Farmakologi Fusidic acid
Aspek farmakologi fusidic acid berhubungan dengan sifat bakteriostatiknya yang menghambat sintesis protein dan sifat bakterisidal dalam dosis tinggi. Fusidic acid memiliki struktur yang menyerupai steroid, tetapi tidak memiliki efek antiinflamasi seperti steroid.[12–15]
Fusidic acid efektif untuk bakteri gram positif, terutama Staphylococcus aureus. Bakteri lainnya yang juga sensitif pada fusidic acid adalah Streptococcus, Neisseria, Haemophilus, Moraxella, Haemophilus, Neisseria, Chlamydia, Mycobacterium tuberculosis, Nocardia, dan Corynebacterium. Fusidic acid juga digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh methicillin-resistant Staphylococcus aureus.[1,16-18]
Fusidic acid terbuat dari proses fermentasi dengan mengisolasi Fusidium coccineum. Fermentasi dilakukan pada suhu 24°C selama 120 jam. Hasil fermentasi ini menyebabkan fusidic acid tergolong dalam jenis bahan kimia fusidan dan memiliki struktur yang menyerupai antibiotik cephalosporin P1 dan prednisolone dengan sifat antibakteri yang lebih tinggi.[13,15,19,20]
Farmakodinamik
Fusidic acid bekerja secara bakteriostatik dan bakterisidal pada dosis tinggi. Fusidic acid menghambat sintesis protein bakteri (pada proses translokasi) dengan berikatan dengan translokasi (protein yang dibutuhkan saat proses translokasi bakteri di ribosom) yang dikenal juga dengan faktor elongasi G (EF-G). Hal ini akan menghambat proses translokasi dari situs P ke situs A, sehingga protein yang diperlukan bakteri tidak terbentuk, dan akhirnya bakteri mengalami lisis.[13,16-18]
Saat proses translokasi, terdapat tiga tempat yang bersebelahan dengan kompleks ribosom-mRNA yang dikenal sebagai situs A, P, dan E, di mana peptidil tRNA datang dan berikatan dengan situs A. Setelah itu, asam amino pada situs A akan dihubungkan dengan situs P, lalu peptidil tRNA pada situs A akan dipindahkan ke situs P, kemudian ke situs E. Proses translokasi pada sintesis protein bakteri ini akan terganggu dengan adanya fusidic acid.[13,21]
Farmakokinetik
Studi farmakokinetik fusidic acid pada manusia menunjukkan bahwa setelah 1 jam pemberian pada fornix mata, konsentrasinya pada cairan lakrimal berkisar antara 15,7–40 mcg/mL. Setelah 12 jam, konsentrasinya menjadi 1,4–5,6 mcg/mL. Di aqueous humor, kadarnya setelah 12 jam adalah 0,3 mcg/mL.
Kadar ini lebih tinggi daripada kadar minimal yang cukup untuk menghambat pertumbuhan bakteri (minimum inhibitory concentration/MIC) terutama gram positif, seperti Staphylococcus aureus. Dengan begitu, pemberiannya cukup dilakukan tiap 12 jam.[12]
Fusidic acid topikal dalam bentuk krim dan salep memiliki kemampuan absorpsi dan penetrasi yang cukup baik, tetapi tidak bertahan lama pada kulit. Baru-baru ini, fusidic acid tersedia dalam bentuk nanoemulgel dan sediaan ini dinilai memiliki kemampuan penetrasi yang lebih baik.
Akan tetapi, efikasi sedian ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Pada pemberian topikal, kadar MIC mencapai ≤0,25 atau ≤0,5 mg/mL.[22,23]
Absorpsi
Fusidic acid tetes mata diabsorpsi melalui tear film ke jaringan konjungtiva pada fornix, di mana pada area ini koloni bakteri lebih banyak ditemukan. Cara penetrasi fusidic acid pada jaringan okular menyerupai obat antiinflamasi (karena struktur yang menyerupai steroid), walaupun obat ini tidak memiliki efek antiinflamasi. Kemampuan penetrasi fusidic acid krim dan salep cukup rendah, yaitu 2,3%.[13,23]
Absorpsi fusidic acid topikal ke dalam sirkulasi sistemik kurang signifikan untuk menimbulkan efek samping sistemik, sehingga kadar sistemiknya dapat diabaikan pada penggunaan topikal.[24,25]
Distribusi
Fusidic acid tetes mata dapat melakukan penetrasi pada jaringan avaskuler, sehingga dapat mencapai konsentrasi yang tinggi pada kornea apabila diberikan secara topikal. Obat ini juga dapat terdistribusi secara intraokular melewati kornea ke aqueous humor, kemudian berdifusi melewati blood-aqueous barrier.[26]
Fusidic acid memiliki sifat lipofilik dan hidrofilik, sehingga obat ini memiliki kemampuan penetrasi yang baik pada kulit yang intak maupun tidak, seperti luka bakar. Fusidic acid juga mampu melakukan penetrasi pada seluruh lapisan kulit, baik kutan maupun subkutan.[15]
Beberapa literatur menyatakan bahwa kadar fusidic acid tetes mata, krim, maupun salep yang diabsorpsi secara sistemik termasuk sedikit, sehingga efek sistemiknya dapat diabaikan. Walaupun begitu, pada sirkulasi sistemik, fusidic acid dapat berikatan dengan albumin dengan kekuatan 91–98%, sehingga penggunaannya harus tetap diperhatikan.[23,26]
Metabolisme
Pada mamalia, fusidic acid dimetabolisme menjadi derivat asam dikarboksilat. Fusidic acid mengalami oksigenasi dan oksidasi oleh mikroba menjadi 6-hydroxy, 7-hydroxy, 3-didehydro, dan 6-oxofusidic acid atau mengalami deasetilasi dan menghasilkan derivat 16β-hydroxy, yang secara spontaneus mengalami konversi menjadi analog lakton secara biologis inaktif.[16-18]
Eliminasi
Eliminasi fusidic acid dipengaruhi oleh tear fluid turnover. Kecepatan tear fluid turnover umumnya ±15% per menit dan dapat meningkat apabila mata mendapatkan tetes mata topikal. Selain itu, eliminasinya juga dipengaruhi oleh frekuensi berkedip yang akan mengurangi kadar fusidic acid dalam tear fluid.[23-26]
Eliminasi fusidic acid pada kulit masih sulit ditemukan, tetapi kemungkinan bergantung pada transepidermal water loss (TEWL) kulit. Eliminasi akan lebih cepat pada kulit dengan stratum korneum yang tidak intak karena TEWL akan lebih tinggi pada keadaan ini.
Eliminasi fusidic acid terutama dilakukan oleh sistem bilier, tetapi karena absorpsi sistemik tidak signifikan maka proses ini kemungkinan tidak terjadi pada pemberian topikal.[27–29]
Resistensi
Resistensi terhadap fusidic acid belum banyak dilaporkan. Namun, resistensi dapat terjadi akibat perubahan faktor elongasi G, perubahan permeabilitas obat, dan peningkatan efluks.[14,30]
Mekanisme resistensi fusidic acid yang sering dilaporkan adalah mutasi fusA (gen yang mengkode protein EF-G). Mutasi ini menyebabkan faktor elongasi (EF-G) tidak dapat berikatan dengan antibiotik, sehingga antibiotik tidak dapat bekerja dengan baik.[2]
Berdasarkan uji antibiotic susceptibility test (AST), S. epidermidis (62.5%) dan gram negatif (P. aeruginosa) (46,7%) dilaporkan memiliki resistensi tinggi terhadap fusidic acid. Selain itu, studi lain menunjukkan bahwa Nocardia yang patogenik dapat menginaktivasi fusidic acid.[30,31]