Pendahuluan Pembuatan Visum Kasus Kekerasan Seksual pada Anak
Pembuatan visum et repertum kasus kekerasan seksual pada anak merupakan prosedur membuat laporan medis resmi oleh dokter sebagai alat bukti dalam proses hukum. Pembuatan visum memberikan dokumentasi yang objektif dan ilmiah mengenai kondisi fisik anak setelah mengalami atau diduga mengalami kekerasan seksual, termasuk di dalamnya pencabulan dan perkosaan pada korban di bawah umur.
Dokumen visum pada kasus kekerasan seksual anak perlu mencakup deskripsi rinci tentang luka, tanda-tanda kekerasan, serta hasil pemeriksaan penunjang yang relevan, seperti radiologi atau laboratorium. Bukti medis yang akurat dan lengkap dari visum dapat membantu otoritas hukum dalam proses penyelidikan dan penuntutan, yang memastikan bahwa pelaku kekerasan dapat diadili dengan adil dan tepat berdasarkan bukti yang kuat.[1,2]
Kekerasan seksual pada anak adalah setiap perbuatan atau aktivitas seksual yang terjadi antara anak dengan orang dewasa atau dengan anak lain, yang bertujuan untuk memberikan kepuasan bagi pelaku, yang mana korban tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan terhadap aktivitas seksual yang melibatkan dirinya. Menurut hukum di Indonesia, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[3]
Beberapa temuan yang perlu dicatat pada pembuatan visum kasus kekerasan seksual pada anak meliputi adanya laserasi atau memar akut pada labia, penis, skrotum, atau perineum, serta laserasi akut pada posterior fourchette atau vestibulum yang tidak melibatkan hymen. Selain itu, adanya memar, petekie, atau abrasi pada hymen, dan laserasi akut pada hymen dengan kedalaman berapa pun, serta laserasi vagina atau perianal juga dapat ditemukan.
Perlu dicatat bahwa temuan spesifik yang menunjukkan kekerasan seksual pada anak hanya ditemukan pada sebagian kecil korban (4-5%) ketika diperiksa lebih dari 72 jam setelah kekerasan terjadi, karena mukosa yang cepat sembuh. Akibatnya, pada 95% kasus, tidak ada temuan fisik yang dapat ditemukan pada pemeriksaan anogenital jika anak diperiksa lebih dari 48 jam setelah kekerasan.[4]