Patofisiologi Cutaneous Larva Migrans
Patofisiologi cutaneous larva migrans adalah melalui infestasi larva filariformis cacing tambang di kulit. Cacing tambang dewasa hidup pada usus halus anjing dan kucing. Telurnya banyak ditemukan pada feses hewan-hewan tersebut.[2,3]
Siklus Hidup
Telur cacing tambang yang ada pada feses binatang akan menetas menjadi larva rhabditiformis dalam 1-2 hari bila berada pada kondisi yang sesuai. Lingkungan yang ideal adalah tanah lembab dan berpasir sebagai inkubator telur dengan suhu 23-30°C. Setelah telur menetas, larva kemudian berpindah dari feses ke tanah.
Dalam siklus hidupnya, di tanah larva rhabditiformis kemudian berkembang menjadi larva filariformis dalam 5-10 hari. Fase larva filariformis ini adalah fase infektif cacing tambang.
Larva filariformis ini yang kemudian mempenetrasi kulit manusia secara tidak sengaja saat kulit bersentuhan langsung dengan tanah yang terkontaminasi. Karena larva filariformis cacing tambang tidak dapat memproduksi protease dan kolagenase yang dapat mempenetrasi membran basalis kulit manusia, larva akhirnya akan mati dengan sendirinya karena tidak dapat bereproduksi.[2,3]
Infestasi pada Kulit
Larva yang bersifat infektif akan masuk ke kulit. Ketika proses penetrasi larva berlangsung, larva akan mengalami defisiensi kolagenase sehingga setelah beberapa waktu, larva tidak akan mampu melakukan invasi ke lapisan dermis maupun mencapai pembuluh darah atau limfatik untuk mencapai usus dan melanjutkan siklus hidupnya, sehingga manusia sering disebut sebagai dead-end host untuk larva.[2,3]
Pada akhirnya, defisiensi kolagenase pada larva tersebut menyebabkan larva tetap terdapat pada lapisan epidermis dan berjalan dalam pola serpiginosa dengan kecepatan tertentu, sekitar 2 mm hingga 2 cm per hari, bergantung pada spesies larva. Penetrasi larva pada lapisan kulit memicu respon radang eosinofilik pada manusia yang menyebabkan munculnya ruam, rasa gatal, perih, hingga nyeri. Setelah 2-8 minggu, larva biasanya mati pada jaringan kutaneus. Walaupun terdapat kemungkinan migrasi larva pada organ internal, kasus ini sangat jarang terjadi.
Pada beberapa kasus yang sangat jarang, lesi dapat muncul secara bilateral atau muncul bersamaan dengan sindrom Loeffler yang ditandai dengan adanya infiltrat pada pulmonal dan eosinofilia perifer.[2]
Penulisan pertama oleh: dr. Reren Ramanda