Epidemiologi Buta Warna
Menurut data epidemiologi, buta warna jenis merah-hijau merupakan yang paling sering terjadi. Kondisi ini juga lebih banyak dilaporkan pada pria dibandingkan wanita.[9]
Global
Buta warna merah-hijau adalah jenis defisiensi penglihatan warna yang paling umum. Kondisi ini terjadi akibat masalah pada kerucut L (merah) atau M (hijau), bisa karena kelainan kongenital ataupun gangguan didapat seperti retinopati diabetik dan penanganan tuberkulosis. Buta warna merah-hijau kongenital lebih sering ditemukan pada pria dibandingkan wanita, dengan prevalensi sekitar 1 dari 12 pria dan 1 dari 200 wanita.
Deuteranomali, bentuk ringan dari defisiensi merah-hijau, memengaruhi sekitar 5% pria Eropa dan disebabkan oleh pergeseran sensitivitas spektral pada kerucut hijau. Protanopia, yang disebabkan oleh ketiadaan kerucut merah, memiliki prevalensi sekitar 1% pada pria. Kedua kondisi ini umumnya diwariskan secara X-linked recessive.
Achromatopsia, yang mencakup monokromat total dan parsial, jauh lebih jarang terjadi. Monokromat total diperkirakan memiliki prevalensi 1 dari 35.000. Monokromat parsial, yang hanya melibatkan kerucut S, memiliki prevalensi sekitar 1 dari 100.000.[9]
Indonesia
Data epidemiologi buta warna di Indonesia masih belum adekuat. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) tahun 2007, prevalensi buta warna di Indonesia sebesar 7,4%, yang mana tertinggi di Provinsi DKI Jakarta (24,3%).[18]
Mortalitas
Buta warna pada umumnya tidak memengaruhi mortalitas secara langsung, tetapi dapat meningkatkan morbiditas dalam konteks yang memengaruhi kualitas hidup dan keselamatan. Individu dengan buta warna, terutama defisiensi merah-hijau, dapat mengalami kesulitan mengenali sinyal visual penting, seperti lampu lalu lintas, label obat, atau tanda peringatan, yang berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan atau kesalahan medis.
Pada beberapa profesi, seperti pilot, sopir, atau tenaga medis, defisiensi penglihatan warna dapat membatasi peluang karier dan meningkatkan risiko kesalahan kerja. Sementara itu, achromatopsia, yang jarang tetapi lebih berat, dapat menyebabkan fotofobia, gangguan tajam penglihatan, dan kesulitan signifikan dalam aktivitas sehari-hari, terutama di lingkungan dengan pencahayaan terang.[2,3,9]