Formulasi Amphotericin B
Formulasi amphotericin B tersedia dalam amphotericin B deoxycholate, amphotericin B cholesteryl sulfate complex, amphotericin B lipid complex, dan amphotericin B liposomal.
Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan amphotericin B yang tersedia di Indonesia berupa sediaan injeksi intravena 5 mg/ml serta salep mata 1% dan 3%. Selain itu, terdapat juga sediaan tablet vagina yang berisi kandungan amphotericin B 50 mg dikombinasikan dengan tetrasiklin 100 mg.[6]
Cara Penggunaan
Injeksi amphotericin B harus dilakukan melalui infus intravena lambat dengan konsentrasi sebesar 0,1 mg/mL (1 mg/10 mL). Infus intravena harus diberikan 2-6 jam (tergantung dosis) dengan melakukan pengawasan klinis terhadap reaksi akut yang dapat ditimbulkan obat. Pemberian harus disesuaikan dengan toleransi pasien terhadap obat, keadaan klinis pasien berdasarkan lokasi, dan tingkat keparahan infeksi, etiologi infeksi, dan fungsi kardiorenal.[10]
Sebelum memulai terapi, perlu dilakukan uji intravena dosis tunggal (1 mg dalam 20 mL larutan dekstrosa 5%) selama 20–30 menit. Setelah itu, lakukan pengawasan terhadap suhu, denyut nadi, laju pernapasan, dan tekanan darah yang dicatat setiap 30 menit selama 2 - 4 jam.
Cara pemberian obat amphotericin B dapat menggunakan inline filter yang mempunyai pori dengan diameter >1 micron. Amphotericin B tidak kompatibel dengan cairan salin normal dan tidak boleh diberikan dengan larutan yang mempunyai sifat bakteriostatik. Cairan yang kompatibel dengan amphotericine B adalah Dextrose 5%.
Sediaan tablet vagina yang berisi amphotericin b kombinasi dengan tetrasiklin digunakan dengan dimasukkan ke dalam vagina.
Cara Penyimpanan
Penyimpanan amphotericin B sebaiknya dilakukan pada suhu 2-8oC. Vial rekonstitusi harus terlindung dari cahaya dan dapat stabil selama 24 jam pada suhu kamar dan 1 minggu jika didinginkan. Campuran parenteral harus terlindung dari cahaya dan dapat stabil selama 24 jam pada suhu kamar dan 2 hari jika didinginkan.[8]
Kombinasi dengan Obat Lain
Kombinasi amphotericin B dengan antifungi lain didukung berdasarkan pengalaman klinis dan studi in vitro pada hewan percobaan, seperti kombinasi amphotericin B dengan flusitosin, yang direkomendasikan oleh guideline International Society for Peritoneal Dialysis sebagai terapi inisial pada peritonitis jamur.
Hal ini terkait dengan distribusi amphotericin B, dimana lebih dari 90% zat ini akan berikatan dengan protein, sehingga perlu dikombinasikan dengan flusitosin. Selanjutnya, pemberian antifungi dapat dilanjutkan sesuai etiologi jamur spesifik dan pola kerentanan terhadap infeksi.
Kombinasi amphotericin B dengan flusitosin juga diketahui lebih efektif dibanding monoterapi fluconazole pada pasien perawatan intensif non neutropenia dengan kandidiasis invasif.
Amphotericin B juga dapat dikombinasikan dengan caspofungin untuk tata laksana kandidemia refrakter pada neonatus yang sulit disembuhkan dengan antifungi konvensional. Pada kasus endokarditis kandida, kombinasi caspofungin dengan amphotericin B liposomal, fluconazole, atau vorikonazol juga menunjukkan keberhasilan pengobatan.[18]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri