Epidemiologi Atrial Septal Defect
Data epidemiologi memperkirakan atrial septal defect (ASD) atau defek septum atrium sebagai jenis penyakit jantung bawaan ketiga terbanyak. Insidensi ASD diperkirakan sekitar 56 per 100.000 kelahiran hidup. Meski demikian, seiring semakin majunya teknik pencitraan yang memampukan deteksi silent defects oleh echocardiography, estimasi ASD diperkirakan meningkat menjadi 100 per 100.000 kelahiran hidup.[6]
Global
Seiring kemajuan modalitas pemeriksaan echocardiography, deteksi atrial septal defect (ASD) menjadi semakin mudah. Hal ini diperkirakan menyebabkan semakin tingginya angka insidensi dari ASD.
65–70% pasien ASD diperkirakan mengalami defek sekundum. Kebanyakan kasus ASD bersifat sporadik. Pada kasus klaster keluarga ASD sekundum, pola keturunan dilaporkan bervariasi dan yang tersering adalah autosomal dominan.
Pasien dengan ASD sering memiliki sindrom kongenital, seperti sindrom Holt-Oram, Ellis van Creveld, Noonan, Down syndrome, Budd-Chiari, dan Jarcho-Levine. Pada pasien dengan sindrom Holt Oram, ASD dilaporkan pada duapertiga kasus.[6]
Indonesia
Data yang memuat prevalensi atrial septal defect (ASD) di Indonesia masih sangat terbatas. Secara keseluruhan, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) mencatatkan ada sekitar 40 ribu anak yang dilahirkan dengan penyakit jantung bawaan (PJB) di Indonesia.[7]
Dari kajian yang dilakukan pada tahun 2019, didapati bahwa dari 379 pasien berusia 17 tahun atau lebih yang menjalani operasi jantung di Indonesia, 53,8% disebabkan oleh ASD. Hampir sama, di Thailand dilaporkan bahwa dari 27.132 pasien yang dewasa yang menjalani echocardiography, prevalensi ASD ditemukan sebesar 43%, dengan rasio jenis kelamin penderita wanita : laki-laki sebesar 4:1.[8,9]
Mortalitas
Dibandingkan dengan populasi normal, penderita atrial septal defect (ASD) memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi secara jangka panjang. Pasien ASD yang menjalani tindakan penutupan lubang pada septum interatrial menunjukkan tingkat mortalitas yang cenderung lebih rendah dibandingkan yang tidak menjalani intervensi apapun. Pasien yang telah menjalani prosedur penutupan defek memiliki risiko kematian lebih rendah akibat komplikasi terkait penyakit jantung.[10]