Pengawasan Klinis Methadone
Pengawasan klinis utama penggunaan methadone atau metadon adalah risiko overdosis dan interaksi obat. Umumnya, obat ini digunakan sebagai methadone management therapy (MMT), sehingga perlu pengawasan keberhasilan terapi pada pasien opioid use disorder.[1,14,16]
Overdosis Methadone
Overdosis merupakan risiko mayor pemberian methadone, terutama pada dosis awal yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan bukan pemberian dosis tetap. Oleh karena itu, pada pemberian dosis awal, pasien harus diobservasi selama 3‒4 jam.[1,14]
Selanjutnya, pemantauan ketat harus tetap dilakukan pada minggu pertama pemberian methadone. Gejala overdosis methadone adalah:
- Pupil miosis
- Mulut berbusa, mual, muntah
- Pusing, sedasi yang berlebihan, bicara melantur, mendengkur
- Nadi lambat, nafas dalam
- Tidak sadarkan diri[1,14]
Penanganan Overdosis Methadone
Penanganan overdosis methadone adalah pemberian nalokson. Methadone memiliki waktu paruh yang panjang, sehingga nalokson harus diberikan beberapa kali atau diberikan perinfus dalam beberapa jam. Observasi penanganan ini setidaknya selama 4 jam.[1]
Penyebab Overdosis Methadone
Penggunaan obat-obatan depresan sistem saraf pusat dapat meningkatkan risiko overdosis. Obat-obatan tersebut termasuk alkohol, benzodiazepine, atau opioid golongan lain. Oleh karena itu, pasien harus tidak mengonsumsi methadone dengan obat depresan sistem saraf pusat.[1]
Selain itu, dokter harus menanyakan riwayat obat-obatan yang sedang dikonsumsi dan riwayat kondisi medis pasien yang dapat mempengaruhi metabolisme methadone. Peresepan methadone harus dengan hati-hati.[1]
Pengawasan Methadone Management Therapy [MMT]
Methadone utamanya digunakan untuk penanganan pasien opioid use disorder yang mengalami efek withdrawal. Pasien yang mendapat MMT perlu dipantau hal berikut:
- Apakah dosis yang diberikan sudah adekuat?
- Bagaimana gejala withdrawal opioid yang dialami?
- Apa saja efek samping yang timbul?
- Bagaimana kondisi fisik dan psikologis pasien? [16]
Penilaian MMT ini dilakukan setiap minggu, dan setelah 2 bulan penilaian dilakukan setiap 4‒6 minggu.[16]
Skrining urin untuk tes narkoba perlu dilakukan apabila ada kecurigaan pasien menggunakan obat narkotika kembali. Namun, skrining rutin tidak dapat membedakan antara penggunaan methadone dengan heroin atau morfin. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan high-performance liquid chromatography (HPLC), di mana hasil pemeriksaan ini dapat menjadi masukan bahwa pasien membutuhkan dosis methadone yang lebih tinggi untuk mengatasi gejala withdrawal yang dialaminya.[16]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini