Penatalaksanaan Abses Otak
Penatalaksanaan abses otak bertujuan untuk menurunkan efek desak ruang, peningkatan intrakranial, serta mengurangi infeksi yang terjadi. Penatalaksanaan abses otak meliputi kombinasi pemberian medikamentosa dan pembedahan. Penatalaksanaan terhadap fokus infeksi primer abses di luar otak seperti sinusitis, otitis media, dan karies gigi juga perlu dilakukan kemudian.[4,6]
Medikamentosa
Medikamentosa abses otak meliputi pemberian antimikroba berupa antibiotik, antifungal, atau antiprotozoa. Medikamentosa dapat diberikan terlebih dahulu pada abses yang lokasinya dalam, ukuran <2 cm, atau abses otak yang disertai gejala meningitis.[4]
Antibiotik
Antibiotik merupakan terapi lini pertama yang diberikan pada pasien abses otak. Prinsip pemberian antibiotik adalah secara intravena, spektrum luas, dan dosis tinggi. Antibiotik empiris untuk abses otak adalah cefotaxime atau ceftriaxone + metronidazole. Terapi alternatifnya adalah meropenem dengan atau tanpa vancomycin.
Pasien abses otak dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dapat diberikan cefotaxime atau ceftriaxone + metronidazole + pyrimethamine + sulfadiazine. Bisa juga ditambahkan dengan regimen obat antituberkulosis, yaitu rifampicin, isoniazid, pirazinamid, ethambutol bila terbukti ada infeksi tuberkulosis.[6,12]
Pasien abses otak dengan riwayat transplantasi dapat diberikan cefotaxime atau ceftriaxone + metronidazole + voriconazole + trimethoprim-sulfamethoxazole atau sulfadiazine.[6,12]
Rekomendasi regimen antimikroba berdasarkan dari mikroorganisme penyebab abses adalah sebagai berikut:
- Bakteri gram positif, misalnya Streptococcus: sefalosporin generasi III seperti cefotaxime, ceftriaxone, atau penicillin G
-
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermis akibat inokulasi langsung: vancomycin, linezolid
- Infeksi jamur Candida, Cryptococcus: amphotericin B
Aspergillus, Pseudallescheria boydii: voriconazole
Toxoplasma gondii: pyrimethamine dan sulfadiazine[4]
Pada Tabel 1, terdapat rangkuman antimikroba dan dosis yang dianjurkan untuk penatalaksanaan abses otak.
Tabel 1. Antimikroba untuk Penatalaksanaan Abses Otak
Obat | Dosis & Rute Pemberian |
Cefotaxime | 2 gram intravena (IV) tiap 4-6 jam |
Ceftriaxone | 2 gram IV setiap 12 jam |
Ceftazidime | 2 gram IV setiap 8 jam |
Metronidazole
| 500 mg IV setiap 6-8 jam |
Meropenem
| 2 gram IV setiap 8 jam |
Vancomycin
| 15 mg/ kgBB IV setiap 8-12 jam |
Penicillin G
| 2-4 juta unit IV setiap 4 jam atau diberikan secara kontinyu via infus dengan dosis 12-24 juta unit/ hari |
| 2 gram IV tiap 4 jam |
Linezolid | 600 mg IV tiap 12 jam |
Voriconazole
| loading dose 6 mg/kgBB untuk 2 dosis dilanjutkan dengan dosis maintenance 4 mg/kgBB IV tiap 12 jam |
Amphotericin B (lipid complex)
| 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam |
Amfoterisin B deoksikolat
| 0,6-1 mg/kgBB IV setiap 24 jam dengan dosis maksimal 1,5 mg/kgBB untuk abses otak dengan etiologi aspergillosis atau mucormycosis |
Pyrimethamine
| 25-75 mg per oral setiap 24 jam |
Sulfadiazine
| 1-1,5 gram per oral setiap 6 jam |
Rifampicin
| 600 mg per oral tiap 24 jam |
Isoniazid
| 300 mg per oral tiap 24 jam
|
| 15-30 mg/kgBB per oral tiap 24 jam
|
Ethambutol | 15 mg/kgBB per oral tiap 24 jam [6]
|
Pemberian antibiotik atau antifungal intravena dilakukan selama 4-8 minggu yang kemudian diganti menjadi obat per oral selama 4-8 minggu untuk memberikan penyembuhan yang sempurna serta mencegah terjadinya relaps.[12]
Kontrol Tekanan Intrakranial dan Edema
Selain pemberian antimikroba, edema dan peningkatan tekanan intrakranial pada abses otak juga perlu ditangani. Medikamentosa yang dapat diberikan berupa mannitol atau salin hipertonik intravena dan kortikosteroid seperti dexamethasone 10 mg IV dilanjutkan dengan dosis 4 mg IV tiap 6 jam sampai ada perbaikan klinis.
Dosis kortikosteroid dapat diturunkan setiap 2-4 hari dan dihentikan setelah 5-7 hari. Bila medikamentosa tidak memberikan perubahan klinis, perlu dilakukan tindakan aspirasi abses atau kraniotomi untuk menurunkan tekanan intrakranial.[3,4]
Penanganan Kejang
Antikonvulsan diperlukan untuk penatalaksanaan kejang pada pasien abses otak. Untuk terminasi kejang dapat menggunakan diazepam, phenytoin, lorazepam, atau midazolam intravena. Pemberian antikonvulsan rumatan juga disarankan sebagai profilaksis kejang.
Lini pertama antikonvulsan yang dapat digunakan adalah phenytoin (1.000 mg dosis tunggal hari pertama diikuti 300-600 mg/hari dibagi 3 dosis), carbamazepine (200-400 mg, 2 kali sehari), dan asam valproat (15 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis pemberian).
Beberapa sumber menyebutkan antikonvulsan rumatan diteruskan hingga minimal 1-2 tahun bebas kejang. Namun, banyak juga yang hanya diberikan sampai 3 bulan bebas kejang dan dapat dihentikan apabila tidak ada tanda epileptogenik pada pemeriksaan elektroensefalogram.[1,3,12]
Pembedahan
Pembedahan disarankan untuk abses otak yang memiliki diameter >2,5 cm. Penatalaksanaan menggunakan medikamentosa saja memiliki angka kegagalan terapi lebih tinggi dibandingkan jika dikombinasikan dengan pembedahan. Pembedahan abses otak meliputi tindakan burr hole dan aspirasi abses atau kraniotomi yang diikuti tindakan eksisi abses. Pemilihan metode pembedahan didasarkan pada keahlian operator dan juga keadaan umum pasien.[6]
Penelitian oleh Lange et al, menunjukkan bahwa pembedahan pada abses otak menunjukkan hasil yang sangat baik dan dianjurkan untuk menjadi pilihan tetap dari penatalaksanaan abses otak selain medikamentosa dan drainase stereotaktik.[17]
Kraniotomi dapat dikombinasi dengan teknologi stereotactic frameless, yakni teknologi komputer yang memodifikasi hasil MRI atau CT-scan guna mendapatkan gambaran 3 dimensi untuk menentukan lokasi abses dengan tepat terutama pada abses yang lokasinya dalam.
Kraniotomi stereotaktik dapat mengurangi ukuran insisi kulit, menentukan lokasi yang tepat untuk kraniotomi, dan meminimalisasi kerusakan jaringan otak yang normal. Gambaran 3 dimensi otak yang dihasilkan membantu operator untuk menghindari jaringan otak yang sehat. Hal ini penting agar fungsi penglihatan, bicara, dan pergerakan pasien setelah pembedahan tetap normal.[6,17]
Teknologi stereotaktik juga dapat membantu prosedur aspirasi abses, dengan ukuran lesi minimal 1 cm. Aspirasi stereotaktik dilakukan untuk keperluan diagnostik dan dekompresi. Jika hasil pencitraan tidak menunjukkan gambaran kavitas di bagian sentral abses, tindakan aspirasi harus dipertimbangkan lagi dan pasien dapat diberikan antibiotik empiris kemudian hasil pencitraan dievaluasi ulang.[6]
Bila tidak tersedia alat stereotaktik, ultrasonografi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat navigasi pada abses yang lokasinya tidak dalam. Ultrasonografi dilakukan melalui lubang burr hole atau kraniotomi.[6]
Drainase abses berkelanjutan dapat dilakukan dengan pemasangan kateter ke dalam kavitas abses. Beberapa ahli menganjurkan penyuntikan antimikroba langsung ke dalam kavitas abses melalui kateter tersebut segera pasca pembedahan. Pemasangan kateter dan pemberian obat via kateter tersebut tidak dianjurkan untuk dilakukan secara rutin karena belum ada cukup data yang membuktikan risiko dan manfaatnya.[6]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja