Epidemiologi Ikterus Neonatorum Fisiologis
Epidemiologi ikterus neonatorum fisiologi berbeda di setiap tempat. Ras dan letak geografi berkorelasi dengan insidensi ikterus neonatorum fisiologis.[10,11,13]
Global
Studi yang telah dilakukan menyatakan bahwa perbedaan etnis dan derajat keparahan ikterus neonatorum memiliki kaitan dengan variasi genetik yang mengatur metabolisme bilirubin.[3]
Epidemiologi ikterus neonatorum fisiologis secara global pernah diteliti oleh Antonio et al terhadap 60 bayi baru lahir (20 bayi di Italia, 20 bayi di Amerika Selatan, 20 bayi di Asia Tenggara). Semua bayi berasal dari kondisi kehamilan normal, dan lahir secara pervaginam. Tidak terdapat inkompatibilitas ABO dan Rh. Kadar bilirubin serum total (TSB) harian yang diperiksa dengan hasil lima bayi baru lahir Italia (25%), enam bayi pada kelompok Asia Tenggara (30%), dan enam bayi pada kelompok Amerika Selatan (30%), mengalami hiperbilirubinemia, yang didefinisikan sebagai kadar bilirubin total ≥12 mg/dl.[11]
Penelitian juga dilakukan terhadap ras kulit hitam, sebanyak 96 pasangan ibu-bayi dilibatkan dalam penelitian ini. Semua bayi dilahirkan secara pervaginam dan tidak ada faktor risiko lainnya seperti prematur, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), ibu dalam keadaan sehat, tidak ada riwayat penyakit maupun infeksi selama kehamilan hingga persalinan. Prevalensi penyakit kuning neonatal adalah 55,2%. Namun, hanya 10% bayi kulit hitam yang didiagnosis dengan ikterus muncul secara klinis.[13]
Indonesia
Epidemiologi ikterus neonatorum fisiologis di Indonesia berbeda di setiap tempat. Dari Bangsal Perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi periode 1 Mei 2013 hingga 1 Juli 2013, didapatkan sebanyak 49 (13,2%) mengalami ikterik dari jumlah total 370 neonatus yang dirawat. Dari jumlah neonatus yang ikterik tersebut, 43 (11,6%) memenuhi kriteria inklusi dan diambil menjadi sampel. Sebanyak 24 (55,8%) merupakan ikterus fisiologis dan 19 (44,2%) merupakan ikterus non-fisiologis.[14]
Dari penelitian yang dilakukan Wayan et al dengan studi cross-sectional retrospective, diperoleh sebanyak 94 neonatus dengan hiperbilirubinemia yang diterapi dengan fototerapi di RSUD Sanglah Bali selama tahun 2017. Hasil penelitian terhadap etiologi hiperbilirubinemia adalah 33 kasus (25,8%) karena breastfeeding jaundice, 23 (18,7%) prematuritas, 13 (10,6%) inkompatibilitas ABO, 11 (8,9%) breast milk jaundice, 6 (4,9%) gastrointestinal malformation, 5 (4,1%) defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD), dan 3 (2,4%) sepsis. Yang termasuk dalam etiologi ikterus neonatorum fisiologis adalah breastfeeding jaundice (25.8%) dan prematuritas (18.7%).[15]
Mortalitas
Mortalitas akibat ikterus neonatorum fisiologis secara pasti tidak diketahui. Jenis ikterus neonatorum fisiologis insidensinya cukup banyak, tetapi jarang memiliki konsekuensi yang serius. Kematian akibat ikterus neonatal fisiologis seharusnya tidak terjadi.[3,16]
Direvisi oleh: dr. Meva Nareza Trianita