Teknik Tonsillectomy
Teknik tonsillectomy atau tonsilektomi dapat menggunakan metode kauter monopolar atau bipolar, coblation dan ablation, cold technique, microdebrider, harmonic scalpel, atau laser. Tiap metode memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri.
Persiapan Pasien
Anamnesis merupakan bagian dari persiapan pasien. Riwayat kelainan darah, riwayat alergi, riwayat intoleransi anestesi pada pasien dan keluarga, riwayat komorbiditas dan penyakit bawaan, serta tanda dan gejala infeksi akut pada pasien perlu ditanyakan.[1-4]
Pasien anak memerlukan pertimbangan khusus. Riwayat infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) terutama perlu ditanyakan pada pengasuh atau orang tuanya. Pada pasien anak dengan sindrom Down, selain evaluasi ada tidaknya penyakit jantung bawaan, pencitraan tulang servikal mungkin diperlukan untuk tahu ada tidaknya subluksasi C1 dan C2.[1-4]
Sebelum tonsillectomy pada anak dengan sleep-disordered breathing, polisomnografi sebaiknya dilakukan jika usia pasien <2 tahun atau jika ada komorbiditas, misalnya obesitas, sindrom Down, abnormalitas kraniofasial, penyakit sickle cell, atau penyakit neuromuskular. Polisomnografi juga dilakukan jika indikasi operasi meragukan.[1-4,6,9]
Pasien tonsillectomy mungkin akan memerlukan medikamentosa preoperatif, seperti antiemetik, analgesik narkotika, kortikosteroid, maupun anestesi lokal. Akan tetapi, pemberian antibiotik perioperatif pada semua pasien tanpa seleksi berdasarkan risiko infeksi tidak disarankan.[1-4,9]
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam tindakan tonsillectomy akan tergantung pada metode tonsillectomy yang dipilih. Namun, semua metode membutuhkan fiksasi mulut dengan Crowe-Davis atau McIvor mouth gag dan fiksasi tonsil dengan Allis clamp.[1-4]
Tabel 2. Peralatan untuk Tiap Metode Tonsillectomy
Metode | Peralatan |
Cold technique | Scalpel no. 12 Gunting Metzenbaum Fisher tonsil dissector Tyding snare Tonsil forceps |
Kauter monopolar | Kauter monopolar |
Kauter bipolar | Kauter bipolar |
Coblation atau ablation | Radio frequency generator Tonsil wand |
Microdebrider | Powered microdebrider |
Harmonic scalpel | Harmonic scalpel dengan pisau titanium yang bergetar |
Laser | Laser potassium-titanyl-phosphate (KTP) atau laser karbon dioksida (CO2) |
Sumber: Michael Sintong, 2022.
Posisi Pasien
Pasien diatur ke dalam posisi Rose. Pasien berbaring secara supinasi dengan ekstensi kepala yang tercapai melalui penempatan bantal di bawah bahu (shoulder roll). Bantal cincin diletakkan di bawah kepala agar kepala stabil. Hiperekstensi pada leher pasien perlu dihindari. Pasien diintubasi dengan posisi endotracheal tube tepat di garis tengah mulut dan diposisikan ke arah inferior.[1-4]
Prosedural
Setelah tindakan anestesi, semua tonsillectomy didahului dengan fiksasi posisi mulut dengan mouth gag. Tongue blade pada mouth gag harus memiliki ukuran yang sesuai agar panjang tongue blade dapat menyebabkan retraksi lidah tetapi tidak sampai menyebabkan cedera pada dinding faring posterior.[1-4,10-12]
Cold Technique
Seiring dengan perkembangan teknologi bedah, ada berbagai metode tonsillectomy yang dapat dilakukan. Cold technique menggunakan peralatan logam, seperti pisau, gunting, dan snare. Tonsillectomy bisa dilakukan dengan diseksi tajam setelah tonsil difiksasi dan diposisikan secara medial.[1-4,10-12]
Insisi dengan scalpel dilakukan dari sisi lateral tonsil dan dilanjutkan dengan gunting Metzenbaum di bagian avascular plane. Kemudian, Fischer tonsil dissector digunakan untuk melepaskan tonsil dari fossa hingga tonsil masih tersisa di kutub inferior. Lalu, Tyding snare digunakan untuk memisahkan tonsil dari kutub inferiornya.[1-4,10-12]
Kauterisasi
Penggunaan kauter monopolar maupun bipolar juga dapat dilakukan dalam tindakan tonsillectomy. Setelah tonsil diidentifikasi dan difiksasi, kutub superior tonsil diinsisi. Insisi diikuti dengan identifikasi avascular plane dan pemisahan tonsil dari kutub inferior. Penggunaan kauter dalam tonsillectomy menyebabkan waktu operasi semakin singkat serta perdarahan intraoperatif lebih sedikit. Tindakan kauter akan menghasilkan asap, di mana tenaga kesehatan perlu berhati-hati pada tindakan ini.[1-4,10-12]
Coblation atau Ablation
Coblation atau ablation menggunakan aliran radiofrekuensi bipolar untuk memutuskan ikatan molekuler. Coblator dipakai untuk eksisi jaringan, sedangkan ablasi digunakan untuk menyusutkan jaringan. Suhu coblation dan ablation lebih rendah daripada kauter, yaitu 70°C berbanding 400°C. Suhu yang lebih rendah ini mengurangi nyeri postoperatif bila dibandingkan dengan penggunaan kauter.[1-4,10-12]
Microdebrider
Penggunaan microdebrider dilakukan pada tonsillectomy parsial, di mana tonsillectomy tidak dilakukan dengan eksisi tonsil secara utuh tetapi dengan membuang sebagian tonsil secara bertahap dan menyisakan sedikit bagian tonsil. Hal ini dapat mengurangi nyeri postoperatif yang dialami pasien. Namun, terdapat kemungkinan pertumbuhan kembali tonsil dari jaringan sisa ini.[1-4,10-12]
Harmonic Scalpel
Harmonic scalpel menggunakan energi ultrasonik untuk memotong jaringan dan menghentikan perdarahan. Seperti coblation dan ablation, alat ini beroperasi dalam suhu yang lebih rendah daripada kauter, yaitu 50–100°C, sehingga nyeri postoperatif berkurang bila dibandingkan dengan penggunaan kauter.[1-4,10-12]
Laser
Laser potassium-titanyl-phosphate (KTP) maupun karbon dioksida (CO2) masih belum umum digunakan dalam tindakan tonsillectomy. Penggunaan laser dapat mengurangi risiko cedera suhu, nyeri, serta perdarahan postoperatif. Namun, teknik ini belum digunakan secara luas karena tidak efisien dari segi biaya serta memiliki risiko tinggi timbulnya api di dekat saluran napas pasien.[1-4,10-12]
Follow Up
Nyeri post-tonsillectomy merupakan salah satu penyebab tingginya morbiditas pada pasien. Nyeri dapat menyebabkan keengganan pasien untuk makan, sehingga dapat menyebabkan dehidrasi dan penurunan berat badan.[1-4,13]
Kontrol nyeri dapat dicapai dengan pemberian analgesik, seperti paracetamol, opioid (oxycodone atau hydrocodone), maupun obat antiinflamasi nonsteroid. Namun, codeine tidak disarankan untuk manajemen nyeri post-tonsillectomy pada anak usia <12 tahun. Anestesi lokal diketahui tidak efektif untuk penanganan nyeri post-tonsillectomy.[1-4,13]
Follow-up atau kontrol pasien post-tonsillectomy dilakukan pada saat nyeri mengalami puncak ke-2 di sekitar hari ke-5 sampai ke-8. Waktu kontrol berikutnya dilakukan pada 4–8 minggu setelah tindakan untuk menilai perbaikan gejala. Hal yang perlu dipantau adalah status hidrasi, ada tidaknya gangguan napas, dan ada tidaknya perdarahan.[1-4]