Farmakologi Rifampicin
Farmakologi rifampicin atau rifampin adalah mematikan mikroorganisme secara intraseluler dan ekstraseluler, dengan cara mensupresi proses awal sintesis protein bakteri.[1,3]
Farmakodinamik
Mekanisme kerja rifampicin adalah menginhibisi enzim RNA polimerase DNA-dependent, dengan cara mengikatkan diri kepada subunit beta. Kemudian, transkripsi RNA akan dihalangi, sehingga sintesis protein bakteri tidak terjadi dan sel bakteri mati. Hal ini yang menjadikan obat rifampicin memiliki sifat bakterisidal, dan sebagai inducer enzim yang poten.[1,3,15]
Farmakokinetik
Farmakokinetik rifampicin adalah absorpsi oral yang baik, metabolisme pada hepar, dan eliminasi utama melalui cairan empedu.[3,13,15]
Absorpsi
Obat diabsorpsi secara baik per oral, dengan bioavailabilitas 90‒95%. Namun, makanan dapat menghambat penyerapan obat, atau menurunkan konsentrasi puncak plasma sekitar 30%. Waktu pencapaian konsentrasi puncak obat dalam plasma darah adalah sekitar 2‒4 jam setelah konsumsi per oral.
Konsumsi 600 mg rifampicin peroral pada orang dewasa sehat, akan memberikan konsentrasi puncak obat dalam serum, rata-rata 7 μg/mL dengan kisaran 4‒32 μg/mL.[3,13,15]
Distribusi
Obat bersifat tinggi lipofilik. Rifampicin terdistribusi secara luas ke seluruh tubuh, dengan konsentrasi efektif pada banyak organ, dan cairan tubuh. Melewati sawar otak, obat juga terdistribusi ke dalam cairan serebrospinal. Ikatan obat dengan protein adalah 80%. Fraksi obat yang tidak terikat protein, kebanyakan tidak terionisasi, dan karenanya dapat berdifusi secara bebas ke dalam jaringan tubuh.[3,13,15]
Metabolisme
Metabolisme rifampicin terjadi di hepar dan dinding intestinal. Obat menjalani proses resirkulasi enterohepatik. Pada siklus tersebut, obat terhidrolisis pada cairan empedu, dan dikatalisis dalam substrat esterase dengan pH tinggi. Setelah sekitar 6 jam, hampir semua obat sudah menjalani proses deasetilasi yang progresif. Meski dalam bentuk deasetilasi, rifampicin tetap poten sebagai antibiotik, yang memiliki aktivitas antibakteri.[3,13,15]
Eliminasi
Waktu paruh biologis terjadi sekitar 3‒4 jam setelah pemberian rifampicin 600 mg peroral. Waktu paruh meningkat sekitar 3,5‒7,5 jam, setelah pemberian dosis 900 mg. Selanjutnya, pemberian obat yang diulangi, akan menurunkan waktu paruh, dan akan mencapai nilai rata-rata sekitar 2‒3 jam.
Waktu paruh memanjang, pada penyakit kerusakan hati. Waktu paruh tidak berbeda pada pasien dengan gagal ginjal, pada pemberian dosis tidak melebihi 600 mg per hari. Pasien dengan kondisi ini, tidak memerlukan penyesuaian dosis. Pada penyakit ginjal kronis stadium akhir, waktu paruh sekitar 11 jam.
Setelah menjalani proses deasetilasi, obat tidak lagi direabsorpsi di interstisial. Hal ini akan memfasilitasi proses eliminasi. Sebagian besar eliminasi obat terjadi di cairan empedu, yaitu sekitar 60‒65% diekskresikan ke feses. Sekitar 30% obat diekskresikan di urine. Hanya sekitar 7% dari obat yang dikonsumsi, diekskresikan ke urine dalam bentuk utuh dan tidak berubah.[3,13,15]
Resistensi
Mikroorganisme yang resisten terhadap rifampicin, biasanya akan resisten pula terhadap golongan obat rifamycins lainnya, seperti rifabutin dan rifapentine. Resistensi rifampicin diketahui terjadi sebagai mutasi tunggal pada enzim polimerase RNA DNA-dependent.[14,15]
Untuk mencegah perkembangan resistensi kuman dan mempersingkat lamanya pengobatan tuberkulosis paru, maka rifampicin diberikan sebagai terapi kombinasi dengan obat antituberkulosis lain, yaitu isoniazid, pirazinamid, dan etambutol.
Resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap rifampicin berkembang sangat cepat, apabila digunakan tanpa antibiotik yang lain. Uji coba di laboratorium, memperkirakan kecepatan resistensi terjadi pada kecepatan 10 pangkat minus 7 hingga 10 pangkat minus 10 per bakteri M. tuberculosis per generasi.[15,16]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini