Diagnosis Multiple Sclerosis
Diagnosis multiple sclerosis adalah berdasarkan anamnesis gejala klinis dan pemeriksaan fisik neurologis. Tidak ada pemeriksaan penunjang ataupun penanda spesifik untuk mendiagnosis multiple sclerosis. Kriteria McDonald digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. [1,2]
Pemeriksaan penunjang MRI merupakan pemeriksaan radiologi pilihan untuk membantu menentukan lesi multiple sclerosis. MRI dengan dan tanpa kontras dapat membedakan lesi aktif dan lesi lama multiple sclerosis. Kriteria diagnosis multiple sclerosis dikembangkan untuk mendapatkan batasan yang jelas mengenai deskripsi lesi MRI disseminated in space and time dan melakukan eksklusi penyakit lain yang memiliki gejala mirip multiple sclerosis.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pungsi lumbal untuk memeriksa cairan serebrospinal. Analisis cairan serebrospinal pasien multiple sclerosis dapat menemukan cincin oligoklonal yang tidak ditemukan pada kondisi normal. Pemeriksaan penunjang elektrofisiologi seperti visual evoked potential dan somatosensory evoked potentials tidak rutin dilakukan. [1,4]
Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan gangguan sensorik terutama di awal perjalanan penyakit, gangguan motorik, gangguan berkemih, gangguan pencernaan, disfungsi seksual, rasa letih yang berlebihan, nyeri, gangguan kognitif, gangguan tidur, atau gangguan penglihatan yang hilang timbul. Keluhan yang sering disampaikan pasien adalah rasa kesemutan atau baal pada tungkai bawah unilateral menjalar ke tungkai sisi satunya kemudian ke daerah lain seperti panggul, perut, dan dada. [1,2]
Gejala-gejala tersebut bertahan lebih dari 24 jam dan dapat mengalami remisi setelah beberapa minggu. Akibatnya, pasien jarang memeriksakan diri karena keluhan dapat hilang tanpa intervensi apapun. Gejala-gejala multiple sclerosis yang dirasakan oleh pasien memberat saat berada di lingkungan yang panas (fenomena Uthoff). Gangguan sensorik yang tidak mengalami penyembuhan secara sempurna umumnya berubah menjadi nyeri neuropatik kronis. [1,2,9]
Relaps atau eksaserbasi akut adalah onset baru atau perburukan gejala neurologis dengan durasi >24 jam. Relaps multiple sclerosis terjadi tanpa disertai demam dan tanda-tanda infeksi. Gejala eksaserbasi akut umumnya mengalami perbaikan dalam 24-48 jam, kemudian mengalami plateau selama beberapa minggu, dan mengalami penyembuhan (remisi) yang bervariasi setelah beberapa bulan. Eksaserbasi akut tersebut tidak disebabkan oleh demam, infeksi, atau penyakit penyerta lain. [4,16]
Berdasarkan perjalanan gejala klinis penyakitnya multiple sclerosis dapat dibedakan menjadi 4 subtipe yakni:
Multiple Sclerosis Relapsing-Remitting
Multiple sclerosis relapsing-remitting merupakan tipe yang paling sering ditemukan (85%). Multiple sclerosis relapsing-remitting ditandai dengan eksaserbasi atau relaps gejala yang kemudian mengalami perbaikan dan remisi (gejala klinis hilang). Relaps terjadi akibat proses migrasi sel T, sel B, dan makrofag dari sirkulasi perifer ke sistem saraf pusat (SSP) yang memicu timbulnya inflamasi di SSP. [3]
Multiple Sclerosis Progresif Sekunder
Multiple sclerosis progresif sekunder dapat terjadi pada pasien tipe relapsing-remitting. Hampir 65% pasien multiple relapsing-remitting akan berkembang menjadi progresif sekunder. Pada setiap periode eksaserbasi, gejala klinis yang dialami pasien semakin memberat dengan periode remisi yang semakin singkat atau tidak terjadi remisi sama sekali. [3]
Multiple Sclerosis Progresif Primer
Multiple sclerosis progresif primer (10-15%) mengalami gejala klinis yang secara bertahap memberat sejak onset pertama kali. Pasien multiple sclerosis progresif primer tidak mengalami relaps ataupun remisi. Pasien multiple sclerosis progresif primer dapat mengalami periode plateau yang mana gejala klinis yang dialami stabil tidak memberat untuk periode waktu tertentu. Tipe multiple sclerosis ini umumnya resisten terhadap pengobatan-pengobatan yang tersedia. [4,16,17]
Multiple Sclerosis Progressive-Relapsing
Multiple sclerosis progressive-relapsing adalah tipe multiple sclerosis yang paling jarang ditemukan (<5%). Gejala klinis multiple sclerosis tipe ini secara progresif memberat dengan eksaserbasi atau relaps yang intermiten. Pasien tidak mengalami remisi sama sekali. [16,17]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan neurologis komprehensif yang meliputi pemeriksaan refleks, koordinasi, fungsi bulbar, fungsi penglihatan, gait, dan fungsi kognitif perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita multiple sclerosis. Pada pemeriksaan fisik dan neurologis multiple sclerosis dapat ditemukan tanda berikut :
- Spastisitas terutama di daerah tungkai bawah yang sifatnya sedang hingga berat
- Penurunan sensorik terutama terhadap rangsangan proprioseptif dan getaran
- Kelemahan anggota tubuh
- Refleks yang meningkat
- Klonus daerah mata kaki
- Koordinasi pergerakan ekstremitas yang buruk (ataxia)
- Gangguan penglihatan berupa diplopia atau optik neuritis
- Gangguan gait yang bisa diamati dari pemeriksaan tandem walking.
- Tanda Lhermitte, yakni sensasi tersetrum yang menjalar dari bagian punggung ke kedua tungkai bawah saat leher difleksikan, dapat ditemukan pada multiple sclerosis dengan lesi di medula [2,18]
Optik neuritis dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan penurunan fungsi persepsi warna (desaturasi warna merah), defek pupil aferen, diplopia, dan gerakan abnormal mata (internuclear ophthalmoplegia atau INO). Internuclear ophthalmoplegia tersebut dapat timbul akibat demyelinasi yang terjadi pada fasciculus longitudinal medial dan menimbulkan gejala diplopia pada pasien. Dari pemeriksaan gerakan bola mata dapat ditemukan gangguan gerakan mata horizontal atau vertikal, INO bilateral atau monokular, eksotropia paralitik pontine. Nistagmus dapat terjadi pada pasien multiple sclerosis dan menyebabkan keluhan oscillopsia yaitu melihat objek yang diam seperti bergetar atau bergerak-gerak. [1,2]
Diagnosis Banding
Multiple sclerosis memiliki banyak sekali diagnosis banding karena gejala klinis neurologis yang mirip dengan penyakit-penyakit lain. Beberapa diagnosis banding multiple sclerosis adalah sebagai berikut :
Kelainan Inflamasi Demyelinasi Idiopatik
Beberapa kelainan inflamasi demyelinasi idiopatik seperti acute disseminated encephalomyelitis, penyakit Schilder, sklerosis konsentrik Balo, dan neuromyelitis optik dapat memberikan gejala menyerupai multiple sclerosis. Pemeriksaan kadar antibodi anti-MOG (myelin-oligodendrocyte glycoprotein) yang meningkat tinggi, penemuan antibodi anti-aquaporin-4 (NMO-IgG), dan MRI yang khas dapat membedakan penyakit-penyakit di atas dengan multiple sclerosis. [4]
Penyakit Inflamasi Non-demyelinating Idiopatik
Penyakit inflamasi non-demyelinating idiopatik seperti penyakit Behcet, lupus eritematosus sistemik, sindroma Sjogren, sindroma paraneoplastik neurologik, sarkoidosis, dan granulomatosus Wegener dapat menimbulkan kelainan neurologis berupa myelopati, optik neuropati, kejang, hemiparesis, gangguan kognitif seperti pada multiple sclerosis. Pemeriksaan penunjang seperti analisis cairan serebrospinal, MRI, biopsi kulit, atau pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi dapat digunakan untuk membedakan dengan multiple sclerosis. [4]
Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi seperti HTLV-1 associated myelitis, infeksi HIV dengan keterlibatan SSP, dan neurosifilis dapat memberikan gejala myelitis atau myelopati yang serupa dengan multiple sclerosis. Pemeriksaan darah dan cairan serebrospinal seperti anti HIV, VDRL (venereal disease research laboratory), TPHA (Treponema pallidum haemagglutination assay), antibodi HTLV-1, RPR (rapid plasma reagin), dan FTA-ABS (fluorescent treponemal antibody absorption) dapat membantu membedakan dengan multiple sclerosis. [1,4]
Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik seperti adrenoleukodistrofi dapat menyebabkan mielopati dan demyelinasi pada SSP. Berbeda dengan multiple sclerosis, onset penyakit adrenoleukodistrofi terjadi pada usia anak-anak. Selain pemeriksaan MRI untuk membedakan gambaran lesi, pemeriksaan metabolik seperti peningkatan jumlah asam lemak rantai panjang dapat membantu membedakan dengan multiple sclerosis. [1,4]
Neuropati Optik Leber Herediter (LHON) dapat memberikan gejala gangguan penglihatan dengan relaps seperti pada multiple sclerosis. Namun, LHON lebih sering pada laki-laki dan bilateral. Lesi pada MRI biasanya terbatas pada kiasma optik dan jarang sekali ditemukan lesi pada parenkim otak. Pada pemeriksaan fluorescein angiografi dapat ditemukan vaskulitis tanpa tanda kebocoran yang khas LHON.
Defisiensi vitamin B12 kronis dapat menyebabkan subacute combined degeneration (SCD). Gejala neuropati perifer dominan pada SCD, sedangkan pada multiple sclerosis jarang ditemukan. Pada MRI dapat ditemukan lesi penyangatan dengan kontras di area kolumna posterior medula spinalis. [4]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang primer untuk multiple sclerosis meliputi pemeriksaan darah, magnetic resonance imaging (MRI), dan analisis cairan serebrospinal dari pungsi lumbal. Pada pasien dengan tanda neuritis optik pada pemeriksaan perlu dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan yakni visual evoked potential (VEP) dan optic coherence tomography (OCT). [4]
Magnetic Resonance Imaging
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk diagnosis multiple sclerosis. Jenis MRI yang digunakan terutama T2-weighted, T1-weighted pre dan pasca kontras gadolinium, fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR), short-au inversion recovery (STIR) dengan kekuatan area magnetik 1,5 T atau lebih. MRI medula spinalis dilakukan apabila gejala klinis mengarah ke kecurigaan lesi pada area tersebut atau bila MRI otak tidak khas. Selain untuk membantu diagnosis, MRI juga dilakukan berkala untuk pemantauan dan evaluasi terapi. [20,21]
Lesi multiple sclerosis berupa lesi fokal hiperintens pada T2-weighted (dianjurkan T2-FLAIR 3D). Lesi harus berukuran minimal 3 mm dan tampak pada minimal 2 potongan berurutan untuk dikategorikan sebagai lesi multiple sclerosis. Namun, lesi dengan ukuran < 3 mm yang terletak di dasar ventrikel empat perlu dicurigai pula sebagai lesi multiple sclerosis.
Lesi pada T1-weighted tampak hipointens, penyangatan lesi (menjadi hiperintens) dengan pemberian kontras gadolinium terutama pada lesi multiple sclerosis yang berusia 2-8 minggu. Lesi yang menyangat berukuran ≥3 mm dengan area hiperintens yang tegas dan penyangatan timbul minimal 5 menit setelah pemberian kontras. Pemeriksaan MRI dengan kontras ini dapat digunakan untuk membedakan lesi baru dengan lesi lama. Lesi yang mengalami penyangatan >3 bulan perlu dicurigai sebagai lesi non multiple sclerosis. [22]
Follow up MRI dilakukan pada pasien dengan CIS (clinically isolated syndrome) dan atau yang dicurigai multiple sclerosis untuk melihat adanya dissemination in time dengan selang waktu 6-12 bulan untuk CIS risiko tinggi (≥2 lesi pada MRI pertama) dan 12-24 bulan untuk CIS risiko rendah (gambaran MRI curiga multiple sclerosis namun tidak ada gejala klinis dan atau gambaran MRI yang normal pada pasien dengan gejala klinis multiple sclerosis). [21]
Analisis Cairan Serebrospinal
Analisis cairan serebrospinal melalui pungsi lumbal dilakukan apabila hasil pemeriksaan MRI tidak tersedia atau bila hasil pemeriksaan MRI tidak khas multiple sclerosis. Melalui analisis cairan serebrospinal dapat ditemukan cincin oligoklonal dan peningkatan imunoglobulin G pada pasien multiple sclerosis. [20]
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengeksklusi kemungkinan penyakit lain yang memiliki gejala serupa dengan multiple sclerosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati dan ginjal, c-reactive protein (CRP), fungsi tiroid, profil lipid, serologi virus (HbsAg, anti Hbs, anti HCV, anti HIV), VDRL, dan ANA. [4]
Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi multiple sclerosis kebanyakan dilakukan post mortem. Hasil pemeriksaan histopatologi menggunakan pewarnaan haemotoxylin dan eosin menunjukkan plak multiple sclerosis tampak lebih pucat (keabuan atau merah muda) dengan tekstur lebih padat dibandingkan jaringan substansia alba yang normal.
Lesi aktif multiple sclerosis terdiri dari sel inflamasi seperti limfosit, makrofag, dan astrosit. Pewarnaan myelin menunjukkan hilangnya selubung secara keseluruhan atau tampak lebih pucat dari myelin neuron yang normal. Sel inflamasi seperti limfosit T C8, makrofag, mikroglia, dan astrosit dapat ditemukan pada lesi. Limfosit B, sel plasma, antibodi, dan protein komplemen juga dapat ditemukan di beberapa lesi. Lesi multiple sclerosis paling sering terdapat di periventrikular substansia alba, nervus optikus, dan medulla spinalis. Lesi di periventrikular sering memberikan gambaran Dawson's fingers. [1,17]
Kriteria Diagnosis Multiple Sclerosis
Beberapa kriteria diagnosis telah dikembangkan sejak tahun 1950 untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis multiples sclerosis. Kriteria McDonald pertama kali dikembangkan tahun 2001 dan terakhir kali direvisi pada tahun 2017. Kriteria McDonald digunakan untuk membantu diagnosis multiple sclerosis berdasarkan gejala klinis dan juga hasil pemeriksaan penunjang laboratorium serta pencitraan. [4,22,23]
Tabel 1. Kriteria Diagnosis McDonald 2017
Gejala Klinis | Hasil Pemeriksaan Penunjang |
≥2 serangan dengan gejala klinis multiple sclerosis (+), ≥2 bukti objektif lesi pada sistem saraf pusat (SSP) yang berkaitan dengan serangan | Hasil MRI (+) sesuai multiple sclerosis |
≥2 serangan, 1 lesi SSP | Gambaran dissemination in space pada MRI (riwayat lesi sebelumnya di lokasi yang berbeda) atau follow-up serangan berikutnya untuk melihat adanya lesi baru pada MRI |
1 serangan (clinically isolated syndrome / CIS), ≥2 lesi SSP | Dissemination in time pada MRI atau ditemukannya cincin oligoklonal spesifik pada cairan serebrospinal |
1 serangan (CIS), 1 lesi SSP | Dissemination in space pada MRI dan menunggu serangan kedua + munculnya lesi di tempat yang baru atau dissemination in time pada MRI dan serangan kedua |
Gejala neurologis yang progresif | Progresivitas penyakit selama 1 tahun dan dissemination in space ≥1 lesi pada T2 MRI pada area khas multiple sclerosis, ≥2 lesi fokal di medula spinalis, cairan serebrospinal yang positif |
Sumber : karya dr. Saphira
Keterangan :
Dissemination in space adalah pada T2-weighted MRI tampak ≥1 lesi simtomatik atau asimtomatik pada ≥2 area khas multiple sclerosis yakni korteks atau juxtakorteks, periventrikular, infratentorial, atau spinal
Dissemination in time adalah lesi baru pada T2-weighted MRI pada follow-up atau ditemukannya lesi yang mengalami penyangatan atau tidak mengalami penyangatan saat diberikan kontras gadolinium kapan saja
Clinically isolated syndrome adalah onset gejala klinis multiple sclerosis pertama kali umumnya meliputi gangguan pada nervus optikus, hemisfer serebri, batang otak, serebelum, dan medula spinalis. [23,24]