Farmakologi Loratadine
Komponen farmakologi loratadine bersifat tidak larut air, namun sangat mudah larut dalam aseton, alkohol dan kloroform. Senyawa ini memiliki berat molekul 382,9 g/mol dan bentuk empirik C22H23ClN2O2. Loratadine merupakan kelompok antihistamin H1. Antihistamin H1 dibagi dalam 2 kelompok, yaitu generasi pertama dan kedua. Antihistamin H1 generasi pertama memiliki efek sedatif yang tinggi dan lebih kuat dalam menghambat reseptor di sistem otonom. Sedangkan generasi kedua memiliki efek sedatif yang lebih rendah. Seluruh antihistamin H1 merupakan senyawa amin yang stabil.[1,2,10]
Farmakodinamik
Beberapa aspek farmakodinamik loratadine yang harus diketahui adalah :
Karakteristik reseptor histamin H1
Reseptor histamin H1 termasuk dalam kelompok G-protein coupled receptor dengan 7 segmen α-heliks transmembran yang berfungsi sebagai ‘saklar’ dalam mengaktivasi kerja sel. Untuk menimbulkan respon, histamin berikatan dengan protein transmembran domain III dan V pada reseptor histamin H1. Ikatan tersebut menyebabkan perubahan konfrontasi reseptor dan mengaktifkan sel.
Antihistamin memiliki struktur yang berbeda dari molekul histamin, akibatnya sebagian besar senyawa diketahui tidak bekerja sebagai antagonis, melainkan sebagai reverse agonis. Senyawa tersebut tidak berkompetisi dengan histamin tapi berikatan dengan bagian lain dari reseptor histamin dan menghasilkan efek yang berkebalikan. Misalnya cetirizine berikatan dengan domain IV dan VI pada reseptor H1. Oleh karena itu sebaiknya digunakan istilah antihistamin H1 dibandingkan antagonis histamin, karena tidak semua senyawa bekerja sebagai antagonis histamin.[10,11]
Antihistamin H1 generasi kedua
Antihistamin H1 generasi kedua mulai diperkenalkan sejak tahun 1980 an. Obat-obatan golongan ini lebih selektif terhadap reseptor H1 dan tidak memiliki efek kolinergik. Selain itu senyawa ini memiliki kemampuan penetrasi yang buruk ke sawar darah otak sehingga menyebabkan efek sedatif yang rendah. Kondisi ini disebabkan antihistamin H1 generasi 2 bukan merupakan substrat yang sesuai untuk menembus sawar darah otak melalui protein transporter aktif glikoprotein P. Antihistamin H1 juga memiliki efek anti inflamasi namun membutuhkan dosis harian agar efeknya dapat terlihat secara klinis. Antihistamin generasi kedua dibagi menjadi 2 kelompok yaitu golongan piperidin (feksofenadin) dan golongan lainnya (loratadine dan cetirizine).[10,11]
Karakteristik Loratadine
Loratadine adalah antihistamin H1 trisiklik kerja panjang generasi kedua. Loratadine merupakan antagonis reseptor H1 yang menghambat kerja histamin dengan berkompetisi mengikat reseptor H1 perifer secara reversibel. Akibatnya, gejala yang disebabkan oleh aktivitas histamin di pembuluh darah kapiler (vasodilatasi), otot polos bronkus (bronkokonstriksi), dan otot polos gastrointestinal (kontraksi spasmodik otot polos gastrointestinal) dapat dihambat.
Loratadine memiliki efek sedasi yang lebih ringan dibandingkan dengan antagonis reseptor H1 generasi pertama karena senyawa ini tidak memiliki kemampuan untuk menembus sawar darah otak sehingga tidak dapat terdistribusi sempurna ke sistem saraf pusat. Selain itu, loratadine memiliki afinitas yang rendah pada reseptor kolinergik dan alfa adrenergik sehingga tidak memberikan efek yang signifikan. Loratadine memiliki senyawa metabolit aktif yaitu desloratadine atau descarbo ethoxy loratadine.[1,2,10]
Efektivitas antihistamin H1 ditentukan oleh 2 faktor yaitu afinitas obat terhadap reseptor dan konsentrasi obat di lokasi ikatan. Desloratadine sebagai metabolit loratadine merupakan antihistamin yang paling poten diikuti oleh levocetirizine dan feksofenadin. Secara in vivo, cetirizine dan feksofenadin memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan loratadine, namun cetirizine dapat menyebabkan somnolen pada individu berisiko, dan feksofenadin memiliki durasi kerja obat yang singkat. Loratadine memiliki efikasi yang lebih rendah namun jarang menyebabkan somnolen dan memiliki durasi kerja yang panjang sehingga dapat menjadi pilihan. [10,11]
Farmakokinetik
Farmakokinetik loratadine mayoritas berikatan dengan protein plasma dan dimetabolisme di hepar.
Absorpsi
Loratadine diserap dengan cepat di saluran pencernaan. Onset kerja pada 1-3 jam dan durasi efek obat >24 jam. [1,2,3]
Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak di plasma adalah 1,3 jam untuk loratadine dan 2,3-2,5 jam untuk desloratadine baik dalam bentuk tablet maupun sirup.[1,2,3]
Konsumsi loratadine bersama dengan makanan menyebabkan makin lamanya waktu untuk mencapai konsentrasi puncak, namun meningkatkan bioavailabilitas dan tidak mempengaruhi konsentrasi puncak di plasma.[1,2,3]
Distribusi
Loratadine 98% berikatan dengan protein plasma.[1,2] Pada kondisi menyusui, loratadine dan metabolitnya dapat terdistribusi ke ASI dan mencapai puncak konsentrasi yang ekuivalen dengan konsentrasi di plasma darah ibu.[1,2,3]
Metabolisme
Proses metabolisme loratadine terjadi di hepar dan menghasilkan metabolit aktif berupa desloratadine. Metabolisme tersebut dilakukan oleh enzim CYP3A4 (mayor) dan CYP2D6 (minor).
Apabila terdapat zat lain yang menginhibisi kerja enzim CYP3A4, metabolisme utama loratadine diambil alih oleh CYP2D6. Administrasi bersama loratadine dengan ketokonazol, eritromisin (penghambat CYP3A4), dan simetidin (penghambat CYP2D6 dan CYP3A4) akan meningkatkan konsentrasi loratadine di dalam plasma.[1,2]
Eliminasi
Loratadine dan desloratadine diperkirakan mencapai kadar yang stabil dalam darah setelah pemberian dosis kelima.
Waktu paruh loratadine adalah 8,4 jam (3 – 20 jam). Waktu paruh desloratadine 28 jam (8,8 – 92 jam). Efek kerja loratadine yang panjang terjadi akibat lamanya waktu disosiasi metabolit desloratadine dari reseptor.[1,2]
Sejumlah 80% dari total loratadine yang dikonsumsi diekskresikan dalam bentuk metabolit melalui urin dan feses selama 10 hari. [1,2,3]