Diagnosis Spinal Muscular Atrophy
Diagnosis spinal muscular atrophy atau SMA dapat kita curigai pada bayi yang mengalami kelemahan sejak lahir atau progresif tanpa sebab yang jelas. Diagnosis pasti SMA adalah dengan melakukan pemeriksaan genetik dengan ditemukan adanya delesi atau mutasi pada gen SMN1.
Anamnesis
Keluhan utama yang sering disampaikan adalah adanya kelemahan atau hipotonia otot tanpa penyebab yang jelas. Kelemahan lebih berat dirasakan pada otot-otot proksimal. Keluhan ini dapat muncul sejak bayi, anak-anak, atau dewasa, tergantung pada jenis SMA yang diderita. Kekuatan otot dan fungsi motorik akan terus menurun secara progresif.
Terkadang, kelemahan juga dapat memengaruhi otot-otot yang digunakan untuk bernapas dan menelan sehingga menyebabkan kesulitan bernapas dan gangguan makan minum. Hal ini sangat berbahaya terutama pada bayi, dan dapat mengakibatkan tingkat kematian yang tinggi. Pada pasien yang sebelumnya tampak normal namun mulai mengalami kelemahan progresif motorik tanpa sebab yang jelas, perlu ditanyakan riwayat adanya penderita SMA di keluarga.[6]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya kelemahan dan atrofi otot yang lebih sering terjadi pada otot-otot proksimal dibandingkan otot-otot distal. Pada pemeriksaan refleks tendon juga didapatkan adanya penurunan refleks atau bahkan tidak ada reflek tendon. Dapat juga ditemukan adanya fasikulasi lidah sebagai tanda adanya gangguan motor neuron.
Bila sudah mengenai otot-otot pernapasan, dapat pasien dapat mengalami kesulitan bernapas atau kelainan bentuk dada karena kelemahan otot interkostal. Bila sudah mengenai otot menelan, maka juga dapat ditemukan hipotonus pada otot faring yang menyebabkan gangguan menelan. Fungsi sensoris pada pasien tidak mengalami gangguan sama sekali pada pasien dengan SMA.[6]
Klasifikasi SMA
SMA dibagi menjadi 5 tipe berdasarkan manifestasi klinis pasiennya, yaitu SMA 0 sampai 4 (Tabel 1). Manifestasi klinis yang terjadi juga dipengaruhi oleh jumlah transkrip SMN2 pada pasien. Semakin banyak transkrip SMN2 yang dimiliki, maka semakin ringan keluhan yang dirasakan, bahkan pasien masih bisa tampak normal. Namun, karena SMA ini sifatnya progresif, rata-rata pasien tipe 3 dan 4 yang mengalami hidup normal juga dapat mengalami penurunan motorik ketika memasuki usia di atas 40 tahun.[6]
Tabel 1. Klasifikasi SMA
Sumber: dr. Septy Aulia Rahmy Sp.N, 2023[2,4,5]
Tipe 1 Werdnig-Hoffmann Disease:
SMA tipe 1 atau disebut juga Werdnig-Hoffman disease muncul pada onset usia 0 hari sampai beberapa bulan pertama kehidupannya. Bayi akan terlihat mengalami kelemahan yang sifatnya simetris dan progresif. Kelemahan juga memengaruhi otot-otot interkostal sehingga bayi mengalami kesulitan untuk bernapas dan terkadang memerlukan alat bantu napas. Tidak ada refleks tendon dalam pada pemeriksaan fisik.
Pasien dengan SMA tipe 1 ini umumnya tidak mampu mencapai fase duduk, mengalami gagal tumbuh karena kesulitan makan minum serta sering mengalami aspirasi karena kelemahan otot-otot menelan dan diafragmanya. Pasien SMA tipe 1 ini umumnya hanya bertahan hidup beberapa bulan sejak lahir.[2,3]
Tipe 2 Dubowitz Disease:
SMA tipe 2 atau disebut juga dengan Dubowitz disease muncul pada onset usia antara 6 sampai 18 bulan. Pasien sebelumnya masih bisa mencapai kemampuan untuk duduk normal, kemudian mulai mengalami kelemahan dan tidak bisa mencapai kemampuan untuk bisa berdiri ataupun berjalan dengan mandiri. Keluhan yang dirasakan hampir mirip dengan pasien SMA tipe 1 namun umumnya lebih ringan. Gangguan otot pernapasan dan gangguan menelan juga dapat terjadi.[2,3]
Tipe 3 Kugelberg-Welander Disease:
SMA tipe 3 atau disebut juga Kugelberg-Welander disease muncul pada onset usia di atas 18 bulan. Pasien umumnya mengalami perkembangan motorik normal dan mampu duduk, berdiri, serta berjalan secara mandiri namun kemudian mengalami kelemahan yang progresif. Pasien SMA tipe 3 ini umumnya dapat bertahan hidup sampai dewasa, dan gangguan menelan jarang terjadi pada tipe ini.[2,3]
Tipe 4 Adult-Onset Spinal Muscular Atrophy:
SMA tipe 4 muncul pada onset usia dewasa. Pasien dapat tampak normal sebelumnya, kemudian mulai mengalami kelemahan motorik progresif, namun onset keluhan dan manifestasi klinis yang dialami pasien bervariasi pada tipe ini disebabkan karena bergantung pada jumlah transkrip SMN2 pada masing-masing individu. Pada tipe 4, pasien jarang mengalami gangguan menelan maupun gangguan pernapasan.[2,3]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding SMA bervariasi sesuai dengan usia timbulnya.
Onset pada Usia Prenatal hingga Enam Bulan
Diagnosis banding SMA prenatal dan neonatal (tipe 0 dan 1) adalah pada kasus-kasus di mana bayi mengalami gejala hipotonik, di antaranya:
Pompe Disease: Bayi mengalami hipotonia, yang membedakan dengan SMA adalah ditemukan adanya kardiomegali
Prader-Willi Syndrome: Bayi mengalami hipotonia dan kesulitan makan minum, yang membedakan dengan SMA adalah jarang ditemukan adanya gangguan respirasi
Myotonic Dystrophy Type 1: Bayi mengalami hipotonia dan kelemahan otot, yang membedakan dengan SMA adalah adanya kelemahan otot-otot wajah
Zellweger Spectrum Disorder: Bayi mengalami hipotonia, yang membedakan dengan SMA adalah adanya ditemukan hepatosplenomegali
Congenital Myasthenic Syndromes: Bayi mengalami hipotonia, yang membedakan dengan SMA adalah keluhan oftalmoplegia, ptosis dan gagal napas yang sifatnya episodik[6,9]
Onset pada Usia Enam Bulan sampai Masa Kanak-Kanak
Diagnosis banding untuk SMA tipe 2 dan SMA tipe 3 adalah pada kondisi adanya gangguan neuromuskular, di antaranya:
Botulisme: Didapatkan adanya kelemahan otot yang juga lebih sering terjadi pada otot proksimal dan penurunan refleks, yang membedakan dengan SMA adalah onset yang akut dan gangguan lebih sering terjadi pada saraf kranialis
Hexosaminidase A deficiency: Didapatkan gambaran klinis gangguan lower motor neuron pada pasien, yang membedakan dengan SMA adalah progresifitasnya sangat lambat, didapatkan distonia otot, dan ada keterlibatan gangguan kognitif
Duchenne muscular dystrophy (DMD): Didapatkan keluhan kelemahan otot dan regresi motorik, yang membedakan dengan SMA adalah ditemukan peningkatan serum kreatinin kinase sebanyak 10–20 kali lipat dari angka normal
Hirayama disease: Didapatkan kelemahan otot, yang membedakan dengan SMA adalah kelemahan yang dialami dominan pada area leher[6,9]
Onset pada Dewasa
Diagnosa banding SMA yang muncul saat onset dewasa yaitu penyakit neuromuskular yang timbul pada onset dewasa, di antaranya:
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS): Didapatkan kelemahan otot-otot proksimal, atrofi, dan fasikulasi otot, yang membedakan dengan SMA adalah atrofi testikular yang menurunkan fertilitas dan dapat ditemukan adanya ginekomastia yang terjadi secara progresif
Spinal and bulbar muscular atrophy: Didapatkan tanda-tanda gangguan lower motor neuron, yang membedakan dengan SMA adalah didapatkan gangguan pada upper motor neuron[6,9]
Pemeriksaan Penunjang
Uji genetik merupakan pemeriksaan untuk memastikan diagnosis SMA karena penyakit ini disebabkan oleh adanya delesi atau mutasi pada gen SMN1.
Uji Genetik
Pemeriksaan genetik dapat menggunakan polymerase chain reaction (PCR) atau multiplex ligation probe amplification (MLPA) dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas hampir mendekati 100% untuk mendeteksi adanya delesi ekson 7 pada gen SMN1.
Pemeriksaan gen SMN2 juga dapat dilakukan untuk menentukan jenis SMA dan menentukan prognosis pasien, karena semakin banyak SMN2 maka klinis akan lebih ringan dan juga kemungkinan bertahan hidup lebih tinggi.[3,6]
Elektromiografi (EMG)
Selain pemeriksaan genetik, pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektromiografi (EMG) dan biopsi otot, walaupun saat ini pemeriksaan tersebut sudah jarang dilakukan karena adanya uji genetik. Pada pemeriksaan EMG akan didapatkan aktivitas spontan abnormal dengan disertai adanya fibrilasi dan gelombang tajam positif. Amplitudo potensial aksi motorik juga meningkat dan gelombang yang dihasilkan akan memberikan gambaran polifasik.[6]
Biopsi Otot
Pada biopsi otot, didapatkan gambaran atrofi pada serabut otot tipe 1 dan 2 yang diselingi dengan serabut tipe 1 yang mengalami hipertrofi. Serabut otot yang mengalami hipertrofi akan dipersarafi oleh saraf yang memiliki diameter 3–4 kali lebih besar daripada ukuran normal. Biopsi otot ini mungkin akan sulit dilakukan pada bayi baru lahir karena gambaran serabut otot yang belum sempurna dan masih berkembang.[6]