Epidemiologi Hipogonadisme
Epidemiologi hipogonadisme tercatat meningkat pada pria berusia diatas 45 tahun. Hipogonadisme juga meningkat pada penderita diabetes mellitus, obesitas, asthma, HIV, penyakit paru obstruktif kronis, dan penyakit gangguan tidur.[6,10]
Mortalitas
Penderita hipogonadisme tidak tercatat memiliki peningkatan mortalitas. Penderita hipogonadisme baik pria dan wanita umumnya merespons baik dengan terapi pengganti hormon.[1,7,8]
Global
Pada tahun 2000, WHO melaporkan bahwa pria di atas usia 65 tahun berjumlah hingga 520 juta. Pada tahun 2050, Jumlah tersebut diprediksi akan meningkat 3 kali lipat dan melebihi 1,5 milyar pria. 2-6% dari jumlah tersebut diperkirakan akan menderita hipogonadisme late-onset.[11]
Beberapa studi menunjukkan sekitar 45% pria dengan usia >45 tahun menderita hipogonadisme dan 50% dari pria berusia >80 tahun menderita hipogonadisme.[8] Studi yang dilaksanakan di Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa prevalensi hipogonadisme pada populasi umum berkisar 2,1 -12,8% pada pria usia menengah, dengan ditemukan insidensi sebesar 12 kasus baru per 1000 orang per tahun. Prevalensi hipogonadisme di layanan primer Amerika Serikat ditemukan sebesar 38,7%.[4,12]
Studi lain menunjukkan bahwa kadar testosteron pada laki laki menua menurun 1-2% tiap tahun setelah usia 40 tahun.[5] Kadar testosteron ditemukan menurun 110 µg/dL tiap 10 tahun.[2] Berdasarkan kadar testosteron, prevalensi hipogonadisme pada pria usia di atas 45 tahun di pelayanan kesehatan primer Amerika Serikat adalah sekitar 38,7%.[4]
Hipogonadisme juga terjadi pada 25-40% pria penderita diabetes mellitus. Penderita muda diabetes mellitus sekitar usia 18-35 tahun mempunyai prevalensi yang sama menderita hipogonadisme seperti penderita diabetes mellitus usia lanjut. Akan tetapi, hipogonadisme justru jarang ditemukan pada diabetes mellitus tipe I.[10]
Sekitar 10-12% pria dengan hipogonadisme mendapatkan terapi pengganti testosteron.Prevalensi hipogonadisme idiopatik diperkirakan sekitar 1:4.000 dan 1:10.000 pada kasus pria dan dilaporkan bahwa sekitar dua hingga lima kali lipat lebih jarang terjadi pada wanita.
Prevalensi hipogonadisme lebih tinggi pada pria daripada wanita. Hal ini berkaitan dengan insidensi sindrom Klinefelter (penyebab tersering hipogonadisme primer pada pria) lebih tinggi daripada insidensi sindrom Turner (penyebab tersering hipogonadisme pada wanita).[13]
Indonesia
Data epidemiologi hipogonadisme di Indonesia masih terbatas. Pada sindrom Klinefelter terjadi hipogonadotropik hipogonadisme yang seringkali juga mengalami ginekomastia. Pasien dengan sindrom Klinefelter memiliki risiko mengalami kanker payudara yang lebih tinggi hingga 20 kali lipat.[2]