Epidemiologi Intoleransi Laktosa
Epidemiologi intoleransi laktosa yaitu sekitar 68% populasi di dunia. Intoleransi laktosa banyak dijumpai pada ras Asia dan Afrika. Prevalensi defisiensi laktase jarang terjadi pada bayi dan anak <6 tahun, yang akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini karena tubuh mengalami penurunan kemampuan untuk mencerna laktosa setelah melewati fase bayi.[1,13,14]
Global
Defisiensi laktase dilaporkan terjadi pada sebagian besar negara di dunia, dengan latar belakang etnis yang berbeda-beda. Intoleransi laktosa ditemukan paling banyak pada orang dengan ras Afrika Amerika, Hispanik/Latin, Asia, dan lebih jarang pada orang dengan keturunan Eropa.
Prevalensi defisiensi laktase primer pada dewasa dan anak berusia di atas 6 tahun diperkirakan sebesar 80‒100% pada ras Asia, 70‒95% pada ras Afrika, 15‒80% pada orang Amerika, dan 19‒37% pada orang Eropa. Pada populasi yang menjadikan produk susu non fermentasi sebagai sumber makanan utama dalam keseharian (Eropa Utara), jarang ditemukan kasus intoleransi laktosa, yaitu 5% dari penduduknya.[1,13,14]
Sekitar 68% populasi di dunia mengalami penurunan kadar enzim laktase hingga di bawah ambang batas normal pada usia 2‒5 tahun, dan sekitar 30% populasi tetap memiliki kadar laktase persisten.[13]
Indonesia
Prevalensi malabsorbsi laktosa di Indonesia pada anak usia 3‒5 tahun sebesar 21,3%, usia 6‒11 tahun sebesar 57,8%, dan pada anak 12‒14 tahun sebesar 73%. Pada anak yang minum susu rutin dan tidak rutin, prevalensi intoleransi laktosa didapatkan sebesar 56,2% dan 52,1%.[8]
Mortalitas
Hingga saat ini tidak ada laporan data mengenai mortalitas terkait intoleransi laktosa. Akan tetapi, restriksi/diet rendah laktosa jangka panjang , yang umumnya berasal dari produk olahan susu, dapat yang menyebabkan pasien berisiko mengalami defisiensi kalsium dan vitamin D. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko osteoporosis dan gangguan gigi.[1,2]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini