Diagnosis Cystic Fibrosis
Diagnosis cystic fibrosis dapat ditegakkan dengan sweat test untuk mengetahui kadar klorida keringat dan DNA test untuk mengidentifikasi mutasi gen. Pencitraan seperti rontgen toraks atau foto polos abdomen juga dapat dilakukan bila perlu. Gejala pasien mungkin tidak spesifik, seperti gejala respirasi, pencernaan, dan genitourinaria. Oleh sebab itu, pemeriksaan penunjang berperan penting untuk membantu diagnosis.[1,3]
Anamnesis
Keluhan pasien bervariasi sesuai usia. Neonatus bisa mengalami ileus mekonium atau gejala lain seperti edema anasarka. Pasien usia <1 tahun dapat datang dengan mengi, batuk, dan/atau infeksi saluran pernapasan dan pneumonia berulang. Keluhan saluran pencernaan pada bayi bisa berupa steatorrhea, gagal tumbuh, atau keduanya.[1,3,4]
Pasien yang didiagnosis pada usia dewasa cenderung memiliki insufisiensi pankreas dan sering mengalami keluhan batuk kronis dengan dahak produktif. Gejala sistem pernapasan yang umum adalah batuk persisten dengan produksi dahak berlebihan, infeksi saluran napas berulang, bronkiektasis, kesulitan bernapas, batuk berdarah, sinusitis berulang, dan polip hidung.[1,3,4]
Gejala sistem pencernaan dapat berupa malnutrisi akibat kekurangan enzim pankreas yang berfungsi untuk membantu absorpsi vitamin, karbohidrat, protein, dan lemak. Keluhan lain dapat berupa nyeri dan ketidaknyamanan pada abdomen karena terlalu banyak gas dalam usus, disfungsi intestinal, diare atau konstipasi, dehidrasi, dispepsia, dan tinja berlemak (steatorrhea).[1,3,4]
Pasien juga bisa mengalami beberapa gejala genitourinaria seperti testis undescended, hydrocele, amenorrhea, dan gangguan perkembangan seksual sekunder.[1,3,4]
Selain gejala yang dialami pasien saat ini, dokter juga perlu menanyakan riwayat pada keluarga. Hal ini dikarenakan cystic fibrosis merupakan penyakit herediter. Secara lebih sederhana, parameter-parameter yang perlu diwaspadai sebagai indikasi cystic fibrosis terlampir pada tabel di bawah.[3]
Tabel 1. Parameter yang Mengindikasikan Kecurigaan Cystic Fibrosis
No. | Kriteria |
1 | Adanya saudara dengan cystic fibrosis |
2 | Hasil skrining bayi positif |
3 | Gejala klinis sesuai dengan cystic fibrosis dalam ≥1 sistem organ |
4 | Penyakit sinopulmonari kronis |
5 | Kelainan gastrointestinal atau nutrisi |
6 | Sindrom kehilangan garam |
7 | Azoospermia obstruktif |
Sumber: dr. Qorry Amanda, 2024.
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik pada pasien cystic fibrosis dapat bervariasi tergantung pada sistem organ yang terlibat dan progresivitas penyakit. Pada hidung, dapat muncul tanda seperti rhinitis dan polip hidung. Temuan sistem pernapasan dapat berupa tachypnea, kesulitan bernapas dengan retraksi, wheezing, peningkatan diameter anteroposterior dada, clubbing fingers karena kekurangan oksigen yang kronis, sianosis, dan perkusi hyper-resonant.[1,3]
Temuan saluran pencernaan bisa berupa distensi abdomen, hepatosplenomegali, nyeri tekan epigastrium atau hipokondrium kanan (kemungkinan batu empedu), dan cheilosis akibat defisiensi vitamin A dan B kompleks. Pasien juga mungkin mengalami kondisi rectal prolapse.[1,3]
Temuan pada sistem genitourinaria dapat berupa testis undescended atau hydrocele. Dokter juga mungkin menemukan tanda-tanda keterlambatan perkembangan seksual sekunder pada pasien.[1,3]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding cystic fibrosis adalah asma, bronkiolitis, bronkiektasis, dan sinusitis, serta penyakit celiac.[3,16-19]
Asma
Asma memiliki keluhan yang sekilas mirip dengan cystic fibrosis, yaitu berupa batuk dan wheezing. Namun, asma merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap alergen yang memiliki patofisiologi berbeda. Dokter dapat menanyakan riwayat paparan terhadap alergen tertentu yang memicu gejala. Rontgen toraks dapat dilakukan karena kadang asma dan cystic fibrosis dapat terjadi bersama.[1,16]
Bronkiolitis
Bronkiolitis biasanya menunjukkan gejala seperti demam, mengi, dan peningkatan laju pernapasan pada anak usia 2–23 bulan. Hal ini berbeda dengan cystic fibrosis yang dapat menyebabkan gejala bronkopulmoner kronis, infeksi pernapasan berulang, dan malnutrisi.[1,17]
Bronkiektasis
Meskipun bronkiektasis dan cystic fibrosis dapat menunjukkan gejala batuk kronis dan produksi dahak, cystic fibrosis dikaitkan dengan spektrum gejala yang lebih luas, seperti kekurangan enzim pankreas, malabsorpsi, dan dan gangguan saluran pencernaan yang umumnya tidak terkait dengan bronkiektasis.[1,18]
Cystic fibrosis dapat menyebabkan gagal tumbuh dan infeksi pernapasan berulang sejak usia anak-anak. Bronkiektasis yang tidak disertai cystic fibrosis mungkin muncul lebih lanjut dalam hidup dan seringkali terkait dengan riwayat infeksi pernapasan berat atau peristiwa aspirasi.[1,18]
Sinusitis
Cystic fibrosis juga dapat menunjukkan gejala sinusitis tetapi cystic fibrosis melibatkan gejala pernapasan kronis, infeksi pernapasan berulang, dan penyakit paru obstruktif. Cystic fibrosis juga dapat menunjukkan manifestasi saluran cerna seperti kekurangan enzim pankreas dan malabsorpsi, yang tidak ada pada kasus sinusitis saja.[1,19]
Penyakit Celiac
Penyakit celiac menunjukkan gejala saluran pencernaan yang mungkin mirip dengan cystic fibrosis. Namun, pasien dengan penyakit celiac akan membaik bila menghindari makanan yang mengandung gluten. Biopsi usus akan menegakkan diagnosis.[3]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama untuk diagnosis cystic fibrosis adalah sweat test dan DNA test. Pemeriksaan penunjang tambahan bisa berupa pencitraan maupun evaluasi fungsi paru.[1,3]
Sweat Test
Sweat chloride test (SCT) dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menganalisis komposisi keringat dengan metode iontophoresis pilocarpine. Nilai normal konsentrasi ion klorida rata-rata adalah <30 mEq/L, sedangkan nilai >60 mEq/L diduga kuat cystic fibrosis. Dugaan cystic fibrosis akan semakin kuat bila hasil tes >60 mEq/L dalam dua kali pemeriksaan. Konsentrasi 30–60 mEq/L diduga sebagai heterozygous carriers yang tidak dapat diidentifikasi secara akurat melalui SCT.[1,3]
DNA Test
Pemeriksaan DNA biasanya dilakukan setelah sweat test menunjukkan hasil positif atau hasil meragukan. Pemeriksaan DNA dapat mendeteksi carrier dengan akurasi sangat baik. Bila hasil tes DNA menemukan ≤1 mutasi gen cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR), lakukan expanded DNA analysis. Namun, bila ada ≥2 mutasi CFTR, diagnosis cystic fibrosis dapat dikonfirmasi.[1]
Uji Imunoreaktif Tripsinogen (IRT)
Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk membantu diagnosis cystic fibrosis pada pasien bayi yang lahir dengan ileus mekonium. Pemantauan IRT bisa memperkirakan derajat keparahan cystic fibrosis pada pasien neonatus.[1]
Rontgen Toraks, Sinus, Abdomen
Pada rontgen toraks pasien dengan cystic fibrosis, dokter bisa menemukan hiperinflasi, bronkiektasis, abses, atau atelektasis. Pada rontgen sinus pasien cystic fibrosis, dokter dapat menemukan panopakisasi sinus paranasal. Sementara itu, foto polos abdomen terutama dilakukan pada pasien neonatus, di mana dokter mungkin akan menemukan gambaran ileus mekonium. Khusus untuk pasien neonatus, kecurigaan cystic fibrosis juga bisa didapatkan saat melakukan USG antenatal.[1,3]
Spirometry
Keterlibatan saluran napas bagian luar pada pasien cystic fibrosis menunjukkan adanya gangguan aliran udara dengan penyumbatan dan pembesaran paru-paru (hiperinflasi). Meskipun forced expiratory volume (FEV1) yang normal mungkin terjadi di tahap awal penyakit, penurunan aliran udara saat ekspirasi paksa (forced expiratory flow atau FEF 25–75) dapat menunjukkan terjadinya masalah pada saluran napas kecil.[1,3]
Perkembangan penyakit dapat dipantau melalui perubahan FEV1, di mana perubahan >13% bisa mencerminkan variasi yang sebenarnya seiring waktu. Peningkatan tekanan udara dapat menghasilkan rasio residual volume terhadap total lung capacity (RV/TLC) yang lebih tinggi. Pada kasus penyakit yang sudah lanjut, perubahan besar pada paru dengan fibrosis menciptakan perubahan restriktif dengan penurunan TLC dan kapasitas vital.[1,3]
Uji Mikrobiologi Sputum
Bakteri yang umum ditemukan dalam dahak pasien cystic fibrosis adalah Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Burkholderia cepacia, Escherichia coli, dan Klebsiella pneumoniae. Hasil pemeriksaan ini lebih ditujukan untuk perencanaan terapi daripada penegakkan diagnosis awal.[1,3]
Penulisan pertama oleh: dr. Eric Hartono Tedyanto