Komplikasi Kateterisasi Uretra Pada Pria
Komplikasi kateterisasi uretra terbagi menjadi komplikasi yang mungkin terjadi selama pemasangan kateter, misalnya urin tidak dapat mengalir ke kantong urin, atau ruptur uretra yang bisa terjadi jika balon dikembangkan sebelum mencapai kandung kemih.
Selain itu, dapat juga terjadi komplikasi setelah kateter terpasang, misalnya striktur uretra, infeksi saluran kemih, dan gross hematuria. Beberapa risiko komplikasi yang mungkin terjadi selama pemasangan kateter uretra, antara lain:
- Gangguan pada balon kateter, misalnya balon yang dikembangkan rusak atau pecah ketika sedang memasukan kateter, balon tidak mengembang setelah kateter telah terpasang, dan apabila balon dikembangkan sebelum mencapai kandung kemih, maka dapat terjadi perdarahan atau ruptur uretra
- Gangguan aliran urin, misalnya urin berhenti mengalir ke dalam kantung urin dan aliran urin tersumbat, sehingga dokter harus mengganti kateter, kantung urin, atau keduanya
- Risiko infeksi yang akan meningkat seiring bertambah lamanya penggunaan kateter
- Spasme kandung kemih dapat terjadi ketika kateter sudah terpasang. Kondisi ini muncul ketika perasaan berkemih muncul dan dapat disertai rasa nyeri. Seringkali, urin akan keluar di luar selang kateter bila spasme muncul[4,13,14]
Komplikasi juga dapat terjadi 48 jam setelah pemasangan kateter. Bakteri akan mulai berkolonisasi di dalam kateter, sehingga memicu terjadinya infeksi. Komplikasi yang dapat timbul dapat berupa:
- Masalah pada kateter, misalnya alergi terhadap bahan kateter, kebocoran urin, obstruksi kateter
- Masalah pada uretra, misalnya striktur uretra, perforasi uretra, perdarahan
Infeksi pada saluran kemih, termasuk uretritis, sistitis, pielonefritis, bakteremia transien. Pada pria, infeksi saluran kemih dapat menyebabkan epididimitis atau orchitis.
Parafimosis yang disebabkan oleh kegagalan kulit preputium untuk kembali ke posisi awal setelah dilakukan pemasangan kateter
- Masalah saluran kemih lainnya, misalnya batu saluran kemih, gross hematuria, inkontinensia urin dan kerusakan ginjal yang dapat terjadi pada penggunaan kateter uretra jangka panjang[1,2,5,13,14]
Antisipasi Komplikasi
Cara terbaik untuk mencegah komplikasi akibat kateterisasi uretra, adalah dengan tidak melakukan pemasangan kateter tanpa indikasi medis. Untuk mengatasi komplikasi pada pasien pasca pemasangan kateter, dapat dilakukan antisipasi sesuai komplikasi yang terjadi.
Obstruksi
Material yang dapat menyumbat kateter biasanya mengandung bakteri, glikokaliks, protein hingga endapan kristal. Pasien yang mengalami obstruksi, akan mengekskresikan kalsium, protein dan musin dalam jumlah yang lebih banyak. Irigasi dapat mencegah terjadinya obstruksi berulang. Apabila tetap terjadi obstruksi meski irigasi dilakukan, kateter harus diganti dengan yang baru.
Kebocoran Urin
Spasme kandung kemih, adalah penyebab yang sering kali menimbulkan kebocoran. Hal ini disebabkan karena tekanan yang dihasilkan oleh spasme kandung kemih akan mengurangi kapasitas irigasi kateter, sehingga menimbulkan kebocoran.
Kebocoran yang disebabkan oleh spasme tidak boleh diatasi dengan menggunakan kateter dengan diameter yang lebih besar. Pemberian antispasmodik, seperti hyoscine butylbromide, dapat secara efektif mengatasi spasme yang terjadi sehingga mengembalikan fungsi otot detrusor yang terganggu.
Kolonisasi dan Infeksi
Kateterisasi jangka panjang dapat menimbulkan kolonisasi bakteri dalam jangka waktu 6 minggu pemasangan. Namun, kejadian bakteriuria bukanlah indikasi pemberian antibiotik profilaksis, karena justru dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi antibiotik. Terapi antibiotik sebaiknya hanya diberikan pada pasien yang menunjukan gejala infeksi saluran kemih. Lama pemberian terapi antibiotik adalah selama 10 hari.[6]
Sebuah metaanalisis pada tahun 2019 menilai manfaat penggunaan larutan chlorhexidine 0,1% terhadap kejadian catheter-associated urinary tract infection (CAUTI). Hasil menunjukkan bahwa penggunaan larutan chlorhexidine untuk membersihkan meatus uretra sebelum pemasangan kateter tidak menurunkan kejadian CAUTI, bila dibandingkan dengan cairan non antiseptik.[9]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra