brief Version (Tabel 1). [10,11]
Tabel 1. Pertanyaan Penapisan Pasien Risiko Tinggi Psikotik
No. | Ya | Tidak | |
1 | Pernahkah Saudara terkadang merasakan perasaan aneh, bingung, situasi yang mengancam atau tidak nyata di lingkungan yang sebenarnya cukup dikenal (familiar)? | ||
2 | Pernahkah Saudara mendengar di telinga adanya suara yang tidak biasa seperti benturan, bunyi klik, desis, tepuk tangan atau nada dering? | ||
3 | Apakah yang Saudara lihat tampak berbeda dari biasanya (lebih cerah atau kusam, lebih besar atau lebih kecil, atau berubah)? | ||
4 | Apakah Saudara memiliki pengalaman dengan telepati, kekuatan psikis atau ramalan? | ||
5 | Pernahkah Saudara merasa bahwa Saudara tidak mengendalikan ide atau pikiran sendiri? | ||
6 | Apakah Saudara mengalami kesulitan menyampaikan maksud, karena banyak bicara atau menyimpang dari tema pembicaraan? | ||
7 | Apakah Saudara memiliki keyakinan kuat mengenai bakat luar biasa dalam diri sendiri? | ||
8 | Apakah Saudara merasa orang lain memperhatikan atau membicarakan diri Saudara? | ||
9 | Apakah Saudara terkadang mendapatkan perasaan aneh di atau tepat di bawah kulit? Seperti ada yang berjalan disana | ||
10 | Apakah terkadang Saudara tiba-tiba merasa terganggu oleh suara di kejauhan yang sebenarnya tidak terlalu kita perhatikan awalnya? | ||
11 | Apakah Saudara pernah merasakan bahwa ada orang atau kekuatan di sekitar Saudara, meskipun diri sendiri sebenarnya tidak melihat siapapun | ||
12 | Apakah Saudara terkadang khawatir bahwa ada sesuatu yang salah dengan pikiran sendiri? | ||
13 | Apakah Saudara merasa bahwa Saudara tidak ada, dunia tidak ada atau bahwa diri sendiri mati? | ||
14 | Apakah Saudara kadang bingung mengenai kejadian yang dialami benar nyata atau imajinasi? | ||
15 | Apakah Saudara percaya bahwa orang lain akan menganggap tidak biasa atau aneh? | ||
16 | Apakah Saudara merasa bahwa bagian tubuh telah berubah atau bekerja secara berbeda? | ||
17 | Apakah pikiran Saudara terkadang begitu kuat sehingga hampir bisa mendengar pikiran sendiri? | ||
18 | Apakah Saudara merasa tidak percaya atau curiga terhadap orang lain? | ||
19 | Pernahkah Saudara melihat hal-hal yang tidak biasa seperti kilatan cahaya, nyala api, cahaya yang menyilaukan atau angka? | ||
20 | Pernahkah Saudara melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat atau tidak dilihat orang lain? | ||
21 | Apakah orang terkadang merasa sulit untuk memahami yang Saudara katakan? |
Sumber: dr. Zuhrotun, 2021. [10,11]
Apabila dalam temuan pemeriksaan didapatkan 6 dari 21 nomer terjawab (Ya), maka perlu dipikirkan bahwa pasien berada dalam kategori risiko tinggi, maka peran dokter umum disini perlu memberikan psikoterapi suportif ataupun konseling mengenai kemungkinan yang sedang dialami pasien, untuk berikutnya memberikan arahan berupa rujukan ke psikiater. Pasien tetap diberikan kebebasan untuk mengevaluasi kembali situasi yang dialami, serta diberikan dukungan untuk memperbaiki tilikan terhadap gangguan yang dirasakan. [10,11]
Edukasi penggunaan obat antipsikotik tetap perlu diberikan untuk mencapai perbaikan klinis yang pasien alami, hanya bila pasien telah berada dalam kondisi psikotik, maka penggunaan obat antipsikotik akan memberikan hasil signifikan untuk memperbaiki gejala. Penggunaan antipsikotik tetap membutuhkan pengawasan, sesuai dosis anjuran dan tidak dikonsumsi diluar kepentingan medis. Kebutuhan antipsikotik sebagai profilaksis masih belum bisa dianjurkan karena belum terbukti memberikan perbaikan ataupun hasil yang baik.
Kesimpulan
Hingga saat ini, belum didapatkan korelasi positif terkait penggunaan antipsikotik sebagai profilaksis pada pasien risiko tinggi psikotik. Hal ini memberikan implikasi pentingnya pemeriksaan klinik yang memadai, evaluasi risiko tinggi psikotik serta penting meningkatkan tilikan pada pasien terkait kondisi kejiwaan yang dialami, untuk berikutnya dapat dilakukan rujukan yang tepat.