Teknik Advanced Trauma Life Support (ATLS)
Teknik protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS) diaplikasikan dengan melakukan survei primer sebagai pemeriksaan awal pada pasien trauma, serta survei sekunder untuk mengevaluasi ulang keadaan pasien dan melakukan pemeriksaan fisik lengkap head to toe.[3,8,12]
Teknik pada protokol ATLS harus dilakukan secara sistematis, teliti, dan cepat. Hal ini bertujuan agar diagnosis dapat segera ditegakkan dan pasien trauma dapat segera mendapatkan penatalaksanaan awal sesuai dengan ‘golden hour’ yaitu konsep bahwa pasien trauma kritis diharuskan menerima perawatan definitif dalam waktu 60 menit sejak terjadinya trauma.[2,3,8]
Persiapan Pasien
Sebelum dilakukan protokol ATLS pada pasien trauma, sebaiknya pasien ditempatkan di ruangan khusus untuk pasien gawat darurat ataupun ruangan resusitasi dengan troli emergency dan monitor tanda vital. Pastikan pasien trauma yang akan menjalani protokol ATLS telah terhubung dengan monitor guna memantau keadaan umum pasien.[3,7,12]
Pasien trauma dapat dating dengan kondisi sadar maupun penurunan kesadaran. Untuk itu, pastikan bahwa pasien maupun pengantar pasien telah mendapatkan informasi dan memahami penjelasan yang dokter berikan tentang tindakan protokol ATLS yang akan dilakukan.[7,8]
Pasien trauma dapat terjatuh dan mengalami mekanisme trauma yang bervariasi, sehingga memiliki potensi tinggi untuk mengalami cedera servikal dan tulang belakang. Oleh karena itu, dokter juga harus memastikan bahwa pada pasien trauma telah terpasang c-spine dan long spine board untuk memproteksi leher dan tulang belakang pasien. Selain itu, pastikan dokter telah menggunakan alat pelindung diri yang sesuai.[1,4,7,8,12]
Peralatan
Protokol ATLS membutuhkan peralatan yang umumnya terdapat pada troli emergency seperti:
- Monitor dan stetoskop
-
Airway equipment, termasuk nasopharyngeal dan oropharyngeal airways, pipa endotrakeal, dan laringoskop
- Magill forceps
- Suction
- Peralatan untuk memasang akses intravena
- Obat-obatan kegawatdaruratan, berupa antiaritmia, vasopresor, dan muscle relaxant seperti midazolam dan fentanil[1,3,4,7]
Posisi Pasien
Saat protokol ATLS berlangsung, pasien dapat diposisikan dalam posisi supinasi atau terlentang yang merupakan posisi pasien secara umum, dan pastikan pasien tidak mendapatkan banyak manuver pada bagian c-spine guna mencegah trauma berkelanjutan pada tulang belakang.[3,5,7]
Perlu diperhatikan saat memindahkan pasien trauma, lakukan log roll atau logrolling. Logrolling merupakan suatu manuver yang digunakan untuk menggerakkan pasien tanpa menekuk tulang belakang di mana kaki pasien diregangkan, kepala pasien dipegang untuk ‘memfiksasi’ leher, sehingga tidak banyak pergerakan yang terjadi pada regio servikal pasien.[7,8,12]
Prosedur
Prosedur dalam protokol ATLS harus dilakukan secara sistematis dan simultan dimulai dari survei primer dengan mengevaluasi ABCDE yaitu airway, breathing and ventilation, circulation, disability (evaluasi neurologis), serta exposure and environmental. Setelah survei primer selesai dilakukan dan fungsi vital pasien telah menunjukkan perbaikan, maka survei sekunder dapat dilakukan dengan evaluasi head to toe, riwayat lengkap pasien, pemeriksaan fisik, dan penilaian kembali semua tanda-tanda vital pasien.[1,5,7,8]
Survei Primer
Evaluasi terhadap fungsi vital pasien trauma melalui airway, breathing and ventilation, circulation, disability (evaluasi neurologis), serta exposure and environmental.[7,8,12]
Airway:
Evaluasi dan penatalaksanaan airway dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Lakukan penilaian cepat pada jalan napas, meliputi ada atau tidaknya tanda obstruksi jalan napas dan menilai apakah ada trauma pada wajah yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas
- Bila pasien dapat berbicara dengan jelas, maka airway dinyatakan paten. Pasien diperkenankan untuk mendapatkan oksigenasi 100% dengan non-rebreathing mask
- Lakukan teknik jaw-thrust sebagai intervensi awal untuk membuka airway pasien dengan cara meletakkan telapak tangan pemeriksa di pelipis pasien dan kedua tangan pemeriksa di bawah rami mandibula pasien, kemudian angkat rami mandibula pasien ke depan sambil pemeriksa menekan dagu pasien dengan ibu jari. Lakukan teknik atau manuver ini dengan lembut untuk membantu menjauhkan lidah dari bagian belakang tenggorokan dan menjaga jalan napas tetap terbuka.
- Bila terdapat tanda-tanda obstruksi jalan napas, seperti gurgling, segera lakukan pembebasan airway dengan suction untuk membersihkan cairan ataupun darah yang terakumulasi pada rongga mulut
- Bila pasien tidak sadar dan tidak memiliki refleks muntah, dapat dilakukan pemasangan oropharyngeal airway untuk sementara
- Bila pasien mengalami penurunan kesadaran dengan GCS ≤8 dan memiliki trauma pada kepala ataupun trauma multipel, maka pasien membutuhkan definitive airway seperti intubasi endotrakeal
- Ketika airway pasien telah aman, maka protokol ATLS selanjutnya adalah melakukan evaluasi komponen breathing pada pasien[1,4,12,15]
Selain dengan menggunakan metode yang sudah disebutkan di atas, patensi jalan napas juga dapat dicapai menggunakan tindakan pembedahan. Kegagalan melakukan intubasi, misalnya akibat adanya edema laring pada pasien luka bakar, merupakan indikasi dilakukan surgical airway management dengan krikotiroidotomi.[7]
Breathing:
Evaluasi dan penatalaksanaan breathing dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Lakukan penilaian terhadap kemampuan breathing atau pernapasan pasien, apakah pasien dapat bernapas secara spontan atau tidak
- Pasien dengan trauma yang tidak terintubasi harus diberikan suplementasi oksigen melalui sungkup muka non-rebreathing dengan kecepatan aliran oksigen sebesar 9-15 liter/menit yang dapat memberikan konsentrasi oksigen sebesar 90-100%
- Tetap pertahankan pemberian oksigenasi dan ventilasi sebelum, saat, dan segera setelah melakukan intubasi pada pasien yang membutuhkan definitive airway[7,13,15]
Circulation:
Evaluasi dan penatalaksanaan circulation dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Lakukan penilaian terhadap status hemodinamik dan perfusi pasien dengan pengukuran tekanan darah dan frekuensi nadi
- Lakukan pemasangan akses intravena dua jalur dan lakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
- Bila terdapat tanda maupun sumber perdarahan yang terlihat, segera lakukan penghentian perdarahan sementara dengan metode kompresi, yaitu balut tekan steril pada regio yang mengalami perdarahan
- Dalam mencari kehilangan darah internal, pemeriksaan radiologis bisa sangat membantu, protokol ATLS merekomendasikan pemeriksaan ultrasonografi Focus Assessment with Sonography for Trauma (FAST) yang merupakan pemeriksaan ultrasonografi untuk mendeteksi adanya cairan bebas di kavum abdomen pada kasus trauma tumpul abdomen
- Apabila pasien jatuh ke dalam kondisi syok, segera lakukan resusitasi cairan. Jumlah cairan dan produk darah yang dibutuhkan untuk resusitasi sulit diprediksi pada evaluasi awal pasien, sehingga berikan bolus cairan isotonik awal yang hangat dengan dosis lazimnya adalah 1 liter untuk pasien dewasa dan 20 ml/kg untuk pasien pediatrik dengan berat badan di bawah 40 kg Volume absolut cairan resusitasi harus didasarkan pada respon pasien terhadap pemberian cairan awal
- Lakukan pemberian agen vasopressor sesuai indikasi dan dosis terapi yang tepat jika dibutuhkan
- Selama resusitasi cairan, lakukan pemantauan fungsi vital pasien, yakni nadi, tekanan darah, mean arterial pressure (MAP), capillary refill time (CRT), dan urine output. Setelah pasien dalam keadaan hemodinamik dan sirkulasi yang stabil, maka tahapan evaluasi disability dapat dilakukan[9-14]
Disability (Evaluasi Neurologis):
Evaluasi dan penatalaksanaan disability dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Lakukan evaluasi neurologis pada pasien trauma dengan menilai tingkat kesadaran pasien dengan metode Glasgow coma scale (GCS) berdasarkan tiga aspek, yaitu respons pembukaan mata, verbal, dan motorik pada pasien.
- Setelah itu, lakukan penilaian pada ukuran dan reaksi pupil
- Identifikasi ada atau tidaknya tanda lateralisasi pada pasien serta menentukan ada atau tidaknya potensi cedera medulla spinalis.
- Jika pemeriksaan CT scan kepala diindikasikan, maka pemeriksaan penunjang tersebut harus dilakukan pada survei sekunder.[7,12,13]
Exposure and Environmental:
Evaluasi dan penatalaksanaan exposure and environmental dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Pasien harus segera diselimuti dengan selimut hangat atau menggunakan external warming device untuk mencegah hipotermia akibat pakaian pasien yang sepenuhnya ditanggalkan untuk pemeriksaan dan penilaian yang menyeluruh selama primary survey berlangsung.
High-flow fluid warmer dengan menghangatkan cairan kristaloid hingga suhu 39˚C direkomendasikan untuk mencegah hilangnya panas tubuh dan mengembalikan suhu tubuh pasien ke normal.
- Evaluasi kemungkinan adanya luka bakar, dan kemungkinan paparan terhadap zat kimia dan radioaktif
- Pada akhir survei primer, sebelum melanjutkan survei sekunder, ABCDE pada pasien harus dievaluasi ulang dan dikonfirmasi.[6,7,12]
Survei Sekunder
Pada survei sekunder, dapat dilakukan anamnesis singkat mengenai riwayat pasien, evaluasi head to toe dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadap semua tinjauan sistem, pemeriksaan penunjang sesuai dengan indikasi pada pasien, dan re-evaluasi semua tanda-tanda vital pasien.[3,5]
Anamnesis Riwayat pasien dengan AMPLE:
Anamnesis riwayat pasien dengan menggunakan AMPLE dapat dilakukan pada pasien trauma jika memang pasien dapat kooperatif dan masih dalam keadaan sadar, atau aloanamnesis juga dapat dilakukan dengan pengantar pasien. AMPLE terdiri dari beberapa komponen pertanyaan untuk anamnesis, yaitu:
- A (allergies) yaitu ada atau tidaknya riwayat alergi pada pasien
- M (medications) yaitu ada atau tidaknya jenis obat-obatan yang sedang digunakan oleh pasien
- P (past illnesses/pregnancy) yaitu riwayat penyakit dahulu dan kehamilan pada pasien
- L (last meal) yaitu waktu makan terakhir dari pasien
- E (events/environment) yaitu mekanisme kejadian yang berhubungan dengan insiden trauma pada pasien.[3,5,7]
Pemeriksaan Fisik Head to Toe :
Pemeriksaan fisik head to toe merupakan pemeriksaan tinjauan sistem yang menyeluruh pada pasien dengan trauma meliputi;
- Kepala: bila terdapat edema fasial pada pasien dengan trauma maksilofasial, lakukan elevasi pada bagian atas tempat tidur dan posisi reverse Trendelenburg pada pasien yang dicurigai mengalami cedera spinal.
- Toraks: lakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada dinding toraks, untuk mengidentifikasi kondisi open pneumothorax, tension pneumotoraks, flail chest, atau kontusio paru yang dapat timbul pada pasien trauma, terutama dengan mekanisme cedera high-side (tubuh yang terlempar)..
- Abdomen dan pelvis: pemeriksaan fisik inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi pada abdomen dapat dilakukan, dan bila ditemui tanda-tanda kelainan pada abdomen yang mengarah kepada trauma abdomen segera lakukan penatalaksanaan yang sesuai. Bila terdapat tanda fraktur pada pelvis, maka segera lakukan pemasangan pelvic binder untuk meminimalisasikan perdarahan.
- Sistem muskuloskeletal: evaluasi adakah deformitas maupun shortening, palpasi untuk mendeteksi nyeri tekan, dan penilaian range of motion yang membantu identifikasi fraktur dan dislokasi. Gangguan sensasi dan atau hilangnya kekuatan kontraksi otot volunter dapat disebabkan oleh sindrom kompartemen yang memerlukan fasiotomi.
- Sistem integumen: periksa kulit kepala, tangan, dan kaki dengan hati-hati. Apabila terdapat luka bakar, tentukan derajat keparahan luka bakar dan kalkulasi % luas luka bakar.
- Sistem saraf: pemeriksaan neurologis yang komprehensif meliputi evaluasi motorik dan sensorik pada ekstremitas, serta evaluasi ulang respon, tingkat kesadaran pasien, serta ukuran pupil. Tetap pertahankan proteksi tulang belakang sampai terbukti tidak terdapat cedera spinal.[5,6,9,13]
Re-evaluasi
Pasien trauma harus dievaluasi terus-menerus untuk memastikan bahwa temuan abnormalitas yang baru tidak terabaikan dan untuk menemukan adanya kemunduran yang bersifat progresif pada kondisi klinis pasien. Observasi yang terus menerus terhadap tanda vital, saturasi oksigen, dan urine output sangat penting. Untuk pasien dewasa, urine output yang normal adalah 0,5 mL/kg/jam. Sementara itu, pada pasien anak yang berusia >1 tahun, urine output 1 mL/kg/jam merupakan normal.[3,7,12,13]
Pedoman protokol ATLS saat ini juga merekomendasikan penargetan Mean Arterial Pressure (MAP) > 65-70 mmHg dengan menggunakan resusitasi cairan dan penggunaan vasopresor.[7,13,14]
Pemeriksaan Penunjang dan Pemeriksaan Laboratorium
Bila ditemukan kelainan pada survei sekunder, dapat diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan dilakukan sesuai indikasi dan mencakup pemeriksaan rontgen toraks, tulang belakang, dan ekstremitas.[5,12,13]
Pertimbangkan juga pemeriksaan CT scan kepala maupun abdomen. Pemeriksaan EKG dapat dilakukan pada pasien trauma seperti trauma toraks, trauma elektrik, maupun trauma termal. Pemantauan pada jantung yang berkelanjutan tidak diperlukan jika gambaran EKG normal, dan tidak terdapat riwayat penurunan kesadaran, henti jantung, atau laju maupun irama jantung yang abnormal.[7,8,12,13]
Follow up
Follow up pada pasien yang menjalani protokol ATLS harus mencakup tata laksana definitif dari kegawatdaruratan yang terjadi. Sebagai contoh, pada tahap awal, pasien yang mengalami syok mungkin diterapi dengan cairan kristaloid, sehingga pada tahap follow up cairan diubah menjadi transfusi darah. Sumber perdarahan sendiri mungkin memerlukan terapi definitif seperti ligasi atau eksplorasi melalui pembedahan.
Pada pasien dengan trauma toraks yang mengalami pneumotoraks, follow up dapat berupa pemasangan kateter interkostal. Pada pasien dengan fraktur ekstremitas, follow up dapat berupa fiksasi dari fraktur, baik dengan reduksi tertutup maupun reduksi terbuka.[7]