Diagnosis Infeksi Helicobacter Pylori
Diagnosis infeksi Helicobacter pylori biasanya mengandalkan pemeriksaan penunjang seperti urea breath test atau pemeriksaan histopatologi karena infeksi ini dapat bersifat asimtomatik atau bersifat simtomatik tetapi tidak khas. Contoh gejala yang tidak khas adalah mual, muntah, dan nyeri ulu hati.[3]
Anamnesis
Pasien dapat datang dengan keluhan gastrointestinal yang tidak spesifik, seperti mual, muntah, nyeri ulu hati, rasa terbakar di ulu hati, atau diare. Nyeri perut (terutama nyeri ulu hati) merupakan keluhan yang paling sering ditemukan. Pada anak, keluhan nyeri biasanya lebih signifikan. Pada anak dengan keluhan nyeri perut yang berlangsung berminggu-minggu, infeksi H. pylori harus dipikirkan. Namun, sebanyak 35% infeksi H. pylori pada anak-anak maupun orang dewasa tidak bergejala.[3]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk infeksi H. pylori juga biasanya tidak menemukan tanda yang spesifik. Nyeri ulu hati yan hilang timbul menurut anamnesis dapat dikonfirmasi dengan nyeri saat palpasi epigastrium. Pada beberapa kasus, halitosis bisa ditemukan.[3]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk infeksi H. pylori adalah gangguan gastrointestinal lain, seperti gastritis kronis atau atrofik, gastritis yang diinduksi stres, keganasan gaster, gastrinoma, GERD (gastroesophageal reflux disease), dan ulkus gaster. Penyakit-penyakit ini sulit dibedakan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, sehingga pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi H. pylori.[3]
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis infeksi H. pylori memerlukan bantuan pemeriksaan penunjang. Terdapat dua metode pemeriksaan yang umum dilakukan, yakni metode invasif dan noninvasif. Pemilihan modalitas pemeriksaan penunjang harus mempertimbangkan sensitivitas dan spesifisitas serta ketersediaan sumber daya di tempat masing-masing.[1,2]
Metode Noninvasif
Beberapa metode noninvasif yang dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang pada kasus infeksi H. pylori adalah urea breath test, pemeriksaan antigen feses, dan pemeriksaan antibodi serum (serologi IgG).
Urea Breath Test atau UBT:
Pemeriksaan UBT dapat dipertimbangkan sebagai pemeriksaan baku emas sebelum dan sesudah terapi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan dua isotop karbon, yakni 13C non-radioactive dan 14C-radioactive. Pemeriksaan 13C UBT biasanya tidak portabel, sedangkan pemeriksaan 14C lebih mudah dilaksanakan dan portabel.[1,2]
Pemeriksaan 13C UBT terutama merupakan pilihan pada anak usia >6 tahun atau pada pasien pascagastrektomi parsial. Pada anak usia <6 tahun atau penderita yang telah mendapat antibiotik atau obat penekan produksi asam lambung dalam 2–4 minggu sebelum pemeriksaan, 14C UBT lebih disarankan.[1,2]
Pemeriksaan 13C UBT memiliki sensitivitas dan spesifisitas 96–100% dan 100% sebelum pengobatan, yang kemudian menjadi 100% dan 98,9% setelah pengobatan. Pemeriksaan 14C UBT memiliki sensitivitas dan spesifisitas 92% dan 100%. Pemeriksaan 13C UBT dapat dilakukan pada ibu hamil, sedangkan pemeriksaan 14C tidak dianjurkan untuk ibu hamil karena merupakan isotop radioaktif.[1,2]
Pemeriksaan UBT dilakukan dengan cara meminta pasien menelan urea yang memiliki label radioaktif karbon 13C atau 14C. Setelah 30 menit, pasien diminta mengeluarkan napas pada alat khusus yang bisa menilai tingkat karbon dalam napas. Ambang batas diagnosis Helicobacter pylori yang umum digunakan adalah 5%.[1,2]
Pemeriksaan Antigen dalam Feses:
Pemeriksaan antigen dapat dilakukan dengan sampel feses dan merupakan pilihan pemeriksaan diagnostik yang baik pada masa sebelum maupun sesudah pengobatan. Pemeriksaan antigen monoklonal memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 96% dan 97%.[1,2]
Namun, pemeriksaan ini dikontraindikasikan pada pasien yang mendapatkan proton pump inhibitor (PPI) seperti omeprazole atau lansoprazole dalam waktu 4 minggu sebelumnya. Untuk pasien seperti ini, pemeriksaan dianjurkan untuk dilakukan dalam waktu 4–8 minggu setelah pemakaian PPI terakhir.[1,2]
Pemeriksaan Antibodi dalam Serum:
Pemeriksaan serologi serum untuk menilai IgG terhadap H. pylori sangat tergantung pada variasi geografi bakteri H. pylori. Pemeriksaan ini memiliki angka positif palsu yang tinggi pada populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori yang rendah, sehingga hasilnya tetap harus dikonfirmasi dengan metode pemeriksaan lainnya.[1,2]
Pemeriksaan ini juga tidak mampu membedakan infeksi akut dan kronis. Apabila tes serologi ingin tetap dilakukan, konsentrasi antibodi H. pylori lebih banyak ditemukan pada urine dan saliva daripada serum. Pemeriksaan serologi juga tidak dianjurkan pada anak berusia <8 tahun karena mereka belum mampu membentuk antibodi yang spesifik secara maksimal.[1,2]
Kelebihannya, pemeriksaan serologi serum tidak menunjukkan hasil negatif palsu pada penderita yang mengonsumsi PPI maupun antibiotik, pasien dengan gastritis atrofi, dan pasien dengan metaplasia intestinal luas atau MALT.[1,2]
Metode Invasif
Pemeriksaan invasif pada infeksi H. pylori yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan gastroduodenoskopi. Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien dengan gejala infeksi H. pylori yang tidak memberikan respons yang adekuat terhadap terapi atau pasien dengan usia >45 tahun. Hasil biopsi dari prosedur endoskopi dapat digunakan untuk rapid urea test (RUT), pemeriksaan histologi, kultur sensitivitas, atau polymerase chain reaction (PCR).
Rapid Urea Test:
Rapid urea test atau RUT adalah pemeriksaan jaringan biopsi yang memanfaatkan reaksi urea. Tes ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas 90–95% dan 91–100%, tetapi sangat tergantung pada jumlah bakteri yang ada pada sampel. Beberapa jenis bakteri non-Helicobacter yang memproduksi urea, misalnya Proteus mirabilis dan Klebsiella pneumonia, dapat meningkatkan hasil positif palsu. Pada kasus perdarahan saluran cerna, pemeriksaan ini juga memiliki akurasi yang rendah.[1,2]
Pemeriksaan Histopatologi:
Pemeriksaan histopatologi merupakan pemeriksaan baku emas pada kasus infeksi H. pylori, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing >95%. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan pewarnaan Giemsa sederhana. Pewarnaan imunohistokimia dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 100% dan 98–99%.[1,2]
Kelebihan pemeriksaan histopatologi adalah kemampuannya untuk memberi informasi mengenai derajat inflamasi dan perubahan histologi yang terjadi setelah infeksi, seperti perubahan yang menandakan gastritis atrofi, metaplasia intestinal, limfoma mucosa associated lymphoid tissue (MALT), dan keganasan.[1,2]
Bagi pasien yang mengonsumsi obat penekan produksi asam lambung, pemeriksaan harus ditunda hingga 2 minggu setelah pemakaian obat terakhir. Apabila pemeriksaan harus dilakukan, sampel sebaiknya diambil bukan dari antrum gaster.[1,2]
Kultur Sensitivitas:
Kultur terutama dilakukan untuk menentukan antibiotik yang tepat untuk eradikasi H. pylori. Pemeriksaan ini mahal, membutuhkan waktu lama, dan distribusinya terbatas. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan di daerah dengan resistensi obat rendah.[1,2]
Pemeriksaan Polymerase Chain Reactions:
Pemeriksaan PCR dapat mendeteksi gen bakteri H. pylori dari sampel sarah, saliva, feses, dan jaringan biopsi. Pemeriksaan ini juga dapat memeriksa mutasi genetik yang dikaitkan dengan resistensi obat. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi, yakni 97% dan 91,8%. Namun, pemeriksaan ini tidak dapat membedakan bakteri H. pylori yang hidup dan mati, sehingga tidak dapat digunakan untuk konfirmasi setelah terapi.[1,2]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur