Teknik Pembuatan Visum et Repertum
Terdapat beberapa jenis teknik pembuatan visum et repertum atau VeR, tetapi sebelumnya penting untuk mengetahui peranan dan fungsi dari visum et repertum itu sendiri.
Persiapan Pasien
Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan visum et repertum berbeda antara visum pada korban hidup dan mati.
Persiapan Visum et Repertum Korban Hidup
Pada pembuatan Visum et Repertum korban hidup, perlu diperhatikan bahwa korban bukan hanya merupakan objek visum tetapi juga pasien, sehingga penanganan pasien harus diutamakan oleh dokter.[1,2]
Pada umumnya pemeriksaan korban hidup mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang sebagaimana pada umumnya. Akan tetapi, dokter harus lebih memperhatikan ada tidaknya tanda–tanda kekerasan yang merupakan hasil suatu tindak pidana.[1,2]
Tanda kekerasan akan membentuk luka dengan klasifikasi kondisi luka dalam 3 derajat, yaitu:
- Luka derajat pertama (luka golongan C), yaitu luka yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut terhadap korban, di mana tidak menghalangi korban dalam melakukan jabatan/pekerjaan/aktivitas
- Luka derajat kedua (luka golongan B), yaitu luka yang memerlukan perawatan lebih lanjut terhadap korban untuk sementara waktu yang menyebabkan terhalangnya korban dalam melakukan jabatan/pekerjaan/aktivitas untuk sementara waktu
- Luka derajat ketiga (luka golongan A), yaitu luka yang mengakibatkan luka berat sehingga terhalang dalam menjalankan jabatan/pekerjaan/aktivitas[1,2,7]
Sebelum dilakukan tindakan kedokteran forensik, pasien juga harus diberikan penjelasan dan dimintai surat persetujuan tindakan atau informed consent. Selain melakukan pemeriksaan, dokter juga wajib memberikan pengobatan kepada pasien sebagaimana harusnya.
Harap diperhatikan bahwa pasien luka tembak telah melewati peristiwa traumatik, sehingga perlu ditangani secara sensitif dan berhati–hati supaya traumanya tidak bertambah parah.[1,7]
Persiapan Visum et Repertum Korban Mati
Pemeriksaan pada korban mati, otopsi baru boleh dilakukan jika ada surat permohonan tertulis dari penyidik dan setelah keluarga mengetahui serta telah memahaminya, atau setelah 2x24 jam bila keluarga tidak menyetujui otopsi atau keluarga tidak ditemukan. Jika keluarga tidak diketahui atau tidak dapat ditemukan, penyidik juga perlu menunggu selama 2x24 jam sebelum otopsi boleh dilakukan.
Keluarga tidak boleh menghalangi tindakan otopsi pada pasien. Bila penyidik sudah menjelaskan tujuan otopsi dan keluarga tetap menolak, otopsi akan tetap dilakukan 2x24 jam kemudian. Upaya untuk menghalangi tindakan otopsi setelah 2x24 jam ini bisa mendapat sanksi pidana sesuai Pasal 222 KUHP.
Untuk menghindari kesalahpahaman, dokter yang memeriksa mayat perlu diberikan keterangan lisan tentang kejadian–kejadian yang berhubungan dengan matinya orang/korban tersebut. Petugas wajib datang menyaksikan dan mengikuti jalannya pemeriksaan mayat/otopsi yang dilakukan dokter.
Pemeriksaan visum et repertum juga dapat dilakukan pada mayat. Dalam hal ini, ekshumasi atau penggalian mayat harus dilakukan terlebih dahulu.[3]
Peralatan
Peralatan khusus hanya dibutuhkan saat akan melakukan otopsi atau pemeriksaan dalam:
- Kamar otopsi
- Meja otopsi
- Peralatan otopsi seperti timbangan, penggaris, meteran, gergaji, pisau bedah
- Alat pemeriksaan untuk pemeriksaan tambahan
- Alat tulis dan kamera untuk keperluan dokumentasi[3]
Ketentuan Umum Pembuatan Visum et Repertum
Setiap Visum et Repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
- Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa, bernomor dan bertanggal
- Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
- Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan, dan tidak menggunakan istilah asing
- Ditandatangani dan diberi nama jelas, serta berstempel instansi pemeriksa tersebut
- Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
- Hanya diberikan kepada penyidik yang meminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik Polri dan penyidik Pengawas Obat dan Makanan (POM), dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing–masing yang asli
- Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun. Penulisan VeR harus memenuhi suatu desain dan format tertentu karena dokumen tersebut akan digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan[1]
Prosedural Pemeriksaan Jenazah untuk Visum et Repertum
Pemeriksaan jenazah terdiri dari pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam/otopsi.
Pemeriksaan luar terdiri dari:
- Label mayat
- Tutup mayat
- Bungkus mayat
- Pakaian mayat
- Perhiasan mayat
- Tanda kematian, yaitu lebam mayat, kaku mayat, suhu tubuh mayat, pembusukan
- Identifikasi khusus, seperti rajah/tato, kelainan pada kulit, cacat pada tubuh
- Pemeriksaan terhadap tanda–tanda kekerasan/luka, meliputi letak luka, jenis luka, bentuk luka, arah luka, tepi luka, sudut luka, dasar luka, sekitar luka, ukuran luka[1,3,7]
Pemeriksaan dalam terdiri atas:
- Pengirisan
- Pengeluaran organ dalam
- Pemeriksaan tiap organ satu persatu
- Pengembalian organ tubuh ke tempat semula
- Menutup dan menjahit kembali[1,3]
Prosedural Pembuatan Visum et Repertum
Setelah proses pemeriksaan selesai, maka segera dilakukan pembuatan Visum et Repertum lengkap yang memuat segala keterangan dan analisis hasil pemeriksaan. Struktur pembuatan Visum et Repertum ini terdiri dari lima bagian, yaitu pro justitia, pendahuluan, hasil pemeriksaan, dan kesimpulan.
Pro Justitia:
Pro Justitia merupakan kata yang harus dicantumkan di kiri atas, sehingga VeR tidak perlu menggunakan materai.[1,3]
Pendahuluan:
Bagian pendahuluan memuat identitas pemohon VeR, tanggal dan pukul diterimanya permohonan visum et repertum, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa, yaitu nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, di mana dilakukan pemeriksaan.[1,3]
Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan):
Pemberitaan (hasil pemeriksaan) harus memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa.[1,3]
Kesimpulan:
Kesimpulan memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintanya visum at repertum tersebut.[1,3]
Penutup:
Bagian penutup tidak berjudul, melainkan memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan dan berisikan kalimat baku “Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang hukum acara pidana”.[1,3]
Pemeriksaan Visum et Repertum
Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah, sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomi dan koordinatnya (aksis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat).[3,7]
Selain itu, jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta ukurannya juga harus dijelaskan. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.[3,7]
Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemeriksaan terdiri dari seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal–hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).[3,7]
Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan, sehingga harus diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka dan tindakan pengobatan atau perawatan luka yang diberikan.[3,7]
Keterangan atau kejelasan yang harus diberikan oleh dokter kepada penyidik mencakup 4 aspek, yaitu menentukan identitas korban, memperkirakan saat kematian, menentukan sebab kematian, serta menentukan dan memperkirakan cara kematian.[3]
Menentukan Identitas Korban:
Identitas korban ditentukan dengan metode identifikasi secara ilmiah yang dilakukan dokter, pihak penyidik akan dapat membuat suatu daftar tersangka, yang akan berguna di dalam penyidikan.[3]
Memperkirakan Saat Kematian:
Pemeriksaan mayat yang lengkap dari lebam mayat, kaku mayat, suhu tubuh, keadaan isi lambung, serta perubahan post–mortem lainnya dapat digunakan dokter untuk memperkirakan saat kematian. Bila ditambah dengan informasi yang diperoleh dari para saksi di tempat kejadian perkara (TKP), maka perkiraan kematian lebih mendekati sebenarnya.[3]
Menentukan Sebab Kematian:
Sebab kematian hanya dapat ditentukan melalui pembedahan mayat (otopsi). Bagi penyidik, sebab kematian sangat berguna di dalam menentukan antara lain senjata yang dipergunakan oleh pelaku, racun yang dipakai, dikaitkan dengan kelainan atau perubahan yang ditemukan pada diri korban.[3]
Menentukan atau Memperkirakan Cara Kematian:
Penentuan atau perkiraan cara kematian akan membantu penyidik dalam menentukan langkah yang harus dilakukan. Bila cara kematian korban adalah wajar, yaitu karena penyakit, maka pihak penyidik akan dapat dengan segera menghentikan penyidikan. Bila ternyata kematiannya tidak wajar, misalnya karena pembunuhan, maka pihak penyidik dapat pula menentukan langkah yang harus dilakukan.[3]
Chain of Evidence untuk Pemeriksaan Laboratorium
Ketika melakukan pemeriksaan laboratorium untuk visum et repertum, dokter harus memastikan chain of evidence yang baik, yaitu mata rantai proses yang tidak terpotong mulai dari pengumpulan barang bukti, hingga ke pengajuan di sidang pengadilan. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya keraguan akan keabsahan sampel laboratorium yang akan dijadikan sebagai barang bukti.[3]
Chain of evidence pada masing-masing tahapan adalah sebagai berikut:
- Pengambilan sampel, di mana harus ada saksi, data identitas sumber sampel, jenis sampel, dan tes laboratorium yang akan dilakukan untuk sampel tersebut
- Pengiriman ke dan dari laboratorium, yaitu harus tersegel
- Proses pengujian di laboratorium, yaitu harus didokumentasikan langkah per langkah mengenai tahapan uji, orang yang melakukan uji, dan waktu pengujian[3]
Masing–masing tahapan harus didokumentasikan secara tertulis dalam laporan chain of evidence yang juga memuat identitas orang yang melakukan dan waktu untuk masing-masing tahapan. Jika sampel berjumlah banyak, laporan harus dibuat terpisah untuk masing-masing sampel.[3]
Kesimpulan Visum et Repertum
Kesimpulan visum et repertum adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Akan tetapi, di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Bagi korban mati, penyebab kematian hanya dapat disimpulkan berdasarkan pemeriksaan otopsi lengkap.[3]
Permintaan Visum et Repertum Ulang
Apabila visum et repertum yang dibuat kurang lengkap ataupun dirasa belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru.
Seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP.[1,4]
Pembatalan Permintaan Visum et Repertum
Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, pelaksanaan pencabutan atau penarikan kembali visum et repertum tersebut hanya diberikan oleh Komandan Kesatuan paling rendah tingkat Kepolisian Sektor (Polsek) dan untuk ibukota hanya Kepolisian resor kota besar (Polrestabes).
Permintaan tersebut harus diajukan tertulis resmi dengan menggunakan formulir pencabutan dan ditandatangani oleh pejabat atau petugas yang berhak di mana pangkatnya satu tingkat di atas peminta setelah terlebih dahulu membahasnya secara mendalam.[4]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli