Penatalaksanaan Keracunan Methanol
Penatalaksanaan keracunan methanol atau CH3OH merupakan penatalaksanaan kegawatdaruratan yang harus dimulai secepat mungkin untuk menghindari komplikasi, seperti gangguan penglihatan.[1,2]
Beberapa rekomendasi menyarankan untuk memulai terapi apabila kadar methanol melebihi 20–25 mg/dL pada kondisi asidosis metabolik atau ada bukti kerusakan organ, atau saat konsentrasi methanol mencapai 32 mg/dl tanpa disertai asidosis metabolik. Apabila tidak tersedia pemeriksaan kadar methanol, terapi dimulai ketika kadar bikarbonat <15 mmol/L atau terdapat bukti kerusakan retina.[1,2]
Tata Laksana Kegawatdaruratan
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mempertahankan patensi jalan napas. Pada pasien yang membutuhkan oksigen, diberikan suplementasi oksigen hingga 15 L/menit dengan non rebreathing mask bila perlu.[1,15]
Pada pasien dengan ingesti methanol dan sadar penuh, berikan cairan untuk berkumur dan minum cairan 5 mL/kgBB untuk mendilusi methanol. Pada pasien dengan hipotensi dan tanda hipovolemia, berikan cairan intravena secara hati-hati agar tidak terjadi kelebihan cairan. Pertimbangkan intubasi nasotrakea atau orotrakea pasien yang tidak sadar dengan gangguan respirasi.[1,15]
Indikasi untuk perawatan ruang intensif adalah:
- Kondisi klinis yang buruk
- Asidosis berat
- Rencana memberikan terapi dengan ethanol
- Kebutuhan untuk hemodialisis[1,2,15]
Pemberian arang aktif dan laksatif tidak efektif dalam mengatasi keracunan methanol. Sementara itu, bilas lambung dinilai hanya efektif pada 2 jam awal setelah ingesti karena methanol cepat diserap oleh tubuh. Tindakan ini juga berisiko aspirasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran juga menjadi pertimbangan.[1,15]
Pemberian Inhibitor Enzim Alcohol Dehydrogenase
Sebagai penanganan awal, dapat diberikan inhibitor enzim alcohol dehydrogenase (ADH), yaitu ethanol atau fomepizole.[2]
Fomepizole
Fomepizole harus diberikan pada fase awal apabila dicurigai terjadi keracunan methanol. Fomepizole memiliki afinitas 80.000 kali lebih tinggi dibandingkan dengan methanol dan 8.000 kali dibandingkan ethanol. Fomepizole dapat menurunkan konsentrasi asam format, mengurangi asidosis metabolik, dan memperbaiki klinis pasien.[2,3,4,9]
Cara Pemberian:
Fomepizole diberikan secara intravena dengan dosis loading 15 mg/kgBB selama 30 menit, lalu 10 mg/kgBB setiap 12 jam hingga konsentrasi methanol dibawah 30 mg/dl dengan keseimbangan asam-basa normal.
Apabila dibutuhkan dosis tambahan setelah 4 dosis, pemberian fomepizole ditingkatkan menjadi 15 mg/kgBB setiap 12 jam, karena telah terjadi autoinduksi.[2–4]
Keunggulan Fomepizole:
Tidak seperti pemberian ethanol, pemberian fomepizole tidak memerlukan perawatan intensif, tidak memperburuk intoksikasi, tidak mempengaruhi hemodinamik secara signifikan, dan risiko hipoglikemia yang lebih ringan. Secara umum, fomepizole lebih aman digunakan dibandingkan ethanol, namun lebih mahal dan tidak selalu tersedia.[3,4,9]
Kekurangan Fomepizole:
Kekurangan fomepizole adalah karena menunda metabolisme methanol, waktu paruh memanjang menjadi 54 jam. Hal ini karena methanol hanya dikeluarkan melalui ginjal dan paru-paru. Hal ini meningkatkan waktu rawat dan biaya.[3,4,9]
Ethanol
Seperti fomepizole, ethanol berikatan secara kompetitif dengan enzim tersebut dan mencegah metabolisme methanol dengan afinitas 10–20 kali lebih besar dibandingkan methanol. Konsentrasi ethanol yang direkomendasikan adalah 80–120 mg/dL.[2.4.5,9]
Cara Pemberian:
Ethanol bisa diberikan secara intravena dan oral. Ethanol tersedia dalam konsentrasi 10% dan diberikan secara loading 8 mL/kgBB selama 30–60 menit, diikuti dosis pemeliharaan 1–2 ml/kgBB per jam. Pemberian ethanol harus dilakukan secara kontinu dalam ruangan rawat intensif untuk memantau terapi dan mencegah komplikasi pemberiannya.[2,4,5,9]
Keunggulan Ethanol:
Ethanol lebih mudah tersedia dan lebih murah dibandingkan dengan fomepizole.[3]
Kekurangan Ethanol:
Pemberian ethanol harus disertai pemantauan ketat di ruang intensif karena ethanol memiliki farmakokinetik yang tidak bisa diprediksi dan bisa memperburuk keadaan intoksikasi pasien.[3]
Baik fomepizole maupun ethanol, keduanya sulit untuk diperoleh secara luas. Agen yang mudah didapatkan secara luas adalah sediaan ethanol seperti vodka.[14]
Berikut ini adalah sediaan ethanol sebagai terapi keracunan methanol:
- Ethanol 40-43% (misalnya vodka), diberikan secara oral atau melalui nasogastric tube (NGT)
- 20 ml ethanol 100% (dalam 1 vial) untuk dilarutkan dan diberikan secara infus[14,15]
Dosis pemberian ethanol
- Dosis awal, yaitu 1,8 ml/kgBB cairan ethanol 40–43% (4x30 ml vodka jika BB pasien 70 kg) diberikan secara oral/via NGT atau 8 mL/kgBB ethanol 10% diberikan secara intravena
- Dosis pemeliharaan, yaitu 0,4 ml/kgBB/jam ethanol 40–43% (30 ml vodka setiap jam pada BB pasien 70 kg), diberikan secara oral / via NGT atau 1–2 ml/kgBB/jam ethanol 10% diberikan secara intravena[14,15]
Ethanol 10 % disiapkan dengan melarutkan 100 ml ethanol 100% ke dalam 900 ml dextrose 5%.[14,15]
Hemodialisis
Pada pasien dengan intoksikasi methanol berat (asidosis berat dan kerusakan organ) harus dipertimbangkan tindakan hemodialisis.
Indikasi hemodialisis
Adapun kriteria hemodialisis menurut American Academy of Clinical Toxicology adalah asidosis metabolik dengan pH <7,25, penurunan tanda vital meski sudah dilakukan terapi suportif, konsentrasi methanol serum >50 mg/dL.
Hemodialisis dapat dilakukan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan fomepizole, di mana fomepizole mencegah metabolisme methanol dan hemodialisis mengeluarkan methanol dalam darah.[2,4,9,15]
Waktu eliminasi methanol yang meningkat dengan pemberian fomepizole dapat diturunkan dengan cepat melalui hemodialisis. Eliminasi methanol diperkirakan 200 mL/menit, sehingga waktu paruh menjadi 2 jam. Hal ini menurunkan lama rawat dan secara cepat memperbaiki klinis pasien.
Fomepizole dapat terdialisis bersama dengan methanol, oleh karena itu pemberian fomepizole dipercepat menjadi per 4 jam. Hemodialisis dapat dihentikan apabila kadar methanol <20 mg/dL.[2,4,9,15]
Pemberian Asam Folat dan Bikarbonat
Terapi lain yang bisa diberikan adalah asam folat dan bikarbonat. Asam folat diberikan sebagai terapi ajuvan yang dapat mempercepat oksidasi asam format menjadi karbon dioksida dan air, sehingga dapat mengurangi derajat kerusakan mata.
Pemberian asam folat sebaiknya dilakukan dalam 10 jam setelah ingesti. Tujuan dari pemberian bikarbonat adalah memperbaiki asidosis metabolik dan mencegah pembentukan asam format. Bikarbonat diberikan apabila kadar bikarbonat serum <18 mEq/L.[1,3,15]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli