Patofisiologi Salpingitis
Patofisiologi salpingitis akut umumnya melibatkan infeksi asendens dari endoserviks atau vagina ke mukosa tuba falopi. Infeksi dapat disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Gardnerella vaginalis, Escherichia coli, Prevotella bivia, Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, Haemophilus influenzae, Streptococcus spp, dan Bacteroides spp.
Salah satu mekanisme fisiologis pencegah terjadinya infeksi asendens adalah dengan penghalang fisik dari serviks dan mukus. Terjadinya penyakit radang panggul (PID) akibat gonorrhea atau klamidia umumnya lebih sering ditemukan pada fase proliferatif dari siklus menstruasi, yang menyebabkan mukus serviks lebih tipis dan terjadi kontraksi peristaltik dari uterus sehingga cairan bergerak ke arah sefalik.
Tindakan yang melibatkan serviks dan uterus, seperti pemasangan intrauterine device (IUD), biopsi endometrium, serta dilatasi dan kuretase, juga dapat menyebabkan terganggunya peran serviks sebagai penghalang mekanik dan meningkatkan risiko salpingitis. Hubungan seksual dan menstruasi retrograd juga menjadi salah satu cara terjadinya infeksi asendens.
Selain infeksi asendens, salpingitis juga dapat terjadi akibat penyebaran infeksi servikal melalui limfatik parametrial atau juga penyebaran secara hematogen dari fokus infeksi lain.
Infeksi tuba falopi kemudian dapat menyebabkan kerusakan inflamasi supuratif atau fibrinosa pada permukaan epitel tuba falopi dan permukaan peritoneal tuba falopi dan ovarium. Hal ini kemudian dapat menyebabkan adhesi, skar, dan obstruksi tuba falopi yang meningkatkan risiko infertilitas dan kehamilan ektopik.[1,6,7]