Patofisiologi Hiperparatiroid
Patofisiologi hiperparatiroid bervariasi sesuai klasifikasi, yakni hiperparatiroid primer, sekunder, atau tersier. Hiperparatiroid primer terutama karena kelainan pada kelenjar paratiroid sehingga hormon paratiroid yang dihasilkan berlebihan, seperti tumor paratiroid.
Hiperparatiroid sekunder berhubungan dengan kondisi klinis tertentu seperti defisiensi vitamin D dan penyakit ginjal kronis (PGK), sehingga terjadi penurunan kadar kalsium dan peningkatan produksi paratiroid sebagai bentuk kompensasi. Bila kondisi ini berlanjut, kelenjar paratiroid kompensasi dan melakukan pembelahan sel agar hormon yang diproduksi meningkat dan terjadi hiperplasia. Hal ini dikenal dengan hiperparatiroid tersier.
Hiperparatiroid Primer
Patofisiologi hiperparatiroid primer seringkali berhubungan dengan tumor, seperti adenoma paratiroid. Hal ini menyebabkan menurun sampai hilangnya umpan balik positif produksi hormon paratiroid. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada hiperparatiroid primer akibat hiperplasia paratiroid. Pada hiperplasia, terjadi peningkatan jumlah sel di kelenjar paratiroid.
Peningkatan hormon paratiroid menyebabkan pelepasan kalsium berlebihan dari tulang, sehingga berisiko osteopenia. Dalam kasus yang berat, dapat terjadi osteitis fibrosa cystica, dengan karakteristik resorpsi subperiosteal dari falang distal, peruncingan clavicula distal, munculnya salt and pepper appearance pada tengkorak, dan tumor coklat pada tulang panjang. Selain itu, peningkatan reabsorpsi kalsium secara kronis di ginjal juga berisiko pembentukan batu ginjal.[1]
Gejala hiperparatiroid lainnya disebabkan oleh hiperkalsemia itu sendiri, contohnya kelemahan otot, kelelahan, mual, muntah, koma, dan bahkan kematian. Manifestasi neuropsikiatri seperti depresi, kebingungan, atau defisit neurologi ringan juga umum ditemukan. Peningkatan kalsium dapat meningkatkan sekresi asam lambung sehingga orang dengan hiperparatiroid lebih berisiko risiko ulkus peptikum.[1]
Hiperparatiroid Sekunder
Keseimbangan kalsium dan fosfat diregulasi secara ketat oleh tulang, ginjal, dan kelenjar paratiroid. Fibroblast growth factor 23 (FGF-23), 25-hydroxyvitamin D, 1,25-dihydroxyvitamin D, serta hormon paratiroid mengatur homeostasis produksi kalsium dan fosfat. FGF-23 diproduksi oleh tulang akibat peningkatan serum fosfat, yang akan mencetuskan ekskresi fosfat oleh ginjal dan mengurangi hidroksilasi dari 25-hydroxyvitamin D.
FGF-23 dan serum fosfat menurunkan sekresi hormon paratiroid untuk menjaga keseimbangan kalsium dan fosfat. Pada penyakit ginjal kronis (PGK) stadium 3–5 (estimated glomerular filtration rate atau eGFR <59 mL/menit), kadar FGF-23 meningkat dan awalnya menyebabkan fosfaturia dan penurunan ekskresi hormon paratiroid.
Akan tetapi, saat penyakit ginjal kronis berkembang, ada resistensi di ginjal dan kelenjar paratiroid terhadap FGF-23 dan defisiensi 1 alfa hidroksilasi vitamin D di ginjal. Keduanya menyebabkan penurunan ekskresi fosfat. Penurunan ekskresi fosfat dan kekurangan 1,25-dihydroxyvitamin D menyebabkan hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Hal ini mempertahankan stimulasi sintesis hormon paratiroid dan hiperplasia kelenjar paratiroid.[1,3]
Hiperparatiroid Tersier
Hiperparatiroid tersier paling sering terjadi pada pasien dengan hiperparatiroid sekunder, karena PGK yang telah menjalani dialisis selama bertahun-tahun. Pada kondisi ini, kelenjar paratiroid mengalami hiperplasia sebagai kompensasi peningkatan produksi hormon paratiroid.
Kelenjar paratiroid akan terus memproduksi hormon paratiroid secara berlebihan meskipun kadar kalsium serum berada dalam rentang normal atau bahkan meningkat. Dalam kasus ini, hiperplasia terus berlanjut dan menyebabkan hiperkalsemia, bahkan setelah terapi penarikan kalsium dan vitamin D aktif.[1]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli