Farmakologi Methadone
Farmakologi methadone atau metadon adalah opioid sintetis agonis yang memiliki sindrom ketergantungan dengan onset lebih panjang dan perlahan, serta gejala yang lebih ringan dibandingkan morfin. Oleh karena itu, methadone digunakan sebagai terapi lini pertama untuk dependensi opioid.[1-4]
Farmakodinamik
Methadone merupakan opioid sintetis agonis yang bekerja pada reseptor opioid μ (Miu Opioid Receptor / MOR), κ (Kappa Opioid Receptor / KOR), dan δ (Delta Opioid Receptor / DOR) pada sistem saraf pusat dan organ yang memiliki otot halus. Efek terapi dari methadone mayoritas dimediasi oleh reseptor MOR, seperti analgesia untuk mengatasi nyeri hebat, terapi detoksifikasi dan terapi pemeliharaan opioid use disorder, serta antitusif pada kanker paru.[3,4]
Mekanisme kerja methadone dan morfin secara kualitatif hampir sama dengan morfin, di mana morfin juga bekerja pada reseptor μ. Perbedaan terdapat pada sindrom abstinensia, pada methadone onset munculnya sindrom ketergantungan terjadi memerlukan waktu yang lebih panjang dan perlahan dari morfin, serta gejala ketergantungan juga lebih ringan dari morfin.[3,4]
Selain itu, methadone juga bekerja menjadi antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (rNMDA) yang menyebabkan terjadinya efek samping hiperalgesia akibat opioid (Opioid-induced Hyperalgesia/OIH) dan toleransi narkotika. Methadone juga menginhibisi penyerapan serotonin dan norepinefrin di sistem saraf pusat.[4]
Farmakokinetik
Farmakokinetik methadone terdiri dari aspek absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi. Absorpsi tergantung pemberian obat, apakah peroral, injeksi intramuskular, injeksi subkutan, injeksi intravena, intranasal, sublingual, atau perrektal.[1,3]
Absorbsi
Absorbsi peroral merupakan rute yang paling banyak digunakan karena penyerapan yang cukup baik pada saluran pencernaan, bioavailabilitas mencapai 80%, dengan rentang perbedaan penyerapan antar individu berkisar 36‒100%. Setelah 30 menit, obat ini sudah dapat dideteksi di dalam plasma dan mencapai konsentrasi puncak dalam waktu 4 jam.[2,4]
Absorbsi rute intramuskular atau subkutan dosis tunggal methadone onset dan durasi efek analgesik adalah 4‒8 jam. Konsentrasi puncak terjadi dalam 1‒2 jam di dalam sistem saraf pusat. Pemberian secara subkutan dapat memberikan efek samping reaksi inflamasi lokal ditempat injeksi, maka pemberian harus dicampur dengan hyaluronidase dan didilusi pada 16 mL cairan salin 0,9%, serta rotasi tempat penyuntikan.[2,4]
Absorbsi via rute rektal bioavailabilitas methadone rata-rata 76%, hampir sama dengan pemberian oral, tetapi mencapai konsentrasi puncak lebih cepat, yaitu dalam 1,4 jam setelah administrasi.[4]
Absorbsi via rute intravena onset methadone bekerja setelah 10‒20 menit dan bertahan dalam 4‒8 jam. Pemberian methadone intravena dapat melalui patient-controlled analgesia pump (PCA), infus kontinu, dan/atau bolus intermiten.[4]
Absorbsi via intranasal atau sublingual dapat meredakan nyeri dalam 5 menit.[4]
Distribusi
Volume distribusi obat ini adalah 1,0‒8,0 L/kg. Methadone bersifat lipofilik dan didistribusikan secara luas pada seluruh jaringan tubuh, serta berikatan kuat dengan plasma protein terutama a1-acid glycoprotein (85‒90%). Methadone menetap di hepar dan jaringan tubuh lain karena sifatnya yang lipofilik. Methadone melewati plasenta dan didistribusikan ke ASI.[2,3]
Metabolisme
Methadone mengalami biotransformasi di hepar oleh enzim sitokrom P450, terutama CYP3A4 N-demethylation, CYP2B6, dan CYP2C19. Enzim ini mengubah methadone menjadi pyrrolidines dan pyrroline (metabolit mayor), EDDP (inaktif metabolit), dan komponen-komponen inaktif lainnya. Metabolit ini kemudian diekskresikan 21% di urine, dan dalam persentase lebih kecil diekskresikan lewat cairan empedu, feses, dan keringat.[2]
Eliminasi
Waktu paruh methadone adalah 24‒36 jam, tergantung dari dosis dan rute pemberian methadone. Pada pemberian intravena, waktu paruhnya berkisar 8‒59 jam. Pemberian peroral 100 atau 120 mg setiap hari pada terapi adiksi narkotika memiliki waktu paruh 13‒47 jam dengan rata-rata 25 jam.[2]
Waktu paruh methadone pada pasien pasca operasi berkisar 9‒87 jam, pasien dependensi opiat adalah 8,5‒7,5 jam, sedangkan pasien rawat jalan nyeri malignansi kronis mencapai ~120 jam.[2]
Eliminasi methadone dimediasi oleh renal dan saluran pencernaan lewat ekskresi urin dan fekal. Methadone diekskresi melalui filtrasi glomerulus dan reabsorpsi renal, jumlah methadone yang diekskresikan di urin meningkat seiring dengan turunnya pH urin (asidik). Ekskresi methadone lewat fekal dimediasi oleh ekskresi cairan empedu.[2]
Resistensi
Tingkat resistensi atau toleransi methadone dikatakan rendah jika dibandingkan dengan opioid jenis lain seperti morfin (10-kali peningkatan dosis). Hipotesis yang menjelaskan mengapa hal ini dapat terjadi adalah bahwa methadone memiliki kemampuan untuk menginternalisasi reseptor μ dan antagonis reseptor NMDA, sehingga menurunkan risiko toleransi dibandingkan dengan opioid lain seperti morfin dan oksikodon.[2,13]
Toleransi methadone menyebabkan berkurangnya keefektifan methadone atau bahkan tidak efektif sama sekali, sehingga harus ada peningkatan dosis secara konsisten. Toleransi methadone banyak terjadi pada penggunaan jangka panjang untuk terapi pemeliharaan dependensi narkotika dan nyeri malignansi kronis.[2,13]
Pada penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Stefan Gutwinski, et al, yang melibatkan 600 pasien, ditemukan peningkatan sebesar 1,5 kali dosis dalam durasi 20 tahun MMT (methadone management therapy). Dosis yang digunakan pada penelitian adalah 90‒100 mg/hari, dengan rata-rata lama pemakaian 7,5‒30 tahun.[13]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini