Penatalaksanaan Atrial Septal Defect
Penatalaksanaan atrial septal defect (ASD) atau defek septum atrium tergantung pada ukuran lesi dan manifestasi klinis yang dialami pasien. Pasien dengan defek kurang dari 5 mm dapat mengalami penutupan spontan dalam 1 tahun pertama kehidupan, sehingga tidak membutuhkan intervensi apapun. Jika lesi lebih dari 1 cm, kemungkinan besar pasien akan membutuhkan intervensi medis atau bedah untuk menutup defek.[1]
Persiapan Rujukan
Semua pasien yang dicurigai memiliki atrial septal defect (ASD) harus dirujuk ke Pusat Pelayanan Kesehatan Sekunder untuk menjalani pemeriksaan yang lebih lengkap terkait kondisinya. Dibutuhkan pelayanan kesehatan yang bersifat khusus, terstruktur, dan memiliki berbagai pakar multidisiplin ilmu untuk dapat memberikan manajemen terstruktur yang baik bagi seluruh pasien dengan penyakit jantung bawaan.[7]
Indikasi dan Kontraindikasi Penutupan Defek
Indikasi penutupan atrial septal defect (ASD) adalah jika terdapat pirau yang signifikan secara hemodinamik dan menyebabkan pembesaran struktur—struktur jantung, dengan atau tanpa gejala. Indikasi lain adalah adanya kecurigaan terkait embolisme paradoksikal dan orthodeoxia-platypnoea, tanpa melihat ukuran pirau.
Penutupan defek sebaiknya dihindari apabila resistensi vaskular pulmonal lebih tinggi dari duapertiga resistensi vaskular sistemik dan terdapat sindrom Eisenmenger. Penutupan defek juga kontraindikasi pada kasus penyakit jantung bawaan dimana ASD berperan sebagai rute dekompresi. Hipertensi pulmonal derajat berat juga merupakan kontraindikasi penutupan defek.[6]
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) dalam panduannya mengenai tata laksana penyakit jantung bawaan pada pasien dewasa merekomendasikan:
- Pasien ASD tanpa hipertensi pulmonal atau disfungsi ventrikel dengan kecurigaan mengalami emboli paradoksikal sebaiknya dipertimbangkan untuk melakukan penutupan tanpa melihat ukuran defek
- Pasien ASD, terutama yang tipe ostium sekundum, direkomendasikan menjalani prosedur penutupan lesi melalui transkateterisasi apabila memungkinkan
- Pasien ASD dengan usia lanjut, disfungsi ventrikel kiri, dan dicurigai mengalami emboli paradoksikal harus menimbang risiko dan manfaat dilakukannya prosedur pembedahan
- Pasien ASD dengan sindrom Eisenmenger, pulmonary vascular resistance > 5, atau terjadi desaturasi setelah dilakukan uji latih jantung tidak direkomendasikan menjalani penutupan defek[7]
Penutupan Defek
Keputusan untuk menganjurkan pasien menjalani tindakan intervensi penutupan (closure) diambil berdasarkan temuan pemeriksaan klinis dan informasi yang didapat dari echocardiography, yakni berupa:
- Usia pasien
- Ukuran dan lokasi Atrial Septal Defect (ASD)
- Dampak hemodinamik dari pirau yang terjadi
- Derajat hipertensi pulmonal[1,2,4]
Secara umum, pasien dianjurkan menjalani prosedur elektif penutupan ketika menunjukkan tanda peningkatan beban volume ventrikel kanan yang disertai pirau signifikan secara klinis. Kondisi asimptomatik pada pasien ASD bukan menjadi kontraindikasi dilakukannya terapi intervensi penutupan lebih dini.[2,7]
Pilihan Prosedur Penutupan Defek
Prinsip pendekatan terapi intervensi penutupan yang akan dilakukan adalah invasif minimal, yakni dengan mendahulukan prosedur transkateterisasi atau teknik operasi endoskopi daripada pembedahan terbuka selama klinis pasien memungkinkan.[2] Transkateterisasi dilakukan dengan membuat akses pada vena femoralis yang kemudian dimasuki kateter untuk dapat mencapai daerah defek pada septum interatrial dan melakukan penutupan. Prosedur penutupan ASD melalui transkateterisasi terbukti aman, cost-effective, dan memiliki tingkat keberhasilan hingga 96%.[2,7,13]
Sebuah penelitian yang dilakukan pada 179 pasien ASD tipe ostium sekundum yang berusia di atas 40 tahun melaporkan adanya perbaikan pada keluhan sesak napas, tekanan arteri pulmonal, dan irama jantung setelah dilakukan prosedur penutupan dengan transkateterisasi. Di penelitian lainnya, dilaporkan terjadi tingkat mortalitas dan komplikasi yang lebih rendah pada prosedur penutupan secara transkateterisasi dibandingkan secara pembedahan terbuka. Transkateterisasi perkutan pada ASD lebih unggul dalam hal memperbaiki fungsi atrium dan ventrikel secara keseluruhan dibandingkan metode pembedahan lainnya karena diperkirakan tidak membuat perlukaan langsung pada miokardium atrium yang dapat memicu deformitas dan mengganggu fisiologi jantung.[13,14]
Pemilihan Waktu Melakukan Penutupan
ASD yang signifikan secara hemodinamik perlu ditutup secara efektif segera setelah pasien terdiagnosis. Hingga kini, konsensus yang tersedia tidak menyebutkan batas usia termuda pasien dapat menjalani penutupan ASD. Meski demikian, banyak klinisi melakukan penutupan defek pada anak asimptomatik di usia 3-5 tahun.[6]
Perawatan Pasca Prosedur
Selama 6 bulan setelah penutupan defek ASD perkutan, pasien perlu mendapat aspirin atau clopidogrel. Pemberian antikoagulan diperlukan untuk menurunkan risiko terbentuknya trombus.[1]
Komorbiditas
Adanya komorbiditas perlu dipertimbangkan dalam rencana manajemen pasien dengan ASD.
Aritmia Atrium
Pasien dengan ASD yang defeknya tidak ditutup sebelum usia 25 tahun akan lebih berisiko mengalami atrial fibrilasi. Atrial fibrilasi perlu ditangani sesuai pedoman standar dan disertai dengan penutupan defek.[13]
Kehamilan
Wanita dengan ASD yang tidak disertai komplikasi atau sudah menjalani prosedur penutupan pada umumnya dapat mentoleransi kehamilan dengan baik tanpa komplikasi bermakna. Meski demikian, kehamilan pada wanita yang telah memiliki kondisi komorbiditas atau aritmia atrium akan meningkatkan risiko.
Antikoagulan perlu dipertimbangkan pada pasien yang berisiko tinggi mengalami trombosis vena dan embolisme paradoks. Pada pasien dengan penyakit vaskular paru yang signifikan, misalnya individu dengan sindrom Eisenmenger, kehamilan perlu dihindari karena adanya risiko tinggi mortalitas maternal dan fetus.[13]
Aktivitas Olahraga
ASD akan mempengaruhi performa saat melakukan aktivitas atletik. Efeknya akan bergantung pada keparahan defek:
- Pada pasien dengan volume jantung sisi kanan yang normal, dan tidak ada hipertensi pulmonal, tidak ada kontraindikasi untuk berpartisipasi dalam olahraga apa pun
- Pasien dengan hipertensi pulmonal pada umumnya dapat diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam olahraga intensitas rendah seperti yoga, bowling atau golf
- Pasien dengan penyakit obstruktif vaskular paru yang memiliki sianosis dan pirau kanan-ke-kiri yang besar direkomendasikan untuk menghindari olahraga. Namun, pengecualian dapat dibuat jika pasien dapat mengontrol curah jantung mereka saat berpartisipasi dalam olahraga intensitas rendah seperti yoga, bowling, atau golf
Pasien dengan ASD yang sudah tertutup diizinkan untuk berpartisipasi dalam olahraga dengan ketentuan berikut:
- 3-6 bulan setelah penutupan, pasien dapat berpartisipasi dalam semua olahraga
- Selama periode 3-6 bulan setelah penutupan, pasien dengan hipertensi pulmonal atau aritmia dapat diizinkan untuk berpartisipasi dalam olahraga intensitas rendah seperti yoga, bowling, atau golf[20]