Penatalaksanaan Porfiria
Penatalaksanaan definitif porfiria akut adalah pemberian heme intravena yang diturunkan dari plasma (hemin). Selain itu, dokter juga perlu memperhatikan tata laksana suportif seperti hidrasi, asupan nutrisi seimbang, kestabilan elektrolit, dan penanganan nyeri dengan narkotik parenteral. Bila ada faktor pencetus porfiria seperti obat atau alkohol, faktor tersebut harus dihentikan. Porfiria rekuren dan kronik dapat memerlukan penanganan yang berbeda.
Penatalaksanaan Porfiria Akut
Pasien yang diduga mengalami porfiria akut dengan intensitas sedang dan berat harus dirawat untuk evaluasi, terapi, dan pemantauan. Langkah awal penanganan adalah menghentikan faktor-faktor yang diduga mencetuskan porfiria. Setelah itu, dapat dilakukan pemberian heme, loading glukosa, dan terapi suportif.[4]
Pemberian Heme
Terapi pilihan untuk serangan akut adalah heme intravena untuk mengurangi ekspresi delta-aminolevulinate synthase 1 (ALAS1) dan menurunkan produksi prekursor heme. Preparat heme diberikan bersama arginate dengan dosis 1–4 mg/kg/hari (dosis yang direkomendasikan adalah 3 mg/kg/hari) hingga maksimal 250 mg dalam albumin (5–20%) 100 mililiter. Pemberian dilakukan selama 30–60 menit dalam jangka waktu hingga 4 hari berturut-turut tergantung perbaikan gejala.
Setelah memberikan preparat heme, lakukan flushing dengan normal saline untuk mencegah iritasi. Umumnya pasien akan membaik dalam 48 jam. Pada pemeriksaan urine, umumnya terjadi penurunan aminolevulinic acid (ALA) dan porphobilinogen (PBG) yang signifikan dalam 3–6 hari. Namun, tidak semua pasien akan membaik dengan heme. Hal ini diduga diakibatkan oleh dosis yang kurang, keterlambatan terapi, atau telah terjadinya kerusakan neurologis ireversibel.
Terapi heme intravena sendiri bersifat iritan dan dapat menimbulkan tromboflebitis pada vena perifer dalam <1% kasus. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk memberikan preparat heme pada vena perifer besar atau vena sentral.[1,3,7]
Loading Glukosa
Sebelum ditemukan preparat heme, penanganan serangan porfiria akut adalah dengan memberikan loading glukosa. Glukosa bersifat inhibitif terhadap ALAS1. Akan tetapi, pemberian loading glukosa bersifat cukup kontroversial karena berisiko memperberat hiponatremia yang dapat berlanjut menjadi edema serebri dan demielinisasi.
Apabila preparat hemin tidak tersedia, pasien dapat diberikan dextrose 10% sebanyak 300–400 gram dalam 24 jam. Untuk mencegah hiponatremia, dokter dapat melakukan pemberian glukosa bersama dengan cairan normal saline. Glukosa cukup efektif untuk kasus ringan, tetapi tidak terlalu bermanfaat untuk kasus berat.[2,7,8]
Terapi Suportif
Dokter perlu memastikan bahwa asupan cairan dan nutrisi pasien tetap adekuat. Pasien mungkin tidak dapat menerima nutrisi oral dengan baik karena gejala mual dan muntah. Dalam hal ini, dokter dapat memberikan antiemetik seperti ondansetron. Apabila pasien memiliki gejala lain seperti kejang, berikan obat antikonvulsan.
Nyeri yang terjadi pada porfiria umumnya berintensitas berat. Selain itu, semakin parah nyeri, ALAS1 akan semakin teraktivasi karena reaksi neuroendokrin. Oleh karena itu, antinyeri narkotik (opiate) umumnya dibutuhkan. Obat untuk nyeri neuropatik lain seperti gabapentin dapat dipertimbangkan. Opiate dan gabapentin aman diberikan karena tidak menginduksi ALAS1 di hati dan dieksresikan lewat ginjal.[1,7,11]
Penatalaksanaan Porfiria Rekuren
Pasien dengan serangan akut berulang (4 atau lebih serangan dalam 1 tahun yang memerlukan perawatan di rumah sakit) membutuhkan penanganan khusus. Rekurensi lebih banyak terjadi pada wanita dan pada kasus porfiria intermiten akut. Serangan rekuren berpotensi menimbulkan nyeri kronik, depresi, neuropati, dan disabilitas.[7]
Profilaksis Heme Berkala
Pasien porfiria rekuren sering membutuhkan profilaksis heme secara berkala. Untuk mengurangi efek samping obliterasi vena akibat infus heme berulang, dapat dilakukan pemasangan intravenous port atau shunt arteri-vena. Iritasi pembuluh darah dapat dikurangi dengan pemberian heme dalam albumin.[1]
Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone
Pada wanita yang mengalami serangan akut seiring fase menstruasi, terapi dengan gonadotropin releasing hormone (GnRH) bisa diberikan untuk mencegah ovulasi. Namun, terapi ini dapat berisiko menimbulkan defisiensi estrogen. Untuk mengatasi kekurangan estrogen, dapat diberikan patch estrogen dosis rendah. Apabila diberikan, lakukan pemantauan densitas mineral tulang dan konsultasi dengan ahli ginekologi.[4,7]
Transplantasi Hati
Apabila tidak ada terapi yang efektif dan terjadi penurunan kualitas hidup, transplantasi hati dapat dipertimbangkan pada pasien dengan sirosis atau kolestasis berat.[2,11]
Penatalaksanaan Porfiria Kronik
Penanganan pertama porfiria kronik adalah mengidentifikasi dan menghilangkan faktor pencetus. Setelah itu, evaluasi kadar zat besi dalam darah, fungsi hati, dan fungsi ginjal untuk menentukan tata laksana lebih lanjut.[3]
Phlebotomy
Phlebotomy merupakan terapi pilihan bagi porfiria kutaneus tarda. Tujuan phlebotomy adalah mengurangi kelebihan zat besi. Phlebotomy dilakukan sampai saturasi transferin turun hingga ≥16% atau mendekati batas bawah nilai rujukan. Kurang lebih 350–500 ml darah dikeluarkan tiap minggu hingga target tercapai. Lakukan pemantauan porfirin urine setiap 3 bulan dengan ekspektasi normal dalam 1 tahun.
Kelasi Besi
Terapi kelasi besi dengan deferasirox, deferiprone, atau desferrioxamine dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak dapat menjalani phlebotomy, misalnya akibat anemia berat. Terapi dengan klorokuin dosis tinggi sudah ditinggalkan karena risiko efek samping yang berat, tetapi klorokuin dosis rendah (100–200 mg, 2 kali/minggu) dan hidroksiklorokuin (100 mg, 2 kali/minggu) bisa dijadikan alternatif. Pada kasus porfiria kutaneus tarda berat, phlebotomy dan klorokuin dosis rendah bisa diberikan bersamaan untuk mempercepat remisi.[2,3]
Perlindungan Terhadap Cahaya
Pada porfiria fotosensitif yang menimbulkan nyeri akut seperti protoporfiria eritropoietik, protoporfiria X-linked, dan porfiria eritropoietik kongenital, tata laksana pertama adalah perlindungan terhadap cahaya matahari maupun cahaya artifisial. Namun, tabir surya konvensional tidak banyak membantu karena fotosensitivitas yang terjadi akibat paparan sinar biru, sehingga perlu ditambahkan zinc oksida atau titanium oksida. Pasien juga diberikan suplementasi vitamin D untuk mencegah defisiensi.[1,2]
Tata Laksana Lainnya
Splenektomi dipertimbangkan pada pasien porfiria eritropoietik kongenital dengan splenomegali dan riwayat transfusi berulang. Transfusi darah diberikan pada pasien yang mengalami anemia berat. Hingga saat ini, transplantasi sumsum tulang allogenic merupakan terapi kuratif satu-satunya untuk porfiria eritropoietik kongenital.[1,2]