Teknik Pemeriksaan Fisik Postpartum
Teknik pemeriksaan fisik postpartum adalah dengan melakukan pemeriksaan umum secara menyeluruh, yang secara garis besar mencakup tanda vital, pemeriksaan payudara, pemeriksaan abdomen, kandung kemih, lochia, perdarahan, serta pemeriksaan pelvis untuk mengevaluasi subinvolusi uterus, penyembuhan serviks, vagina, dan perineum.
Persiapan Pasien
Sebelum pemeriksaan dilakukan, setiap pasien perlu memberikan informed consent. Pada pemeriksaan bagian pelvis, pasien dalam posisi litotomi. Bila ranjang pemeriksaaan tidak disertai dengan penyangga kaki, pemeriksaan dapat dilakukan dalam frog-leg position.[4]
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan fisik postpartum antara lain termometer, tensimeter, stetoskop, ranjang pemeriksaan dengan permukaan rata yang disertai dengan penyangga kaki, dan lampu pencahayaan yang baik.
Prosedural
Pemeriksaan fisik postpartum perlu mengevaluasi kondisi sistem reproduksi dan kesehatan ibu secara umum. Oleh karenanya, pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh dari ujung kepala hingga kaki.
Tanda Vital
Pada satu jam pertama postpartum, pengukuran tekanan darah dan nadi perlu dilakukan setiap lima belas menit atau lebih bila terdapat indikasi. Peningkatan denyut nadi dapat terjadi selama beberapa jam setelah melahirkan dan kembali normal pada hari ke-2. Takikardia dapat disebabkan oleh adanya nyeri, demam, ataupun perdarahan postpartum.[5]
Tekanan darah diukur setelah melahirkan, dan bila hasil normal, pemeriksaan kedua dilakukan dalam waktu 6 jam. Evaluasi rutin tekanan darah juga direkomendasikan pada perempuan dengan hipertensi. Selain itu, suhu tubuh bisa ditemukan meningkat bila terjadi pembengkakan payudara, mastitis, atau infeksi luka.[2,6]
Payudara
Pemeriksaan payudara postpartum dilakukan dengan inspeksi dan palpasi. Pada perempuan yang tidak menyusui, pembesaran (engorgement), nyeri payudara, dan milk leakage dapat memuncak pada hari ke-3 hingga ke-5 setelah melahirkan. Engorgement disebabkan oleh ASI yang tidak dikeluarkan, sehingga terjadi kongesti ASI, darah, dan limfe. Hal ini menyebabkan payudara terasa panas, keras, mengkilap, dan nyeri.
Pada sumbatan duktus, dapat ditemukan benjolan yang terasa nyeri dan kemerahan pada kulit di atasnya. Pada kasus ini biasanya tidak disertai demam.
Pada pemeriksaan juga perlu diperhatikan adanya tanda mastitis berupa payudara kemerahan, keras, dan nyeri, disertai demam, takikardia, atau menggigil.
Pada palpasi, bila terdapat massa fluktuatif disertai demam yang tidak menurun selama 48-72 jam setelah penatalaksanaan mastitis, perlu dicurigai adanya abses payudara.
Selain jaringan parenkim payudara, perlu pula dilakukan pemeriksaan puting, apakah terdapat fisura, iritasi, dan crack karena dapat mengganggu proses menyusui dan menjadi tempat masuknya patogen.[3,6]
Saluran Pencernaan
Pada pemeriksaan dapat ditemukan hipomotilitas usus yang merupakan salah satu penyebab terjadinya konstipasi pada ibu postpartum selain faktor konsumsi suplemen besi dan rasa tidak nyaman pada perineum. Konstipasi dan proses mengedan menyebabkan ibu berisiko mengalami hemoroid.[1,4,6]
Kandung Kemih
Pada pemeriksaan dapat ditemukan overdistensi kandung kemih akibat pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan kurangnya keinginan untuk buang air kecil. Menurunnya sensasi dan kemampuan mengosongkan kandung kemih dapat terjadi akibat efek analgesia epidural, adanya episiotomi atau laserasi perineum, dan penggunaan instrumen untuk membantu proses melahirkan.
Pemeriksaan buangan urin juga perlu dicatat dalam waktu 6 jam. Bila ibu tidak dapat miksi dalam waktu 4 jam, perlu dilakukan pemasangan kateter dan dilakukan pencatatan volume urine.
Pada pemeriksaan juga perlu dievaluasi adanya inkontinensia urine. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara cough stress test. Cough stress test positif bila terdapat urine yang keluar pada saat pasien batuk.[6,7]
Vagina dan Vulva
Segera setelah melahirkan, vagina umumnya tampak teregang, edema, dan mengalami penurunan tonus. Vagina mengalami involusi atau kembali seperti sebelum melahirkan setelah 4-8 minggu postpartum. Introitus vagina mengalami pelebaran secara permanen. Himen mengalami laserasi dan terdapat nodular tags yang akan membentuk myrtiform caruncles.[3,4,6]
Pada pemeriksaan vagina dan vulva perlu diperhatikan adanya hematoma yang dapat disertai nyeri dan perubahan tanda vital, mengindikasikan terjadinya perdarahan. Hematoma dengan ukuran lebih dari 3-4 cm, dapat memerlukan insisi dan evakuasi bekuan darah.[8]
Uterus
Setelah melahirkan, dilakukan pemeriksaan terhadap tonus uterus untuk memastikan uterus berkontraksi dengan baik. Pemeriksaan tonus uterus dilakukan dengan palpasi atau dengan pemeriksaan bimanual.[9,10]
Pada atonia uteri dan subinvolusi dapat ditemukan ukuran uterus yang lebih besar dibandingkan normal, teraba lunak, dan disertai perdarahan pada ostium serviks. Atonia uterus fokal atau lokal sulit dideteksi melalui pemeriksaan abdomen.[9]
Involusi uterus dapat dinilai dengan mengukur tinggi fundus uterus, yang diukur dari simfisis pubis dengan menggunakan instrumen pita pengukur. Sebelum diukur, uterus diarahkan ke bagian sentral abdomen. Setelah melahirkan sampai 24 jam pertama, tinggi fundus uterus kurang lebih 13,5 cm di atas simfisis pubis.
Setiap 24 jam didapatkan penurunan tinggi kurang lebih 1,25 cm, sehingga saat akhir minggu kedua uterus seharusnya telah berada dalam pelvis. Laju involusi kemudian terjadi secara perlahan sampai 6 minggu postpartum, hingga akhirnya ukuran uterus menyerupai ukuran normal.[3,4,6]
Lochia
Lochia merupakan discharge vagina yang berasal dari uterus, serviks, dan vagina. Lochia memiliki karakteristik berbau amis, dengan volume rerata 250 ml pada 5-6 hari pertama postpartum. Terdapat 3 jenis lochia berdasarkan warna dan komposisinya, yaitu lochia rubra, serosa, dan alba.
Pada pemeriksaan lochia perlu diperhatikan bau, jumlah, warna, dan durasi. Jumlah lochia yang sedikit atau tidak ada mungkin disebabkan oleh infeksi atau lochiometra, sedangkan jumlah yang banyak mungkin disebabkan oleh infeksi atau terlambatnya proses involusi. Lochia dengan warna merah yang menetap, menandakan subinvolusi atau terdapat sisa-sisa konsepsi atau retensio plasenta dalam uterus.[11,12]
Lochia Rubra:
Lochia rubra berwarna merah, umumnya ditemukan pada hari ke-1 sampai ke-4. Lochia rubra utamanya terbentuk dari darah, disertai sisa-sisa membran fetalis dan desidua, vernix caseosa, lanugo, dan mekonium.[11,12]
Lochia Serosa:
Lochia serosa berwarna pucat, umumnya ditemukan pada hari ke-5 sampai ke-9. Lochia serosa terbentuk dari sel darah merah, serum, leukosit, eksudat luka, dan mukus serviks.[11,12]
Lochia Alba:
Lochia alba berwarna putih pucat atau putih kekuningan, yang didapatkan pada hari ke-10 hingga ke-15. Lochia alba terutama terbentuk dari leukosit, mukus serviks, yang disertai sel desidua, kristal kolestrin, sel epitel granular, dan lemak.[11,12]
Perineum
Pada pemeriksaan perlu diperhatikan adanya robekan pada daerah perineum. Berdasarkan derajatnya, ruptur perineum dapat diklasifikasikan menjadi empat derajat.
- Derajat I: yaitu terjadi robekan superfisial pada bagian kulit
- Derajat II: yaitu bila terjadi robekan hingga otot perineum
- Derajat III: bila robekan melibatkan otot sfingter anal
- Derajat IV: bila terjadi robekan ekstensif hingga mencapai mukosa rektum[13]
Serviks
Pada 2-3 hari pertama, ostium serviks masih terbuka sebesar 2-4 cm. Setelah satu minggu, ostium serviks umumnya menutup atau hanya dapat dimasukkan satu jari pemeriksa.[3]
Rektum
Pemeriksaan rectal toucher perlu dilakukan bila terjadi laserasi perineum berat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai tonus dan integritas sfingter anal.[13]
Deteksi Perdarahan Postpartum
Pengukuran banyaknya perdarahan setelah bayi dilahirkan perlu dilakukan untuk deteksi terjadinya perdarahan postpartum. Pengukuran kuantitatif perdarahan dapat dilakukan dengan mengukur berat pembalut. Jumlah perdarahan ≥ 500 ml, disertai dengan takikardia, dan hipotensi mengindikasikan perdarahan postpartum.[5]
Luka Pasca Operasi
Ibu yang menjalani prosedur sectio caesarea (SC) memerlukan pemeriksaan luka insisi. Hal yang perlu diperhatikan adalah apakah terdapat wound dehiscence atau tanda-tanda infeksi seperti eritema, nyeri, dan pus pada luka.[14]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja