Diagnosis Kraniosinostosis
Diagnosis kraniosinostosis atau craniosynostosis ditandai dengan perubahan bentuk kepala dan/atau penurunan ukuran dapat menjadi tanda kelainan ini. Sering kali, dibutuhkan pemeriksaan radiologi, terutama CT scan kepala untuk memastikan diagnosis. Penilaian tanda dan gejala klinis lain diperlukan guna mengevaluasi keterlibatan sindrom tertentu serta kebutuhan intervensi segera, seperti pada peningkatan tekanan intrakranial.
Anamnesis
Anamnesis yang teliti dibutuhkan untuk menentukan etiologi kraniosinostosis. Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang memiliki bentuk kepala yang tidak biasa, paparan teratogen selama kehamilan, misalnya asam valproat; dan kondisi tertentu selama kehamilan yang dapat mengakibatkan terbatasnya ruang intrauterine, seperti cephalopelvic disproportion (CPD) kehamilan kembar, ibu primipara, posisi fetus abnormal, atau oligohidramnion; dan komplikasi kehamilan lainnya.[1]
Penilaian perkembangan anak juga perlu menjadi poin penting dalam anamnesis untuk mendeteksi apakah ada neurodevelopmental delay.
Pemeriksaan Fisik
Abnormalitas kraniofasial pada kraniosinostosis dapat terdeteksi saat kelahiran atau saat bayi. Pada beberapa kasus, anak dapat saja datang dengan keterlambatan perkembangan saraf. Umumnya, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat dapat mendeteksi kelainan ini.
Saat anamnesis, perlu diketahui apakah ada riwayat abnormalitas bentuk kepala di keluarga, pajanan terhadap obat teratogenik selama masa kehamilan (seperti fluconazole), posisi janin yang tidak normal, serta komplikasi selama kehamilan. Dokter juga perlu menilai apakah anak mengalami neurodevelopmental delay.
Penilaian fontanel bertujuan untuk mengevaluasi apakah terdapat penggabungan sutura. Di samping itu, pemeriksaan fisik menyeluruh bertujuan untuk mencari adakah temuan klinis lain, seperti anomali kongenital dan tampilan dismorfik, yang mengindikasikan kraniosinostosis sebagai bagian dari sebuah sindrom.
Berikut ini beberapa temuan yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik kraniosinostosis:
- Tanda khas anomali kongenital lainnya, seperti sindaktili pada sindrom Apert, ibu jari lebar yang mengarah ke radial pada sindrom Pfeiffer
- Kelainan bentuk bagian-bagian wajah, seperti hiper/hipotelorisme, hipoplasia bagian tengah wajah, posisi, bentuk, dan ukuran telinga
- Bentuk dan permukaan kulit kepala, seperti sutural ridging; pembuluh darah yang menonjol; serta abnormalitas ukuran, bentuk, dan kekerasan fontanel
- Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, yaitu papilledema[1]
Pemeriksaan Fisik pada Kraniosinostosis Nonsindromik
Berikut temuan pemeriksaan fisik pada kraniosinostosis nonsindromik:
-
Scaphocephaly: kepala panjang dan sempit dengan diameter anteroposterior lebih panjang, sering disertai frontal bossing
Plagiocephaly anterior: dahi datar ipsilateral sisi yang terkena, frontal bossing pada sisi kontralateral, deviasi nasal ke sisi normal, tanda Harlequin (margin supraorbital letak tinggi, terlihat pada foto polos)
Plagiocephaly posterior: bossing pada sisi frontal dan oksipital, telinga ipsilateral terletak lebih bawah
Trigonocephaly: dahi sempit dan lancip, kepala tampak atas berbentuk segitiga, hipotelorisme
Brachycephaly: tengkorak pendek, dahi dan oksiput datar, namun os frontal panjang secara vertikal dan menonjol, hipertelorisme, dan didapatkan tanda Harlequin
Temuan Fisik pada Kraniosinostosis Sindromik
Berikut ini adalah temuan pemeriksaan fisik pada kraniosinostosis sindromik:
- Sindrom Apert: melibatkan sutura koronal, hipoplasia bagian tengah wajah, hipertelorisme, beaked nose, rahang kurang berkembang, sindaktili tangan dan kaki, gangguan pendengaran
- Sindrom Crouzon: melibatkan sutura koronal, sagittal, dan/atau lambdoid, hipoplasia bagian tengah wajah, beaked nose, eksoftalmus, hipertelorisme, fusi vertebra servikal, gangguan pendengaran, bibir sumbing
- Sindrom Pfeiffer: brachycephaly, hipertelorisme, hipoplasia maksila, jempol lebar, jari kaki besar-besar, sindaktili, brakidaktili, gangguan pendengaran
- Sindrom Muenke: melibatkan sutura koronal, hipoplasia bagian tengah wajah, hipertelorisme, makrosefali, gangguan pendengaran
- Kleeblattschadel (kepala berbentuk seperti daun semanggi akibat sinostosis sutura koronal dan lambdoid): beaked nose, hipoplasia maksila dengan proptosis, letak telinga inferior, hidrosefalus[7]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding kraniosinostosis adalah deformitas kraniofasial lainnya, antara lain positional plagiocephaly dan tortikolis kongenital.
Positional Plagiocephaly
Positional plagiocephaly merupakan kelainan bentuk kepala nonsinostotik yang paling sering terjadi karena bayi terlalu sering dibaringkan dalam posisi tertentu, biasanya telentang. Akibatnya, salah satu sisi posterior kepala lebih datar. Prevalensi positional plagiocephaly meningkat seiring kampanye “back to sleep” yang digalakkan untuk mencegah sudden infant death syndrome (SIDS).[7,8]
Pada positional plagiocephaly, sutura kranium tampak normal dan tidak ada hambatan pada pertumbuhan kranium maupun otak. Foto polos dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya kraniosinostosis. Pemeriksaan radiologis lainnya, yaitu MRI otak, CT scan kepala, dan USG kepala dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif.[8]
Tortikolis Kongenital
Tortikolis kongenital adalah kontraktur atau fibrosis pada salah satu sisi otot sternokleidomastoid yang menyebabkan inklinasi homolateral dan rotasi kontralateral pada wajah dan dagu, mengakibatkan deformitas kraniofasial berupa plagiocephaly dan wajah asimetris.[9,10]
Cara paling efektif menegakkan diagnosis tortikolis kongenital adalah dengan melakukan pemeriksaan fisik, yaitu penilaian range of motion servikal aktif dan pasif.[9]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diutamakan dalam menegakkan diagnosis kraniosinostosis adalah pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan genetik dapat dilakukan jika dicurigai adanya kraniosinostosis sindromik.
CT Scan Kepala
CT scan kepala 3 dimensi merupakan pemeriksaan paling akurat untuk mendiagnosis kraniosinostosis. Selain itu, CT scan dapat digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan otak dan volume ventrikel, serta mengidentifikasi adanya deformitas kraniofasial dan abnormalitas struktural (ventrikulomegali, agenesis corpus callosum).[1,6]
MRI Otak
MRI otak merupakan pemeriksaan radiologis paling baik untuk mengevaluasi kondisi otak, tetapi kurang akurat untuk memvisualisasi sutura cranial, jika dibandingkan dengan CT scan. Umumnya, MRI digunakan pada pasien yang menunjukkan anomali serebral pada hasil CT scan.[1]
Kombinasi MRI dan USG merupakan modalitas penting untuk menegakkan kecurigaan terhadap anomali intrakranial dan mendeteksi kondisi penyerta terkait kraniosinostosis, seperti kraniosinostosis sindromik.
USG dan MRI fetal dapat menilai adanya kraniosinostosis sejak trimester kedua.[1,6]
Ultrasonografi Kepala
USG merupakan pemeriksaan yang cepat, murah, tidak menghasilkan radiasi, dan tidak memerlukan sedasi. USG sutura kalvaria fetal dapat mendiagnosis kraniosinostosis simpel nonsindromik, yang tidak disertai dengan malformasi kraniofasial lainnya,
Keuntungan lain USG adalah memungkinkan visualisasi dan follow up sutura cranialis untuk mengukur besar kranium dan menutupnya satu/lebih sutura secara prematur.[1]
Namun, USG sangat tergantung pada keahlian operator dan hanya dapat dilakukan pada kasus-kasus dengan fontanel terbuka. Di tangan operator yang ahli, tingkat akurasi hasil USG dapat mendekati CT scan.[1]
Foto Polos
Foto polos kurang akurat dalam memvisualisasi sutura cranialis. Namun, foto polos merupakan modalitas yang murah untuk bayi-bayi dengan risiko kraniosinostosis rendah. Foto polos juga tidak memerlukan sedasi.[1]
Pemeriksaan Genetik
Pemeriksaan genetik dilakukan jika dicurigai adanya kraniosinostosis sindromik. Pasien dengan sinostosis koronal atau multipel juga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan genetik karena kedua tipe sinostosis tersebut umumnya berkaitan dengan masalah genetik. Beberapa jenis gen yang diperiksa adalah FGFR, TWIST, dan MSX2 yang berperan penting dalam morfogenesis kranium.[1]