Epidemiologi Keracunan Sianida
Data epidemiologi keracunan sianida dari Annual Report of the American Association of Poison Control Centers’ National Poison Data System (NPDS) menunjukkan bahwa mortalitasnya mencapai 2 dari 283 kasus. Angka ini mengeksklusi paparan sianida dari insektisida.
Secara epidemiologi, keracunan sianida banyak ditemukan pada paparan asap kebakaran pada negara industri. Kejadian bunuh diri dan paparan sianida lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki usia dewasa.[2,18]
Global
Menurut data Toxic Exposure Surveillance System, terdapat 3.165 paparan sianida kepada manusia, dengan 2,5% diantaranya mematikan. American Association of Poison Control Centers tahun 2018 melaporkan 185 paparan terhadap sianida dengan 17 kasus paparan yang disengaja.
Studi oleh Bebarta et al. menunjukkan bahwa 9% dari kasus keracunan sianida mengalami henti jantung namun berhasil diselamatkan. Sebanyak 75% kasus diantaranya tidak mendapatkan antidot sianida. Kasus lebih banyak terjadi melalui rute ingesti (84,3%) dibandingkan dengan inhalasi (7,8%).[1,5,7,13]
Indonesia
Hingga saat ini belum ada data pasti mengenai keracunan sianida di Indonesia.
Mortalitas
Keracunan sianida dapat menyebabkan kondisi yang fatal dalam hitungan detik hingga menit pada paparan secara inhalasi atau intravena. Secara ingesti, fatal dalam hitungan menit. Sedangkan melalui kulit fatal dalam hitungan menit hingga jam.[1]
Sianida diduga berperan dalam morbiditas dan mortalitas akibat inhalasi asap. Data dari Polandia tahun 2017 menunjukkan sekitar 35% korban kebakaran terdeteksi memiliki kadar sianida yang toksik dalam darah. Di Korea Selatan, ada 255 kematian akibat kasus keracunan sianida, dengan predominan kasus bunuh diri.[1,7,12]
Menurut data Annual Report of the American Association of Poison Control Centers’ National Poison Data System (NPDS), sebanyak 2 dari 283 kasus keracunan sianida berakhir pada kematian. Akan tetapi, angka ini mengeksklusi paparan dari insektisida, dengan angka kejadian 2 dan mortalitas 0. Hal ini karena didapatkannya penanganan segera dari fasilitas kesehatan.[17]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli