Patofisiologi Hernia Diafragma
Patofisiologi hernia diafragma tergantung penyebab yang mendasari, yaitu kongenital atau akuisata. Patofisiologi hernia diafragma kongenital berhubungan dengan kegagalan proses pembentukan lipatan dari pleuroperitoneal dan migrasi otot-otot diafragma. Sedangkan, patofisiologi hernia diafragma akuisata berhubungan dengan mekanisme trauma dan iatrogenik.[2,6]
Patofisiologi Hernia Diafragma Kongenital
Patofisiologi hernia diafragma kongenital secara embriologi masih menjadi perdebatan. Embriogenesis diafragma dimulai sejak minggu ke-3 masa gestasi, dan terbentuk secara sempurna di minggu ke-8 hingga ke-12. Apabila terjadi kegagalan dalam proses pembentukan lipatan pleuroperitoneal dan migrasi otot-otot diafragma, maka akan menyebabkan defek kongenital diafragma.
Ukuran defek pada diafragma cukup beragam, mulai dari ukuran kecil pada posterior muscle rim hingga total atau tidak ada diafragma. Defek yang muncul lebih sering ditemukan pada sisi kiri (90%) dibandingkan sisi kanan (10%). Berdasarkan lokasinya, hernia diafragma kongenital bisa dibagi menjadi 3, yakni Bochdalek (regio posterolateral), Morgagni (regio anterior), dan sentral.
Paru-paru akan tertekan pada saat organ-organ abdomen mengalami herniasi melalui defek ke dalam rongga dada. Herniasi terjadi bertepatan dengan masa perkembangan dari paru (sekaligus perkembangan dari cabang-cabang bronkus dan arteri pulmonal). Akibatnya, terjadi reduksi bronkiolus terminal, penebalan septa alveolus, penurunan volume alveolus, dan penebalan dinding arteri medial. Kondisi tersebut akan menyebabkan peningkatan resistensi vaskular dan penurunan surface area untuk proses pertukaran gas, yang kemudian berakhir menjadi hipoplasia paru dan hipertensi pulmonal. Selain itu, akan terjadi defisiensi surfaktan dan enzim pernapasan lain.[2,6-10]
Patofisiologi Hernia Diafragma Akuisata
Penyebab tersering hernia diafragma akuisata adalah trauma, yang bisa muncul dengan atau tanpa didahului riwayat operasi atau tindakan yang meningkatkan risiko terjadinya ruptur pada diafragma. Trauma baik tumpul atau penetrasi bisa menyebabkan membran diafragma meregang hingga robek, avulsi diafragma, dan peningkatan tekanan pleuroperitoneal.
Dalam keadaan normal dan istirahat, perbedaan tekanan antara pleura dan peritoneal berkisar antara -5 sampai -10 cmH2O dan +2 sampai +10 cmH2O. Saat terjadi suatu trauma, kekuatan yang dihasilkan dari benturan bisa meningkatkan gradien tekanan pada pleuroperitoneal hingga 1.000 cmH2O. Tekanan sebesar itu bisa menyebabkan ruptur diafragma.
Pada saat terjadi ruptur, organ-organ abdomen bisa masuk ke dalam rongga dada, sehingga mengganggu fungsi sirkulasi dan respirasi. Organ abdomen yang masuk ke dalam rongga dada, akan menekan paru-paru dan mediastinum, hingga terjadi shifting mediastinum. Pada ukuran defek yang kecil, bisa tidak timbul gejala atau gangguan hingga bertahun-tahun. Namun, jika terjadi strangulasi pada organ yang herniasi, gejala akan muncul.[1,11]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini