Kontraindikasi dan Peringatan Naloxone
Kontraindikasi relatif untuk naloxone atau yang dikenal pula dengan nalokson adalah hipersensitivitas terhadap obat. Pada kasus–kasus emergensi, nalokson dapat diberikan dengan melihat manfaat dan kerugian bagi pasien.
Belum ada kontraindikasi absolut untuk pemberian nalokson. Perhatian khusus diperlukan untuk pasien dengan ketergantungan opioid kuat, gangguan fungsi jantung, gangguan fungsi hati dan gangguan fungsi ginjal.
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolut pada keadaan emergensi. Kontraindikasi relatif, yaitu hipersensitif terhadap naloxone hidroklorida.[2,3]
Peringatan
Naloxone harus diberikan dengan hati–hati kepada pasien yang telah menerima opioid dalam dosis besar, yang diketahui atau diduga secara fisik tergantung pada opioid (termasuk neonatus yang dilahirkan oleh wanita yang ketergantungan opioid), karena obat dapat memicu gejala putus obat.
Gejala putus obat dapat timbul seperti rhinorrhea, lakrimasi, menguap, menggigil, piloereksi, hiperventilasi, hipertermia, midriasis, nyeri otot, muntah, diare dan kecemasan. Pada neonatus, gejala penarikan opioid dapat terjadi kejang, menangis berlebihan, dan refleks hiperaktif.[5,8,13]
Perhatian penggunaan naloxone pada pasien dengan beberapa kondisi seperti dibawah ini:
- Penyakit kardiovaskular atau pasien yang menerima obat dengan efek kardiovaskular yang merugikan
- Riwayat kejang, hindari penggunaan meperidin yang dapat menginduksi kejang
- Penggunaan opioid kerja panjang seperti metadon, buprenorfin dapat menyebabkan depresi pernapasan berulang, sehingga pemantauan kondisi pasien harus dilakukan sampai tidak ada lagi risiko depresi napas berulang atau depresi sistem saraf pusat (SSP)
- Pembalikan pasca operasi yang tiba–tiba dapat menimbulkan rasa sakit, mual, muntah, berkeringat, kejang, hipertensi, dan takikardia; kejadian kardiovaskular lainnya, termasuk edema paru dan aritmia dapat terjadi[2]
Tindakan resusitasi seperti pemeliharaan jalan napas, ventilasi buatan, pijat jantung harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan kondisi pasien. Alat emergensi harus selalu tersedia seperti intubasi, pipa endotrakeal dan agen vasopressor untuk membantu tindakan resusitasi jika diperlukan.
Beberapa contoh kasus hipotensi, hipertensi, takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel, edema paru, dan henti jantung telah dilaporkan pada pasien pasca operasi setelah pemberian nalokson. Kematian, koma, dan ensefalopati telah dilaporkan sebagai gejala sisa dari kejadian ini.[5,7]
Penggunakan pada Gangguan Jantung
Nalokson harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya atau pasien yang telah menerima obat dengan efek samping kardiovaskular, seperti hipotensi, takikardi ventrikel atau fibrilasi, dan edema paru.[5,8]
Penggunakan pada Gangguan Hati
Keamanan dan efektivitas nalokson pada pasien dengan penyakit hati belum ditetapkan dalam uji klinis. Penelitian kecil yang dilakukan pada pasien dengan sirosis hati, konsentrasi nalokson plasma meningkat sekitar 6 kali lebih tinggi dibandingkan pada pasien tanpa penyakit hati.[2,5,7]
Penggunakan pada Gangguan Ginjal
Keamanan dan efektivitas nalokson pada pasien dengan insufisiensi atau gagal ginjal belum ditetapkan dalam uji klinis.[2,5]
Neonatal Abstinence Syndrome
Neonatal abstinence syndrome (NAS) adalah kejadian akibat penghentian secara tiba–tiba paparan zat yang digunakan atau disalah gunakan oleh ibu selama masa kehamilan. Klinis NAS melibatkan gangguan multisistem umum melibatkan sistem saraf pusat dan otonom serta gastrointestinal.
Gejala yang muncul pertama kali adalah gejala SSP seperti irritable, gelisah, gemetaran, dan menangis berlebihan. Hiperiritabilitas merupakan ciri khas dari NAS. Selain itu gejala seperti tremor, diare dan kejang juga dapat muncul.[19]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli