Penggunaan pada Kehamilan dan Ibu Menyusui Ranitidin
Penggunaan ranitidin pada kehamilan masuk dalam kategori B oleh FDA dan kategori B1 oleh TGA. Pada ibu menyusui, ranitidin dikeluarkan melalui ASI.[7,8]
Penggunaan pada Kehamilan
FDA memasukkan ranitidin dalam Kategori B. Artinya, studi pada binatang percobaan tidak memperlihatkan adanya risiko terhadap janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil.[7]
Di sisi lain, TGA memasukkan ranitidin dalam Kategori B1. Artinya, obat telah dikonsumsi oleh sejumlah kecil wanita hamil dan wanita usia subur, tanpa menunjukkan peningkatan frekuensi malformasi atau efek berbahaya langsung atau tidak langsung lainnya pada janin berdasarkan pengamatan. Studi pada hewan belum menunjukkan bukti peningkatan terjadinya kerusakan janin.[8]
Dalam praktik, ranitidin digunakan untuk GERD atau gastroesophageal reflux disease, ulkus peptikum, dan sindrom Zollinger-Ellison
Studi reproduksi pada tikus dan kelinci menggunakan dosis hingga 160 kali lipat dosis normal pada manusia tidak menunjukkan efek berbahaya pada janin. Studi tersebut juga tidak menunjukkan adanya risiko gangguan kesuburan.[2]
Penggunaan Pada Ibu Menyusui
Ranitidin dikeluarkan ke ASI. Pada studi yang melibatkan enam wanita menyusui pada 6-10 hari postpartum dan diberi 150 mg ranitidin oral dosis tunggal, kadar rata-rata ranitidin pada ASI ditemukan sebesar 1,42 mg/L setelah 4 jam pemberian dan 1,02 mg/L setelah 8 jam pemberian. Kadar ini sebetulnya cukup kecil dan diduga tidak memberi efek bermakna pada bayi yang menyusu. Meski demikian, karena sediaan ranitidin diketahui mengandung N-nitrosodimethylamine (NDMA) yang bersifat karsinogenik, pemberian pada ibu menyusui tidak direkomendasikan.[4,13]
Penulisan pertama oleh: dr. Khrisna Rangga Permana