Etiologi Kraniosinostosis
Berdasarkan etiologi, kraniosinostosis atau craniosynostosis terbagi menjadi primer dan sekunder. Sementara, 20% kasus kraniosinostosis dipengaruhi oleh mutasi genetik dan abnormalitas kromosom.[1,2]
Etiologi
Terdapat berbagai teori mengenai etiologi kraniosinostosis primer, tetapi teori yang paling banyak diyakini adalah defek primer pada osifikasi lapisan mesenkim pada kranium. Kraniosinostosis sekunder dapat disebabkan penyakit/kelainan primer berikut:
- Endokrin: hipertiroidisme, hipofosfatemia, defisiensi vitamin D, osteodistrofi renal, hiperkalsemia, rickets
- Hematologi: anemia sel sabit, thalassemia
- Kegagalan pertumbuhan otak (mikrosefali, shunted hydrocephalus)[2]
Faktor Risiko
Faktor lingkungan selama kehamilan, seperti terbatasnya ruang intrauterine untuk kepala janin, posisi janin abnormal, oligohidramnion, paparan obat teratogenik (misalnya fluconazole), ibu merokok, dan penggunaan obat-obat antiepilepsi (misalnya asam valproat) dapat menjadi predisposisi kraniosinostosis. Faktor genetik pun berperan dalam 20% kasus kraniosinostosis, seperti mutasi genetik dan abnormalitas kromosom.[1]
Kraniosinostosis sindromik diperkirakan terjadi akibat mutasi genetik pada fibroblast growth factor receptor (FGFR), khususnya gen yang melibatkan reseptor 2 dan 3. Mutasi tersebut bersifat autosomal dominan. Beberapa sindrom kraniofasial dengan mutasi FGFR adalah sindrom Apert, Crouzon, Pfeiffs zer, dan Muenke.[2,4]
Sindrom kraniofasial yang tidak disertai mutasi FGFR adalah sindrom Saethre-Chotzen dan Carpenter. Hingga saat ini, belum ada satu anomali genetik tertentu yang dapat dipastikan sebagai etiologi kraniosinostosis.[4]