Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) memerlukan penatalaksanaan yang komprehensif, berupa pengaturan berat badan ideal, pemberian obat hipoglikemik oral (OHO), dan perubahan gaya hidup.
Kontrol keberhasilan terapi dan terapi yang intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular akibat DM tipe 2. Selain itu, penatalaksanaan diabetes juga meliputi identifikasi penyakit komorbid lainnya yang perlu dikontrol seperti tekanan darah dan profil lipid pasien.
Terapi Medikamentosa
Metformin merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan pasien DM tipe 2 asimtomatik yang membutuhkan terapi medikamentosa, apabila dengan modifikasi gaya hidup saja target terapi tidak tercapai. Pemberian metformin ini tentunya dilakukan apabila tidak ditemukan adanya kontraindikasi.
Insulin dapat diindikasikan sebagai penatalaksanaan awal apabila pasien datang dengan kadar gula darah yang sangat tinggi, yaitu ≥300 mg/dL atau HbA1c >10%, dengan adanya manifestasi katabolisme, seperti poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan.
Kombinasi dengan obat hipoglikemik oral (OHO) lainnya dapat direkomendasikan bila pasien sudah menjalani terapi dengan metformin dan modifikasi gaya hidup minimal 3 bulan, namun target terapi belum tercapai.[24-26]
Penatalaksanaan medikamentosa untuk DM tipe 2 terdiri dari obat hipoglikemik oral (OHO) dalam berbagai golongan serta terapi insulin, yaitu biguanid, sulfonilurea, derivat meglitinide, thiazolidinediones, glucagonlike peptide-1 (GLP-1) agonists, dipeptidyl peptidase IV (DPP-4) inhibitors, selective sodium-glucose transporter-2 (SGLT-2) inhibitors, insulin, dan agonis dopamin. Pliogitazone masih dapat digunakan pada terapi diabetes mellitus tipe 2. Pada pasien yang telah memenuhi kriteria tertentu, ada pertimbangan untuk menghentikan terapi medikamentosa.
Metformin
Metformin merupakan obat hipoglikemik oral (OHO) golongan biguanid yang digunakan sebagai terapi lini pertama untuk diabetes mellitus tipe 2. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi bersamaan dengan modifikasi gaya hidup, atau kombinasi dengan obat diabetes lainnya, ataupun insulin.[2,16]
Risiko efek samping metformin jauh lebih minimal dibandingkan obat hipoglikemik oral (OHO) lainnya, yakni efek samping hipoglikemia yang rendah dan tidak menimbulkan peningkatan berat badan. Dosis awal umumnya 500 mg per hari, diberikan bersamaan saat makan.[2,16]
Umumnya dosis yang dibutuhkan untuk mencapai kontrol gula darah adalah 1500-2550 mg/hari dibagi dalam 2 sampai 3 kali pemberian. Dosis maksimal pemberian metformin adalah 2550 mg/hari. Metformin aman pada pasien dengan eGFR ≥30 mL/min/1,73 m2. Berdasarkan studi yang ada, pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK), metformin lebih superior dibandingkan sulfonilurea.[2,16,33]
Sulfonilurea
Obat golongan sulfonilurea generasi kedua seperti glibenclamide, glipizide, dan glimepiride dapat digunakan sebagai terapi lini kedua diabetes mellitus tipe 2 bila terdapat kontraindikasi metformin. Penggunaannya harus lebih hati-hati pada pasien kardiovaskular, gangguan hepar berat, usia diatas 60 tahun, dan risiko hipoglikemia.[2]
Sulfonilurea dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan hipoglikemia. Generasi kedua obat golongan sulfonilurea ini dikonsumsi sekali sehari dan dapat dikombinasi dengan obat hipoglikemik oral (OHO) oral lainnya atau insulin.[2,18]
Dosis sulfonilurea yang dapat diberikan adalah sebagai berikut di Tabel 2.
Tabel 2. Dosis Sulfonilurea untuk Pasien dengan DM Tipe 2.
Dosis | Glibenclamide | Glimepiride |
Awal | 2,5-5 mg oral sekali sehari | 1-4 mg oral sekali sehari |
Titrasi | Meningkat tidak lebih daripada 2,5 mg pada interval mingguan | |
Maintenance | 1,25-20 mg oral sebagai dosis tunggal atau dosis terbagi | Dinaikkan 1 atau 2 mg tiap 1-2 minggu berdasarkan respon glukosa dalam darah |
Maksimum | 20 mg per hari | 8 mg per hari |
Sumber: dr. Felicia Sutarli, Alomedika. 2022.[2,17]
Insulin
Terapi inisiasi insulin pada DM tipe 2 diawali dengan kombinasi modifikasi gaya hidup, OHO, dan insulin basal. Terapi inisiasi insulin untuk pasien DM tipe 2 dilakukan pada DM tipe 2 baru dengan HbA1c ≥9% atau GDP ≥250 mg/dl atau GDS ≥300 mg/dl dengan disertai tanda dekompensasi metabolik, seperti HHS, atau pasien DM tipe 2 lama yang mendapat terapi kombinasi OHO namun target terapi belum tercapai. Beberapa studi juga saat ini sedang membandingkan efikasi injeksi insulin harian dan injeksi insulin seminggu sekali.[20,24]
Terapi Inisiasi Insulin:
Terapi inisiasi insulin diawali dengan pemberian insulin basal dengan dosis awal sesuai berat badan, yaitu 0,1 sampai 0,2 unit per kgBB/hari, atau sesuai kadar gula darah. Dosis ini dapat dititrasi berdasarkan target terapi dan kadar gula darah setiap beberapa hari sampai minggu. dapat dikombinasi dengan OHO atau dapat pula tidak dikombinasi OHO.
Tujuan pemberian insulin basal adalah untuk mempertahankan jumlah insulin dan mencegah terjadinya hiperglikemia, sehingga mencegah komplikasi mikrovaskular, seperti retinopati diabetik, dan makrovaskular, seperti sindrom koroner akut (SKA), yang ditakuti.[20,24,28]
Selain itu, pemberian insulin co-formulation (IDegAsp) atau premixed dengan regimen kombinasi insulin 30/70 atau 25/75, yang menggabungkan insulin kerja cepat dan insulin kerja menengah dapat direkomendasikan pada terapi inisiasi. Dosis diberikan 1 kali sehari dengan dosis 10 unit pada malam hari, dapat dikombinasi dengan OHO atau dapat pula tidak dikombinasi OHO.[20]
Fixed ratio combination, kombinasi insulin basal dan glucagon like peptide-1 receptor agonist (GLP-1 RA) dengan dosis 10 unit/hari dapat direkomendasikan pada pasien yang direncanakan mendapatkan insulin dengan kombinasi lebih kompleks, misalnya mereka yang perlu kombinasi dengan insulin prandial atau dengan komplikasi, seperti gagal ginjal. Pemberian ini dapat disertai atau tidak dengan pemberian OHO.[20,24]
Terapi Intensifikasi Insulin:
Terapi intensifikasi insulin dapat disarankan pada pasien yang mendapat insulin basal dengan/tanpa OHO, namun nilai HbA1c >7% atau belum mencapai target, dengan dosis insulin basal telah mencapai >0,5 unit/kg BB/hari. Selain itu, pasien yang mendapat insulin co-formulation dan premixed juga dapat direkomendasikan untuk terapi intensifikasi insulin bila belum mencapai target terapi.[20,24]
Inti terapi intensifikasi adalah mengkombinasikan insulin basal dengan insulin prandial. Penyesuaian dosis ini dilakukan sesuai nilai gula darah preprandial tertinggi dalam satu hari atau dimulai dari single dose setiap makan besar kemudian dititrasi berdasarkan gula darah dan asupan makanan. Pasien dengan terapi insulin basal yang dikombinasi dengan insulin prandial telah mencapai target, dapat dilakukan switching ke insulin premixed.[20,24]
Pasien yang mendapat insulin fixed ratio combination (FRC), hanya diperbolehkan optimisasi 1 kali dosis/hari, kemudian evaluasi 1 bulan. Saat evaluasi bulan berikutnya, bila target gula darah belum tercapai, yaitu GDP atau gula darah preprandial pagi tinggi, maka dapat dilakukan terapi intensifikasi juga. Terapi intensifikasi dengan 1 kali fixed ratio combination ditambah prandial 1 kali lanjut 2 kali/hari. Jika intensifikasi belum berhasil maka FRC dihentikan dan diganti dengan regimen basal bolus.[20]
Terapi Inisiasi dan Intensifikasi Insulin pada Pasien DM tipe 2 Baru:
Terapi inisiasi dan intensifikasi insulin juga diindikasikan pada pasien DM tipe 2 baru dengan HbA1c >9% atau GDP ≥250 mg/dl atau GDS ≥300 mg/dl atau gejala dekompensasi metabolik, seperti HHS.[20]
Terapi Suportif
Terapi suportif pada DM tipe 2 dapat dilakukan dengan mengurangi stress emosional, modifikasi gaya hidup dan pengaturan diet sesuai jadwal makan dan pembagian jumlah kalori. Pasien dengan overweight dan obesitas disarankan untuk menurunkan berat badan minimal 7% dalam 1 sampai 2 tahun. Penurunan berat badan telah dikaitkan dengan kemungkinan remisi lebih tinggi dari diabetes mellitus tipe 2.[20,29]
Selain itu, pasien juga harus diedukasi untuk menghentikan kebiasaan merokok dan melakukan olahraga, minimal latihan aerobik moderate minimal 150 menit per minggu.[20,29,30]
Bila terdapat luka, seperti ulkus diabetikum, dapat dilakukan rawat luka dan membersihkan jaringan nekrotik atau debridemen agar tidak terjadi infeksi berkelanjutan.[2]
Diet
Penatalaksanaan diet pasien DM tipe 2 perlu ditekankan mengenai keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah asupan kalori sesuai berat badan ideal (BBI). Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat, lemak, protein, natrium, dan serat.[20,28,30]
Karbohidrat:
Karbohidrat yang disarankan adalah karbohidrat berserat tinggi sebanyak 45%-65% dari total kebutuhan kalori per hari. Tinggi serat adalah 14 gram per 1000 kkal. Glukosa dalam bumbu masak diperbolehkan, namun sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Selain itu, pasien dianjurkan untuk makan tiga kali sehari dan boleh mendapat makanan selingan atau snack seperti buah. Pasien juga direkomendasikan konsumsi karbohidrat dengan glikemiks indeks yang rendah seperti nasi jagung dan nasi singkong.[20,28-30]
Lemak:
Proporsi asupan lemak yang dianjurkan adalah sekitar 20-25% dari total kebutuhan kalori per hari, dan tidak boleh lebih dari 30%. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain daging berlemak dan susu full cream. Selain itu, konsumsi kolesterol tidak boleh lebih dari 200 mg/hari.[20,28]
Lemak yang dianjurkan terdiri dari lemak jenuh (saturated fatty acids/ SAFA), lemak tidak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acids/ PUFA), dan lemak tidak jenuh tunggal (mono unsaturated fatty acids/ MUFA). Komposisi yang dianjurkan adalah SAFA <7%, PUFA <10%, dan MUFA sebanyak 12-15% dari total kebutuhan kalori per hari, dengan perbandingan SAFA:MUFA:PUFA adalah 0,8:1,2:1.[20,28,29]
Protein:
Asupan protein perlu diperhatikan pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi nefropati diabetik. Pada pasien ini, asupan protein perlu diturunkan menjadi 0,8 gr/kgBB per hari atau 10% dari kebutuhan energi total. Bila pasien sudah menjalani hemodialisis, asupan protein menjadi 1-1,2 gr/kgBB per hari.[20,29]
Sumber protein yang disarankan adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe. Sumber bahan makanan protein dengan kandungan SAFA yang tinggi seperti daging sapi, daging babi, daging kambing dan produk hewani olahan sebaiknya dikurangi.[20]
Natrium:
Anjuran natrium untuk pasien DM tipe 2 adalah kurang dari 1500 mg per hari. Anjuran pembatasan natrium juga dilakukan pada keadaan tertentu, seperti pada pasien DM tipe 2 dengan komorbid hipertensi.[20]
Serat:
Konsumsi serat yang dianjurkan adalah 20-35 gram per hari. Sumber serat dapat dari kacang-kacangan, buah dan sayur serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.[20]
Aktivitas Fisik
Program olahraga secara teratur dapat dilakukan 3 sampai 5 kali per minggu selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Olahraga yang dianjurkan bersifat aerobik dengan intensitas sedang (jalan cepat, bersepeda santai, jogging, berenang).[20,28]
Latihan aerobik berat, yaitu latihan yang mencapai denyut jantung lebih dari 70% maksimal juga dapat dilakukan. Durasi yang disarankan untuk latihan aerobik berat adalah 75 sampai 90 menit per minggu untuk pasien yang usianya lebih muda.[20,29]
Pedoman Berobat Jalan DM Tipe 2 di Indonesia
Penatalaksanaan berobat jalan untuk pasien dengan DM tipe 2 dapat mengikuti pedoman PERKENI 2021, untuk edukasi diet, aktivitas fisik, pemilihan OHO maupun menentukan target pengobatan, dengan dipertimbangkan sesuai klinis pasien. Pertimbangan klinis pemberian OHO meliputi efek obat terhadap penyakit komorbid kardiovaskular dan renal, efektivitas obat penurunan glukosa darah, risiko hipoglikemia, dan efek samping, yaitu sebagai berikut:
- Pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa <7,5% maka mulai pengobatan dengan modifikasi gaya hidup sehat dan monoterapi dengan OHO, dengan lini pertama metformin
- Pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa ≥7,5%, atau sudah mendapatkan monoterapi 3 bulan tetapi belum mencapai target HbA1c <7% maka obat yang sudah digunakan dapat dikombinasi dengan OHO lain yang memiliki mekanisme kerja berbeda, misalnya metformin dengan glimepiride
- Apabila dengan kombinasi 2 OHO selama 3 bulan, namun target HbA1c <7%, maka disarankan melanjutkan terapi dengan kombinasi 3 OHO, misalnya metformin, glimepiride dengan pioglitazone
- Apabila saat diperiksa, HbA1c >9% tanpa disertai gejala dekompensasi metabolik, seperti hyperglycemic hyperosmolar state (HHS), atau penurunan berat badan yang cepat, dapat diberikan terapi kombinasi 2 atau 3 obat, yang terdiri dari metformin ditambah obat dari lini kedua
- Apabila saat diperiksa, HbA1c >9% dengan disertai gejala dekompensasi metabolik, maka diberikan terapi kombinasi insulin eksogen dan OHO lainnya
- Apabila pasien sudah mendapat terapi kombinasi 3 obat dengan atau tanpa insulin, namun tidak mencapai target HbA1c <7% selama minimal 3 bulan pengobatan, maka harus segera dilanjutkan dengan terapi intensifikasi insulin dengan insulin prandial dengan dosis sesuai kadar gula darah preprandial tertinggi dalam 1 hari
- Jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan pemberian terapi dapat menggunakan pemeriksaan glukosa darah[20]
Target terapi adalah HbA1c <7, sedangkan pada pasien lansia, target HbA1c adalah 7,5 sampai 8,5. Apabila pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan di fasilitas kesehatan, maka dapat melakukan konversi rata-rata glukosa darah puasa atau glukosa darah post prandial selama 3 bulan terakhir dengan menggunakan tabel konversi dari Standard of Medical Care in Diabetes American Diabetes Association 2019 yang dimodifikasi.[20]
Tabel 3. Konversi Gula Darah Rerata ke Perkiraan HbA1c.
HbA1c | Rerata Glukosa Darah Plasma (mg/dL) selama 3 Bulan Terakhir | Rerata Glukosa Darah Puasa 3 Bulan Terakhir (mg/dL) | Rerata Gula Darah Post Prandial 3 Bulan Terakhir (mg/dL) |
6 | 126 (100-152) | ||
5,5-6,49 | 122 (177-217) | 144 (139-148) | |
6,5-6,99 | 142 (135-150) | 164 (159-169) | |
7 | 154 (123-185) | ||
7,0-7,49 | 152 (143-162) | 176 (170-183) | |
7,5-7,99 | 167 (157-177) | 189 (180-197) | |
8 | 183 (147-217) | ||
8,0-8,5 | 178 (164-192) | 206 (195-217) | |
9 | 212 | ||
10 | 240 | ||
11 | 269 | ||
12 | 298 |
Sumber: PERKENI. 2021.[20]
Pedoman Persiapan Rujukan DM Tipe 2 di Indonesia
Rujukan mendesak atau pada hari yang sama dari Fasilitas Kesehatan Primer harus dilakukan jika ditemukan salah satu dari berikut ini:
- Keton urin lebih dari 2+ atau suspek ketoasidosis atau HHS
- Dalam terapi oral anti diabetes tunggal atau kombinasi dalam 3 bulan pengobatan tidak mencapai target
Hipoglikemia berat yang tidak teratasi dan tidak membaik dengan tatalaksana medis. Hipoglikemia berat adalah kadar glukosa serum <70 mg/dL dan pasien memerlukan bantuan orang lain untuk pemberian glukosa, seperti glukosa intravena, glukagon, atau resusitasi lainnya
- Kecurigaan klinis diabetes tipe 1 pada pasien yang baru didiagnosis
- Gejala/tanda komplikasi, seperti penyakit jantung koroner, stroke, penurunan penglihatan, krisis hipertensi, anuria atau eGFR (estimated glomerular filtration rate) <30 mL/menit/1,73 m2
Ulkus diabetikum yang terinfeksi dengan atau tanpa gejala infeksi sistemik; gangrene, critical limb ischaemia[14,20]
Rujukan non-darurat harus dilakukan jika ditemukan salah satu dari berikut ini:
- Dalam 3 bulan ditemukan GDP >130 mg/dl, gula darah 2 jam post prandial (GDPP) >180 mg/dl, atau HbA1c >7%
-
Dislipidemia, anemia, krisis hiperglikemia, atau pasien dengan gejala dan tanda penyakit peripheral vascular disease
- Pasien DM tipe 2 dengan komplikasi seperti hipertensi, retinopati, nefropati
- Pasien hamil, lansia, tuberkulosis (TBC) paru atau TBC lainnya
- Dalam terapi oral anti diabetes tunggal atau kombinasi dalam 3 bulan pengobatan tidak mencapai target
- Nilai eGFR (estimated glomerular filtration rate) 30–59 mL/mnt/1,73 m2 atau albuminuria (dari pemeriksaan rasio albumin urin/kreatinin) >30 mg/g
- Tekanan darah lebih dari 130/80 mmHg meskipun pengobatan dengan dua obat
- Infeksi kaki berat: ulkus, selulitis, abses[14,20]
Penulisan pertama oleh: dr. DrRiawati MMedPH