Kontraindikasi dan Peringatan Cefoxitin
Kontraindikasi cefoxitin adalah penggunaan pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap cefoxitin. Penggunaan pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap sefalosporin lain juga perlu berhati-hati. Selain itu, peringatan penggunaan cefoxitin harus mencakup adanya risiko infeksi akibat Clostridium difficile.[1-3,6]
Kontraindikasi
Penggunaan cefoxitin dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap cefoxitin atau golongan sefalosporin lainnya, serta riwayat reaksi hipersensitivitas berat, seperti anafilaksis, terhadap antibiotik β-laktam lain. Cefoxitin juga tidak dianjurkan untuk neonatus berusia <3 bulan.[2,3]
Peringatan
Penggunaan cefoxitin dapat menyebabkan superinfeksi, termasuk diare dan kolitis akibat Clostridium difficile (CDAD). Seperti antibiotik lain, cefoxitin dapat mengganggu flora normal usus sehingga memungkinkan pertumbuhan berlebih C. difficile. Gejala dapat berkisar dari diare ringan hingga kolitis fatal. Oleh karena itu, jika pasien mengalami diare selama atau setelah terapi, terutama dalam waktu 2 bulan setelah penghentian antibiotik, CDAD harus dipertimbangkan.
Reaksi hipersensitivitas juga dapat terjadi selama terapi cefoxitin, termasuk ruam, pruritus, urtikaria, anafilaksis, hingga sindrom Stevens-Johnson. Bila terjadi reaksi alergi, terapi harus segera dihentikan. Karena adanya potensi reaktivitas silang antar antibiotik β-laktam, penggunaan cefoxitin harus dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan riwayat alergi terhadap β-laktam.
Penggunaan cefoxitin juga memerlukan kewaspadaan pada pasien dengan riwayat penyakit gastrointestinal, khususnya kolitis, mengingat risiko CDAD. Selama penggunaan jangka panjang, fungsi organ seperti ginjal, hati, dan sistem hematopoietik perlu dipantau secara berkala.
Untuk mengurangi risiko resistensi antibiotik dan menjaga efektivitas cefoxitin, penggunaannya harus dibatasi pada infeksi yang terbukti atau sangat dicurigai disebabkan oleh bakteri yang sensitif. Pemilihan terapi sebaiknya didasarkan pada hasil kultur dan uji sensitivitas, serta pola epidemiologi dan kerentanan lokal.[3]