Penatalaksanaan Atrial Flutter
Tujuan penatalaksanaan dari atrial flutter adalah kontrol laju ventrikular, mengembalikan irama sinus, pencegahan episode rekuren atau mengurangi frekuensi dan durasi, pencegahan komplikasi tromboemboli, sembari meminimalkan efek samping dari terapi.[3]
Kontrol Irama
Kontrol irama merupakan prioritas dalam tata laksana atrial flutter karena dapat memperbaiki gejala. Kontrol irama dapat dilakukan dengan kardioversi elektrik maupun farmakologi.[3]
Kardioversi Elektrik
Kardioversi elektrik umumnya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil atau setelah terapi lainnya gagal, namun dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pertama karena efektivitas yang tinggi. Tingkat kesuksesan dari kardioversi elektrik pada atrial flutter >95%.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan adalah syok tersinkronisasi pada gelombang R, sedasi adekuat, dan posisi elektroda. Atrial flutter umumnya memerlukan energi yang lebih rendah dibandingkan kardioversi pada atrial fibrilasi, yaitu sebesar 50 J.
Jika kardioversi gagal dengan satu konfigurasi elektroda, maka dapat diubah ke konfigurasi lainnya untuk meningkatkan kesuksesan. Dosis energi juga dapat dinaikan. Gelombang eksternal bifasik mungkin lebih efektif dalam mengembalikan irama sinus.[2,3]
Kardioversi Farmakologi
Kardioversi dengan medikamentosa dapat dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil. Obat antiaritmia kelas III seperti dofetilide dapat diberikan secara intravena dan oral, serta ibutilide dapat diberikan secara intravena. Amiodarone memiliki efektivitas yang rendah untuk mengembalikan irama sinus, namun dapat bermanfaat jika laju ventrikular sangat cepat.
Obat antiaritmia kelas IC seperti procainamide dengan dosis 15 mg/kg dalam NaCL 0,9% 500 ml dapat diberikan secara infus intravena selama 60 menit. Meski begitu, efektivitas pada atrial flutter lebih rendah dibandingkan pada atrial fibrilasi.[2,16]
Kontrol Laju
Kontrol laju merupakan langkah pertama pada pasien simtomatik dengan laju ventrikular cepat. Obat-obatan pilihan yang digunakan untuk memperlambat konduksi nodus atrioventrikular (AV) adalah penghambat reseptor beta dan penghambat kanal kalsium. Digoxin merupakan opsi lain untuk kontrol laju, namun perlu digunakan dengan hati-hati karena efek samping dan toksisitasnya.
Penghambat Reseptor Beta
Penghambat reseptor beta merupakan pilihan pertama sebagai agen kontrol laju. Obat yang dapat diberikan antara lain:
Bisoprolol: 1,24–20 mg per oral
Atenolol: 25–100 mg per oral
Carvedilol: 3,125–50 mg per oral.[2,9]
Penghambat Kanal Kalsium
Verapamil dan diltiazem memberikan kontrol laju yang baik dan dapat memperbaiki gejala dari atrial flutter dibandingkan dengan penghambat reseptor beta. Golongan ini sebaiknya tidak diberikan pada gagal jantung akut atau pasien dengan penurunan fraksi ejeksi.
Verapamil diberikan secara bolus intravena dengan dosis 2,5–10 mg dalam 5 menit atau secara oral dengan dosis 40 mg. Diltiazem diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,25 mg/kg dalam 5 menit dan dapat diulang dengan dosis 0,35 mg/kg hingga 3 kali. Diltiazem juga dapat diberikan secara oral dengan dosis 60 mg 3 kali sehari.[2,9]
Digoxin
Penggunaan digoxin dapat dikombinasi dengan penghambat reseptor beta pada pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi. Digoxin diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,75–1,5 mg dalam 24 jam, diberikan dalam dosis terbagi. Digoxin juga bisa diberikan secara oral dengan dosis 0,0625–0,25 mg sekali sehari.[2,9]
Ablasi Kateter
Ablasi kateter merupakan terapi lini pertama dalam mencapai pengembalian irama sinus secara permanen. Prosedur ini sering dilakukan secara elektif, namun juga bisa dilakukan dalam kondisi akut pada pusat laboratorium yang berkompetensi.[3]
Atrial Flutter Tipikal
Pada pasien dengan atrial flutter tipikal, ablasi kateter umumnya merupakan prosedur rawat jalan. Prosedur ini melibatkan sedasi sedang dan mengakses vena femoralis untuk memasukan kateter.
Umumnya ablasi dilakukan pada posisi jam 6 pada istmus katup trikuspid. Tingkat rekurensi setelah ablasi adalah < 10%. Antikoagulasi pasca prosedur dengan warfarin umumnya diberikan selama 4-6 minggu.[2,3]
Atrial Flutter Atipikal
Ablasi kateter untuk atrial flutter atipikal dapat dilakukan, terutama pada pusat laboratorium dengan sistem mapping sudah lebih canggih. Prosedur ablasi mirip dengan atrial flutter tipikal, namun dapat melibatkan mapping tambahan dari atrium kiri. Tingkat rekurensi lebih tinggi dibandingkan atrial flutter tipikal, sehingga masih diperlukan obat antiaritmia rumatan.[3]
Terapi Antikoagulan
Pasien dengan atrial flutter memiliki risiko lebih tinggi terhadap komplikasi tromboemboli dibandingkan populasi umum. Pemberian antikoagulasi yang adekuat dapat menurunkan risiko komplikasi ini pada atrial flutter kronis dan pasien yang pernah menjalani kardioversi.
Strategi terapi antikoagulan digunakan untuk atrial fibrilasi (AF) juga direkomendasikan untuk atrial flutter. Terdapat sebuah sistem skoring untuk menentukan risiko stroke yaitu CHADS2-Vasc. Sistem skoring ini bermanfaat untuk stratifikasi risiko terhadap risiko mengalami stroke emboli akibat atrial flutter atau AF.
Antikoagulan direkomendasikan untuk pasien dengan atrial flutter dengan skor CHA2DS2-VASc ≥ 2 pada laki-laki atau ≥ 3 pada wanita. Pemberian antikoagulan juga dipertimbangkan pada pasien dengan CHA2DS2-VASc 1 pada laki-laki atau 2 pada wanita.[7,9]
Tabel 1. Skor CHADS2 dan CHA2DS2-VASc
Kondisi | CHADS2 | Poin | CHA2DS2-VASc | Poin |
Gagal Jantung Kongestif | C | 1 | C | 1 |
Hipertensi | H | 1 | H | 1 |
Usia > 75 tahun | A | 1 | A2 | 2 |
Diabetes mellitus | D | 1 | D | 1 |
Riwayat stroke atau transient ischemic attack atau tromboembolisme | S2 | 2 | S2 | 2 |
Penyakit vaskuler (penyakit arteri perifer, infark miokard, plak aorta) | V | 1 | ||
Usia > 65 tahun | A | 1 | ||
Jenis kelamin perempuan | SC | 1 |
Sumber: dr. Bedry Qintha, Alomedika, 2023.[19]
Pilihan Antikoagulan
Obat antikoagulan yang dapat diberikan:
Rivaroxaban: 20 mg per hari. Penyesuaian dosis menjadi 15 mg per hari jika klirens kreatinin (CrCl) < 30-49 ml/menit
Apixaban: 5 mg, diberikan 2 kali sehari. Penyesuaian dosis menjadi 2,5 mg jika serum kreatinin >133 µmol/L, usia > 80 tahun, atau berat badan < 60 kg
Edoxaban: 60 mg per hari. Penyesuaian dosis menjadi 30 mg per hari jika CrCl 30-50 ml/menit atau berat badan < 60 kg
- Warfarin: 5 mg per hari. Penyesuaian dosis menjadi 1-2 mg per hari jika frail, berat badan rendah, atau orang Asia[16]
Durasi Atrial Flutter > 48 Jam
Pada kondisi ini, terapi antikoagulan diperlukan selama minimal 4 minggu sebelum kardioversi. Jika kardioversi dilakukan lebih cepat, pasien diberikan heparin secara intravena dan dilakukan TEE pada waktu sedekat mungkin dengan kardioversi. Jika ditemukan atau dicurigai adanya trombus pada TEE, maka kardioversi ditunda. Terapi antikoagulasi dilanjutkan selama setidaknya 4 minggu setelah kardioversi.[3]
Durasi Atrial Flutter < 48 Jam
Sama seperti pasien dengan AF, pertimbangan diperlukannya antikoagulasi setelah kardioversi ditentukan setelah mempertimbangkan adanya risiko tromboemboli dan perdarahan pada pasien. Terlepas dari risiko tromboemboli dan perdarahan, antikoagulasi pasca kardioversi direkomendasikan karena kecepatan aliran darah sangat rendah setelah kardioversi dan membaik dengan perlahan.[3]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita