Diagnosis Aritmia
Diagnosis aritmia utamanya ditegakkan melalui pemeriksaan EKG. Aritmia perlu dicurigai pada pasien yang mengeluhkan berdebar-debar atau denyut jantung terasa tidak teratur, terutama jika memiliki faktor risiko kardiovaskular seperti hipertensi.[1-3]
Anamnesis
Pada beberapa kasus aritmia, terutama bradiaritmia, pasien dapat tidak mengalami gejala. Meski demikian, aritmia juga dapat menyebabkan pasien datang dalam kondisi penurunan kesadaran akibat syncope.
Pada bradiaritmia, pasien bisa menyampaikan keluhan yang tidak spesifik, seperti rasa lelah, sesak, intoleransi pada saat aktivitas atau olahraga, malaise, hingga nyeri dada. Pada takiaritmia, pasien dapat datang dengan keluhan berdebar-debar, nyeri dada, pusing, melayang, dan merasa lemas.
Riwayat penyakit sebelumnya perlu ditanyakan pada pasien, terutama riwayat penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi, infark miokard, kardiomiopati, dan penyakit jantung bawaan. Tanyakat juga riwayat aktivitas fisik, riwayat penyakit pada keluarga, serta faktor gaya hidup seperti kebiasaan merokok.
Beberapa zat dan obat juga bisa mencetuskan aritmia. Kafein, tembakau, dan alkohol merupakan contoh zat yang bisa menyebabkan aritmia. Medikamentosa yang dapat menyebabkan aritmia antara lain verapamil, diltiazem, amiodarone, dronedarone, sotalol, digoxin, dan phenothiazine.[2-4,6-8]
Palpitasi
Palpitasi adalah sensasi kekuatan kontraksi jantung. Biasanya, pasien tidak memiliki kesadaran akan detak jantung karena kekuatan kontraktil dari setiap detakan sedang dan karena struktur yang mengelilingi jantung dan pembuluh darah besar tidak cukup meregang untuk menimbulkan impuls sensorik.
Ketika ventrikel kiri tiba-tiba berkontraksi lebih kuat, hasil bolus darah yang lebih besar meregangkan arteri besar atau meningkatkan gerakan fisik jantung di dalam perikardium dan dapat dirasakan pasien. Aritmia diduga dapat menghasilkan perubahan kekuatan kontraksi berhubungan dengan perubahan mendadak dalam panjang siklus irama dan interval antara ketukan.
Pada kasus disfungsi nodus sinus atau blok AV derajat dua, pasien juga mungkin bisa merasakan sensasi jeda dari detak jantungnya.[4]
Intoleransi Aktivitas
Takiaritmia dan bradiaritmia dapat menyebabkan penurunan perfusi darah yang menyebabkan penurunan kapasitas pasien dalam beraktivitas. Pasien bisa merasakan mudah lelah, lemah, pusing, hingga mengalami pingsan ketika beraktivitas.[4]
Dispnea
Pada aritmia, dispnea bisa terjadi meskipun pasien memiliki fungsi paru yang normal. Ini merupakan akibat dari peningkatan tekanan pengisian pada ventrikel kiri. Meski demikian, dispnea lebih mungkin dialami pasien aritmia yang memiliki penyakit paru obstruktif atau restriktif.[4]
Nyeri Dada
Pasien bisa mengeluhkan ketidaknyamanan pada dada akibat adanya aritmia ektopik. Nyeri dada juga bisa muncul karena tingginya risiko sindrom koroner akut pada pasien yang mengalami aritmia.[4]
Syncope
Near syncope dan syncope biasanya terjadi karena turunnya tekanan darah dan adanya gangguan perfusi akibat aritmia yang dialami.[4]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pertama kali adalah pemeriksaan denyut nadi untuk mengetahui frekuensi, irama, dan kualitas pulsasi nadi. Bradiaritmia akan menghasilkan frekuensi pulsasi kurang dari 60 kali per menit, sedangkan takiaritmia memiliki frekuensi lebih dari 100 kali per menit.
Pemeriksaan tekanan darah mungkin menunjukkan penurunan atau peningkatan. Pemeriksaan fisik jantung dan paru diperlukan untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab aritmia, misalnya adanya gangguan katup ataupun gagal jantung.[2-4,6-8]
Diagnosis Banding
Aritmia umumnya dapat dikenali dengan mudah melalui pemeriksaan EKG. Pada pasien dengan syncope, diagnosis banding aritmia yang perlu dipikirkan adalah gagal jantung akut, hipovolemia, serta keracunan.[1-4]
Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut dan aritmia bisa terjadi saling berhubungan. Penyebab keduanya pun kurang lebih serupa. Pemeriksaan EKG dapat mengenali adanya aritmia. Pencitraan dan pemeriksaan laboratorium dapat membantu mengevaluasi penyebab yang mendasari terjadinya aritmia ataupun gagal jantung akut.[1-4]
Hipovolemia
Pada kasus hipovolemia, koreksi volume dengan resusitasi cairan atau transfusi darah akan memperbaiki kondisi klinis pasien. Sementara itu, pada aritmia hal ini tidak berlaku.[1-4]
Keracunan
Pasien yang mengalami keracunan atau intoksikasi bisa mengalami gejala syncope seperti yang dialami pasien aritmia. Beberapa zat penyebab keracunan juga bisa menimbulkan gejala aritmia. Pada kasus keracunan, akan ada riwayat mengonsumsi atau terpapar zat penyebab sebelum gejala muncul. Selain itu, akan ada juga gejala lain seperti midriasis, diaforesis, halusinasi, mual, ataupun muntah.[1-4]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama untuk diagnosis aritmia adalah EKG. Pemeriksaan lain dapat diperlukan untuk menentukan penyebab yang mendasari timbulnya aritmia.
Elektrokardiografi (EKG)
EKG merupakan pemeriksaan penunjang yang memiliki peran penting dalam penegakan diagnosis aritmia. Gambaran EKG akan berbeda-beda tergantung dari jenis aritmia yang dialami.
Sebagai contoh, pasien dengan atrial fibrilasi akan menunjukkan gambaran EKG berupa interval R-R ireguler, tidak ditemukannya gelombang P pada EKG, dan interval antara 2 aktivasi atrium jika terlihat >200 ms atau >300 laju per menit.
Sementara itu, pada ventricular tachycardia akan muncul gambaran EKG kompleks QRS melebar >0,14 detik dengan pola right bundle branch block atau >0,16 detik dengan pola left bundle branch block. Gambaran lain mencakup disosiasi AV, interval RS interval >100 ms pada lead prekordial (tanda Brugada), kompleks QRS dengan konkordans negatif pada lead prekordial, dan ventricular fusion beats.[2-4,6-8]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien aritmia digunakan untuk mengevaluasi penyebab yang mendasari. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan biomarker jantung untuk mengetahui adanya infark miokard; kadar elektrolit untuk menilai adanya gangguan elektrolit; serta pemeriksaan kadar hormon tiroid jika aritmia dicurigai berkaitan dengan hipertiroid.
Pada kasus yang berkaitan dengan penggunaan obat, dapat dilakukan pemeriksaan kadar obat, seperti digoxin atau teofilin.[2-4,6-8]
Echocardiography
Echocardiography akan memberikan perkiraan fraksi ejeksi, apakah ada hipertrofi jantung, dan kelainan gerakan dinding regional akibat infark sebelumnya. Pemeriksaan ini juga bisa mengevaluasi kelainan struktural lain, termasuk jika ada gangguan katup atau kelainan anatomis bawaan.[4]
Tes Stres EKG
Tes stres EKG dapat bermanfaat pada pasien yang dicurigai mengalami penyakit arteri koroner.[4]
Holter Monitoring
Holter monitoring dapat merekam aktivitas jantung menggunakan perangkat rawat jalan kecil, portabel, non-invasif, yang digunakan kontinu dalam periode 24-48 jam. Penggunaan alat ini akan menyediakan kesempatan lebih besar untuk mendeteksi gangguan irama atau penyakit jantung terkait gejala yang dialami pasien.[4]
Penulisan pertama oleh: dr. Debtia Rahmah