Epidemiologi Hipopigmentasi Pascainflamasi
Data epidemiologi hipopigmentasi pascainflamasi mencapai lebih dari 50% pada pasien setelah tindakan krioterapi dan abrasi dermal. Belum terdapat data pasti mengenai prevalensi hipopigmentasi pascainflamasi baik secara global maupun di Indonesia.
Global
Hipopigmentasi pascainflamasi merupakan gangguan pigmentasi yang cukup sering terjadi. Insidensi hipopigmentasi pascainflamasi mencapai lebih dari 50% pada pasien pasca krioterapi dan abrasi dermal.
Penelitian dengan subjek pasien lichen striatus, ditemukan insidensi hipopigmentasi pascainflamasi mencapai 59% dari 23 kasus. Penelitian lainnya menemukan insidensi hipopigmentasi pascainflamasi sekitar 22% setelah prosedur laser resurfacing.[1,4-6]
Indonesia
Belum terdapat data mengenai epidemiologi hipopigmentasi pascainflamasi di Indonesia.
Mortalitas
Hipopigmentasi pascainflamasi tidak menimbulkan kematian. Akan tetapi, adanya hipopigmentasi pascainflamasi dapat mengganggu kualitas hidup seseorang dari segi kosmetik, sehingga seringkali menimbulkan masalah kejiwaan.
Adanya kelainan kulit dapat menyebabkan gangguan kejiwaan, seperti depresi, gangguan obsesif kompulsif, gangguan anxietas sosial, post traumatic stress disorder (PTSD), bahkan gangguan dismorfik tubuh.
Selain itu, banyak penelitian mengatakan bahwa dampak dari masalah kesehatan jiwa akibat penyakit kulit dapat mengakibatkan penurunan sistem imun, dan dapat menyebabkan perubahan sitokin inflamasi, sehingga reaksi peradangan kulit semakin memburuk.[7]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli