Endometriosis diduga dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kanker ovarium. Endometriosis sering kali menjadi penyebab utama kasus infertilitas yang umumnya ditandai dengan adanya nyeri saat menstruasi maupun saat berhubungan. Endometriosis merupakan suatu penyakit ginekologis kronik dimana terdapat pertumbuhan jaringan endometrium di luar uterus (jaringan ektopik) yang terdiri dari kelenjar endometriotik dan stroma.
Endometriosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang umum terjadi. Terdapat 2-8% wanita usia reproduktif dan 30% wanita dengan infertilitas mengalami gangguan endometriosis. Insidensi kejadian endometriosis setiap tahun berdasarkan diagnosis surgical dilaporkan antara 1.3 sampai 1.6 per 1000 wanita dari usia 15-49 tahun.
Endometriosis ditandai dengan adanya inflamasi kronik, jaringan yang spesifik memproduksi estrogen secara berlebih, dan resistensi terhadap progesteron. Sifat yang dimiliki oleh endometriosis ini dinilai dapat menjadi predisposisi terjadinya kanker. Selain itu, endometriosis memperlihatkan karakteristik seperti kanker, seperti invasi jaringan, angiogenesis, dan penurunan apoptosis.[1,2]
Patofisiologi Endometriosis
Terdapat beberapa hipotesis penyebab terjadinya endometriosis. Beberapa mekanisme yang saat ini diketahui adalah menstruasi retrograde, metaplasia selomik, adanya sisa sel embrionik, teori induksi, genetik, dan diseminasi vaskular dan limfatik.
Endometriosis diduga dapat terjadi akibat aliran retrograde dari sel-sel atau debris endometrial ke rongga pelvis melalui tuba falopi pada saat menstruasi. Pada suatu penelitian didapatkan adanya jumlah cairan menstrual retrograde yang cukup besar pada pelvis pasien dengan endometriosis dibandingkan dengan wanita sehat.
Teori lain mengatakan bahwa endometriosis berasal dari sel ekstrauterine yang berdiferensiasi secara abnormal atau bertransformasi menjadi sel endometrial. Teori metaplasia selomik mengatakan bahwa endometriosis berasal dari metaplasia sel yang berasal dari bagian mesothelial viseral dan peritoneum abdominal. Adanya faktor imunologis dan hormonal dapat menstimulasi transformasi jaringan peritoneal normal menjadi jaringan mirip endometrium.[1,3,4]
Hormon steroid juga dinilai memegang peranan penting dalam etiologi endometriosis. Hormon estrogen merupakan hormon yang menyebabkan proliferasi endometrial. Pertumbuhan lesi ektopik endometrial diregulasi oleh hormon steroid ovarium.
Selain itu, endometriosis juga dihubungkan dengan adanya resistensi hormon progesteron, hormon yang berfungsi menghambat aktivitas hormon estrogen. Adanya resistensi ini terjadi karena lesi endometriotik memiliki reseptor progesteron yang rendah dan lebih responsif terhadap hormon estrogen.[1,3]
Tanda dan gejala yang dialami oleh pasien endometriosis adalah nyeri dan infertilitas. Keluhan yang sering terjadi adalah dismenorhea, dispareunia, nyeri panggul kronik, nyeri saat buang air besar, tenesmus, disfungsi urin, nyeri punggung bawah. Namun, pada beberapa kasus, endometriosis bisa saja bersifat asimptomatik.[5]
Hubungan antara Endometriosis dan Kanker Ovarium
Kemungkinan adanya transformasi jaringan endometriosis menjadi kanker ovarium sudah sejak lama diasumsikan. Pada tahun 1925, Sampson menjelaskan adanya perubahan malignan pada endometriosis dan adanya kriteria untuk mendiagnosis perkembangan karsinomatosa pada endometriosis, seperti adanya koeksistensi karsinoma dan endometriosis pada ovarium yang sama, pola histologi yang sama, dan tidak ditemukannya tumor ganas di tempat lain.
Selain itu, beberapa penelitian menyebutkan adanya perubahan secara morfologis pada endometriosis atipikal ke arah tumor ganas, atau dengan kata lain endometriosis dinilai sebagai lesi prakanker. Mekanisme pasti terjadinya transformasi malignan pada endometriosis belum dapat diketahui secara pasti sampai saat ini.
Xiao, et al. melaporkan hilangnya protein BAF250a dan peningkatan regulasi HNG-1β terjadi pada endometriosis atipikal. Adanya perubahan tersebut diperkirakan dapat berkembang menjadi tumor ganas. Studi lain mengatakan bahwa adanya stres oksidatif dapat menyebabkan perubahan genetik pada jaringan endometriosis sehingga dapat berkembang menjadi kanker ovarium.[5-7]
Terdapat 60-80% endometriosis yang berhubungan dengan kejadian karsinoma ovarium. Kanker ovarium yang berasal dari endometriosis memiliki karakteristik khusus, yaitu adanya sel endometroid, yang dapat dideteksi lebih awal sehingga memiliki prognosis yang lebih baik.
Namun, belum ada kejelasan apakah endometriosis merupakan salah satu faktor prognostik dari angka kesembuhan kanker. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa endometriosis merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker ovarium, namun tidak sedikit pula studi yang menyatakan bahwa endometriosis bukan merupakan faktor risiko.[6,7]
Bukti Klinis Risiko Kanker Ovarium pada Endometriosis
Suatu meta analisis dilakukan pada lebih dari 300.000 wanita untuk meneliti risiko kejadian kanker ovarium pada pasien endometriosis. Pada hasil meta analisis ini didapatkan adanya peningkatkan risiko yang signifikan sebesar 1.26 kali pada pasien endometriosis untuk mengalami kanker ovarium pada studi kohort two-arm atau kasus kontrol. Pada studi-studi kohort single-arm didapatkan peningkatan risiko yang signifikan sebesar 1.79 kali pada pasien endometriosis untuk mengalami kanker ovarium.
Sebagian besar studi pada meta analisis ini memiliki faktor perancu seperti usia, paritas, riwayat ligasi tuba, dan penggunaan kontrasepsi oral yang sudah disesuaikan sehingga bias dapat diminimalisasi. Namun, didapatkan beberapa keterbatasan pada meta analisis ini, yaitu beberapa studi kohort dan kasus kontrol hanya mengikutsertakan wanita dengan endometriosis derajat sedang-berat sehingga bisa menyebabkan overestimasi risiko kanker. Selain itu, beberapa data pada studi tertentu didapatkan dari wawancara atau laporan tanpa rekam medis sehingga dapat menghasilkan recall bias. [8]
Meta analisis lain dilakukan oleh Sayasneh, et al yang terdiri dari delapan studi yang meneliti hubungan antara endometriosis dan kanker ovarium. Tujuh dari delapan studi melaporkan peningkatan risiko yang signifikan pada pasien endometriosis untuk mengalami kanker ovarium, yaitu antara 1.32 – 1.9 kali lebih besar. Namun, hubungan kausatif antara endometriosis dan kanker ovarium belum dapat diketahui pada studi ini. Pada meta analisis ini sebagian besar studi memiliki keterbatasan selection dan recall bias. [9]
Studi population-based terbaru mengikutkan sekitar 50.000 pasien untuk meneliti risiko kanker ginekologis berdasarkan tipe endometriosis pada wanita dengan endometriosis. Pada studi ini didapatkan peningkatan risiko yang signifikan sebesar 1.76 kali. Secara spesifik didapatkan adanya peningkatan risiko pasien endometriosis sebesar 1.37 pada jenis serosa, 3.12 pada jenis endometrioid, dan 5.17 pada clear cell untuk mengalami kanker ovarium.
Endometriosis peritoneal juga memiliki risiko sebesar 2.03 mengalami risiko kanker ovarium. Setelah 5-10 tahun follow up didapatkan peningkatkan risiko kanker secara signifikan pada endometriosis jenis endometrioid (risiko relatif 3.5) dan clear cell (risiko relatif 13.4). [2]
Studi yang ada memberikan hasil yang sejalan, yaitu adanya peningkatan risiko kejadian kanker ovarium pada pasien endometriosis. Endometriosis jenis endometrioid dan clear cell dinilai memiliki risiko yang lebih tinggi. Namun, hubungan kausatif dan mekanisme pasti endometriosis terhadap kejadian kanker ovarium belum dapat dijelaskan secara lebih lanjut.
Kesimpulan
Endometriosis merupakan inflamasi kronik pada saluran reproduksi wanita dimana terdapat jaringan ektopik endometrial di luar rongga rahim. Endometriosis dapat menyebabkan rasa nyeri dan infertilitas. Berdasarkan beberapa penelitian yang ada, endometriosis diduga juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium.
Meskipun demikian, endometriosis belum menjadi salah satu faktor prognostik kanker ovarium. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan kausatif antara endometriosis dan kanker ovarium. Deteksi, diagnosis, dan penatalaksanaan endometriosis sebaiknya dilakukan sejak dini oleh dokter untuk mencegah kemungkinan terjadinya kanker ovarium.