Indikasi dan Dosis Oksigen
Indikasi terapi oksigen secara garis besar adalah untuk suplementasi oksigen pada kondisi hipoksemia dan hipoksia. Terapi oksigen diindikasikan pada orang dewasa dan anak dengan PaO2<60 mmHg atau saturasi oksigen <90% pada kondisi istirahat. Pada neonatus, terapi oksigen diindikasikan bila PaO2<50 mmHg atau saturasi O2<88%.[4]
Indikasi
Secara klinis, indikasi oksigen yang paling mudah diterima adalah hipoksemia atau penurunan oksigen dalam darah. Untuk pasien yang sehat, target saturasi oksigen umumnya berada pada 92-98%. Pemberian oksigen diindikasikan pada saturasi di bawah level normal. Saturasi dapat diukur dengan pulse oximetry. Namun, penggunaan pulse oximetry memiliki banyak kekurangan, seperti pembacaan yang kurang akurat pada pasien dengan anemia, keracunan sianida, atau keracunan karbon monoksida. Pulse oximetry juga bukan merupakan indikator perfusi yang memadai seperti pada kasus syok.
Indikasi suplementasi oksigen pada kasus kronis di antaranya pada penyakit paru obstruktif kronik, cystic fibrosis, fibrosis paru, dan sarkoidosis. Pada kondisi akut, suplementasi oksigen dilakukan pada kondisi darurat medis, seperti syok hemoragik, sepsis, trauma mayor, dan henti jantung. Kondisi akut lain yang memerlukan terapi oksigen adalah anafilaksis, keracunan karbon monoksida, keracunan sianida, dan transfusion-related acute lung injury (TRALI). Kondisi kegawatan lain yang dapat membutuhkan terapi oksigen yaitu asthma, bronkitis, gagal jantung akut, dan emboli paru.[4]
Oksigen tambahan juga diberikan selama masa perioperatif karena pada umumnya obat-obatan anastesi menyebabkan penurunan PaO2 sekunder akibat peningkatan rasio ventilasi-perfusi dan penurunan kapasitas residu fungsional paru. Terapi oksigen juga diberikan sebelum prosedur seperti suction trakea atau bronkoskopi yang dapat menyebabkan desaturasi arteri. Terapi oksigen telah terbukti memperpanjang angka harapan hidup pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik dengan PaO2 <60 mmHg.
Oksigen juga bermanfaat pada pasien COVID-19, termasuk mereka yang mengalami komplikasi acute respiratory distress syndrome (ARDS). Hipoksia sering terjadi pada kasus COVID-19 dan berkaitan secara langsung dengan mortalitas.[1-5]
Terapi Oksigen Jangka Panjang
Terapi oksigen berkelanjutan jangka panjang, idealnya sekitar 18 jam/hari, diindikasikan pada kondisi dimana:
- Konsentrasi oksigen arteri parsial (PaO2) siang hari yang stabil adalah 55 mm Hg (7,3 kPA) saat istirahat; atau
- PaO2 siang hari yang stabil adalah 56–59 mm Hg (7,4–7,8 kPa) dan terdapat bukti kerusakan organ hipoksia, termasuk gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal, atau polisitemia
Terapi Oksigen Nokturnal
Terapi oksigen nokturnal dapat diresepkan untuk individu dengan penyakit paru dengan desaturasi menjadi SpO2 ≤ 88% pada malam hari, terutama jika mereka mengalami sekuele seperti hipertensi pulmonal atau polisitemia.
Terapi Oksigen Ambulatori
Oksigen ambulatori dapat diresepkan pada pasien yang meneripa terapi oksigen jangka panjang dan membutuhkan optimalisasi agar pemakaian oksigen dapat dilakukan saat melakukan aktivitas harian.[10]
Terapi Oksigen Hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik dilaporkan memiliki efek antiaging dan antiinflamasi. Beberapa studi telah menunjukkan manfaatnya dalam peremajaan kulit dan penanganan ulkus kronik.[3]
Dosis
Dosis oksigen yang optimal dapat meningkatkan luaran pasien. Tinjauan sistematis dan meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa pemberian oksigen yang berlebihan dapat meningkatkan risiko mortalitas, sehingga oksigen harus tepat guna dan tepat dosis.[11-14]
Target saturasi oksigen perifer adalah 96%. Untuk pasien dengan infark miokard akut atau stroke, jangan memulai terapi oksigen pada pasien dengan SpO2 ≥92%. Rekomendasi lain mengatakan untuk tidak memberikan inisiasi terapi oksigen pada pasien yang memiliki saturasi 90-92%.[12,13]
Kisaran target SpO2 adalah 90-94% pada sebagian besar pasien dan 88-92% pada pasien dengan risiko gagal napas hiperkapnia. Gunakan jumlah minimal oksigen yang diperlukan.[12-14]
Tabel 1. Rangkuman Rekomendasi Penggunaan Oksigen Berdasarkan Kondisi Medis
Kondisi Pasien | Rekomendasi |
Penyakit kritis yang membutuhkan kadar O2 tinggi:
Henti jantung, trauma berat, syok, sepsis, tenggelam, syok anafilaksis, status epileptikus, keracunan karbon monoksida | Terapi oksigen awal: masker dengan reservoir 15L/menit
Ketika stabil, kurangi dosis O2 dengan target saturasi 94-98% (jika tidak ada pulse oxymetry, lanjutkan penggunaan masker hingga terapi definitif tersedia) Pasien dengan PPOK atau faktor risiko hiperkapnia lain yang mengalami penyakit kritis sebaiknya menerima target saturasi awal yang sama dengan pasien penyakit kritis lainnya |
Penyakit berat yang membutuhkan kadar O2 moderat pada pasien hipoksemik:
Asthma akut, pneumonia, kanker paru, fibrosis paru, efusi pleura, pneumothorax, gagal jantung akut, anemia berat | Terapi oksigen awal: kanula hidung 2-6 L/menit atau masker wajah sederhana 5-10 L/menit; ubah ke masker dengan reservoir jika target saturasi yang diinginkan tidak dapat dicapai dengan nasal kanul atau masker wajah sederhana
Untuk pasien yang tidak memiliki risiko gagal napas hiperkapnik namun dengan saturasi <85%, terapi sebaiknya diberikan dengan masker reservoir 10-15 L/menit dan target saturasi 94-98%. |
PPOK dan kondisi lain yang membutuhkan terapi O2 terkontrol atau dosis rendah:
PPOK, cystic fibrosis, obesitas morbid | Sebelum tersedia analisa gas darah, gunakan nasal kanul 1-2L/menit dengan target saturasi awal 88-92% untuk pasien dengan faktor risiko hiperkapnia, tetapi tanpa riwayat asidosis respiratorik
Ubah target saturasi menjadi 94-98% jika PaCO2 normal dan cek ulang gas darah setelah 30-60 menit |
Pasien perlu pengawasan ketat tetapi tidak butuh terapi O2 kecuali pasien hipoksemik:
Infark miokard, stroke, kelainan metabolik, kegawat daruratan kehamilan | Jika hipoksemik, terapi O2 awal: nasal kanul 2-6 L/menit atau masker wajah sederhana 5-10 L/menit kecuali saturasi <85% (gunakan masker dengan reservoir) atau jika ada risiko hiperkapnia
Rekomendasi target saturasi awal: 94-98% |
Sumber: British Thoracic Society, 2017.[15]
Risiko Penggunaan Oksigen Berlebihan
Tidak ada bukti ilmiah adekuat yang menunjukkan manfaat dari pemberian oksigen pada pasien dengan normoksemia atau hipoksemia ringan. Di lain pihak, pemberian oksigen berlebihan dapat memicu timbulnya hiperoksemia yang akan menyebabkan vasokonstriksi dan gangguan perfusi lebih lanjut pada jaringan. Beberapa studi bahkan menunjukkan adanya peningkatan risiko mortalitas pada pasien infark miokard akut yang mengalami hiperoksemia.[3]
Dosis dan pemilihan cara pemberian oksigen akan tergantung pada kondisi klinis masing-masing pasien. Pedoman dari British Thoracic Society mengemukakan prinsip-prinsip berikut:
- Untuk pasien yang sakit kritis, oksigen konsentrasi tinggi harus segera diberikan, tetapi dokter harus ingat bahwa terapi oksigen diberikan untuk meningkatkan oksigenasi dan bukan untuk mengobati penyebab dasar hipoksemia.
- Saturasi oksigen harus diperiksa dengan oksimetri pada semua pasien sesak napas dan sakit akut, bersama dengan pemeriksaan tanda vital lainnya.[15]
Dosis pada Pasien Sakit Kritis
Pada pasien dengan sakit kritis (critically ill), terapi oksigen awal yang direkomendasikan adalah masker reservoir dengan aliran 15 L/menit sambil menunggu ketersediaan pembacaan oksimetri. Setelah saturasi diketahui dan pada pasien dengan sirkulasi baik, dosis secepatnya dikurangi sambil mempertahankan kisaran saturasi target 94-98%. Jika oksimetri tidak tersedia, lanjutkan menggunakan masker reservoir sampai pengobatan definitif tersedia.
Pasien dengan PPOK dan faktor risiko lain untuk hiperkapnia yang berkembang menjadi penyakit kritis harus memiliki saturasi target awal yang sama dengan pasien sakit kritis lainnya sambil menunggu hasil gas darah. Setelah itu, pasien ini mungkin memerlukan terapi oksigen terkontrol dengan kisaran target saturasi 88-92%. Jika ada hipoksemia berat atau hiperkapnia dengan asidosis respiratorik, pertimbangkan penggunaan ventilator.
Beberapa catatan khusus berikut harus diperhatikan sesuai kondisi medis pasien:
- Henti jantung: Pada pasien henti jantung yang menjalani resusitasi jantung paru, berikan oksigen dengan konsentrasi tertinggi yang memungkinkan hingga sirkulasi spontan tercapai.
- Cedera otak traumatik: Pada pasien dengan cedera otak traumatik yang mengalami penurunan kesadaran, intubasi dini sebaiknya dipertimbangkan.
- Keracunan karbon monoksida: Berikan oksigen sebanyak mungkin dengan menggunakan bag-valve mask atau masker reservoir. Periksa kadar karboksihemoglobin. Pembacaan oksimetri normal atau tinggi harus diabaikan karena alat ini umumnya tidak dapat membedakan antara karboksihemoglobin dan oksihemoglobin.
- Kondisi kritis lain: Kondisi kritis lain mencakup sepsis, syok, anafilaksis, trauma mayor, tenggelam, dan status epileptikus. Pada kondisi ini, selain pemberian oksigen, penatalaksanaan terhadap kasus yang mendasari harus dilakukan.[15]
Hipoksemia pada Penyakit Derajat Berat
Penyakit berat dengan hipoksemia contohnya adalah serangan asthma, pneumonia, pneumothorax, kanker paru, dan anemia berat. Pada kondisi-kondisi ini, secara umum terapi oksigen awal yang disarankan adalah 2-6 L/menit dengan nasal kanul atau 5-10 L/menit dengan masker sederhana. Apabila saturasi oksigen tidak membaik, maka ganti ke masker reservoir.
Untuk pasien yang tidak berisiko gagal napas hiperkapnia yang memiliki saturasi di bawah 85%, pengobatan dimulai dengan oksigen 15 L/menit menggunakan masker reservoir. Kisaran target saturasi oksigen yang direkomendasikan adalah 94-98%. Lakukan analisis gas darah setiap 30-60 menit jika dianggap perlu.[15]
Pemberian Terapi Oksigen Dosis Rendah
Pemberian terapi oksigen dosis rendah dilakukan dengan nasal kanul atau masker venturi. Dosis yang diberikan adalah 2-3 L/menit menggunakan masker venturi 24%; atau 4 L/menit dengan masker venturi 28. Jika digunakan nasal kanul, berikan oksigen 1-2 L/menit. Target saturasi oksigen adalah 88-92% untuk pasien dengan faktor risiko hiperkapnia tetapi tidak ada riwayat asidosis respiratorik sebelumnya. Pemberian terapi oksigen harus berhati-hati. Pertimbangkan pengecekan analisis gas darah setiap jam.
Contoh pasien yang mungkin mendapat manfaat dengan terapi oksigen dosis rendah adalah pasien PPOK, cystic fibrosis, dan obesitas morbid.[15]
Kondisi Medis yang Tidak Memerlukan Terapi Oksigen Kecuali Jika Terjadi Hipoksemia
Tidak semua kondisi medis memerlukan terapi oksigen, misalnya pada pasien dengan infark miokard atau stroke yang normoksemia. Jika pasien mengalami hipoksemia, terapi oksigen awal adalah 2-6 L/menit dengan nasal kanul atau 5-10 L/menit dengan masker sederhana. Jika saturasi di bawah 85%, atau pasien berisiko hiperkapnia, gunakan masker reservoid. Secara umum, rentang saturasi target awal yang direkomendasikan adalah 94-98%.[15]
Sindrom Koroner Akut dan Infark Miokard:
Pada pasien dengan sindrom koroner akut dan infark miokard yang tidak mengalami hipoksemia, terapi oksigen umumnya tidak disarankan. Telah ada studi yang menunjukkan bahwa pemberian oksigen berlebihan pada populasi pasien ini dapat memperbesar ukuran infark.[15]
Stroke:
Pasien stroke umumnya tidak mengalami hipoksemia. Pemberian oksigen pada pasien-pasien ini tidak disarankan karena diduga dapat menyebabkan vasokonstriksi dan memperparah stroke yang dialami.[15]
Hiperventilasi dan Pernapasan Disfungsional:
Pasien yang mengalami hiperventilasi dan pernapasan disfungsional tanpa sebab organik, misalnya pasien dengan serangan panik, tidak memerlukan terapi oksigen suplemental.[15]
Kondisi Medis Lainnya:
Kondisi medis lain yang mungkin tidak memerlukan terapi oksigen kecuali jika pasien hipoksemia adalah kehamilan, kegawatdaruratan obstetrik, gangguan metabolik, gangguan ginjal, dan overdosis. Pada pasien-pasien ini, sebaiknya dilakukan pemeriksaan analisis gas darah sebelum memutuskan perlunya pemberian terapi oksigen.[15]
Penulisan pertama: dr. Della Puspita Sari