Patofisiologi Buta Warna
Patofisiologi buta warna melibatkan disfungsi atau ketiadaan sel kerucut di retina, yang bertanggung jawab atas persepsi warna Defisiensi warna bawaan disebabkan oleh mutasi genetik pada kromosom X yang memengaruhi opsin, yaitu protein fotopigmen di sel kerucut, dengan protanopia dan deuteranopia (merah-hijau) sebagai tipe yang paling umum. Buta warna didapat bisa disebabkan oleh glaucoma, retinopati diabetik, atau neuropati optik.[1-5]
Sel Fotoreseptor Retina
Semua proses visual, termasuk penglihatan warna, dimulai dengan absorpsi foton di dalam fotoreseptor di retina. Retina manusia memiliki dua jenis utama fotoreseptor, yaitu sel batang (rods) dan sel kerucut (cones). Sebagian besar fotoreseptor (95%) pada retina adalah sel batang dengan jumlah sekitar 92 juta. Sel kerucut menyusun sebagian kecil (5%) dari keseluruhan fotoreseptor dengan jumlah sekitar 4,6 juta.
Sel batang dapat ditemukan pada hampir seluruh area retina, dan terkonsentrasi pada retina perifer, tetapi sel batang tidak ditemukan di foveola (fovea sentral). Sementara itu, sel kerucut terkonsentrasi di foveola. Sel batang sangat sensitif terhadap cahaya, bahkan dapat menerima sinyal hanya dari satu foton cahaya.
Sel batang berperan penting dalam penglihatan pada tingkat cahaya redup (scotopic) dan pendeteksian gerakan (motion detection). Sel kerucut berperan penting dalam penglihatan pada tingkat cahaya terang, seperti pada siang hari (photopic) dan penglihatan warna (color vision).[2,4-6]
Penglihatan Warna Terkait Fotoreseptor Kerucut
Fotoreseptor kerucut dapat dibagi ke dalam 3 subtipe yang dinamai sesuai dengan puncak sensitivitasnya terhadap spektrum cahaya tampak (visible light). Sensitivitas spektral tiap subtipe sel kerucut ditentukan oleh jenis fotopigmen yang terkandung di dalamnya. Fotopigmen tersusun dari chromophore dan protein.
Semua fotopigmen memiliki komponen chromophore yang sama (11-cis retinal). Namun, komponen protein (opsin) dapat bervariasi. Ketiga subtipe fotoreseptor kerucut meliputi:
- Fotoreseptor kerucut yang sensitif terhadap gelombang panjang (long-wavelength sensitive) disebut kerucut L atau kerucut merah (L-cones).
- Fotoreseptor kerucut yang sensitif terhadap gelombang sedang (medium wavelength sensitive) disebut kerucut M atau kerucut hijau (M-cones).
- Fotoreseptor kerucut yang sensitif terhadap gelombang pendek (short-wavelength sensitive) disebut kerucut S atau kerucut biru (S-cones).[1,7]
Sebagian besar (94%) subtipe fotoreseptor kerucut adalah kerucut L dan M. Kedua subtipe tersebut terkonsentrasi pada fovea sentral. Sementara itu, kerucut S terletak di retina perifer dan tidak terdapat di fovea. Untuk menghasilkan penglihatan warna trichromatic yang normal, ketiga subtipe fotoreseptor kerucut harus ada dan berfungsi sesuai dengan puncak sensitivitas spektralnya.[1,2,7,8]
Mekanisme Terjadinya Buta Warna
Buta warna terjadi karena perubahan atau kehilangan fungsi pada satu atau lebih fotoreseptor kerucut. Meski dapat disebabkan oleh kelainan didapat, misalnya retinopati diabetik dan efek samping obat seperti ethambutol, istilah buta warna biasanya merujuk pada kelainan bawaan atau kongenital.[2]
Defisiensi Penglihatan Warna Merah-Hijau
Terdapat empat mekanisme patologis yang menyebabkan defisiensi penglihatan warna merah-hijau:
- Delesi parsial atau komplit dari locus control region mengakibatkan terminasi transkripsi (transcriptional termination) dari susunan gen opsin
- Rekombinasi non-homolog antara susunan gen opsin L dan opsin M yang kemudian diikuti inaktivasi (inactivating mutation atau loss-of-function mutation)
- Delesi suatu exon secara komplit dari susunan gen opsin
- Konversi gen (gene conversion) dengan mutation transfer antara OPN1LW (Opsin 1 Long Wave Sensitive) dan OPN1MW (Opsin 1 Medium Wave Sensitive).[2]
Defisiensi Penglihatan Warna Biru-Kuning
Defisiensi penglihatan warna biru-kuning memiliki patomekanisme yang lebih sederhana. Mutasi missense pada gen yang mengkode opsin S mengakibatkan terjadinya substitusi asam amino di dalam sekuens opsin S. Selain missense, terdapat juga literatur yang melaporkan bahwa defisiensi penglihatan warna biru-kuning berkaitan dengan splicing defect pada OPN1SW dan haploinsufisiensi.[2,8,9]
Terjadinya Akromatopsia
Penerimaan sinyal oleh fotoreseptor akan memulai serangkaian proses yang disebut kaskade fototransduksi. Proses ini bertujuan untuk mengubah sinyal menjadi sinyal (impuls saraf) yang dapat diteruskan ke otak. Gangguan pada proses fototransduksi di sel kerucut dapat menyebabkan gangguan penglihatan warna. Mutasi pada gen yang mengode komponen fototransduksi sel kerucut, seperti CNGA3, CNGB3, PDE6C, PDE6H, dan GNAT2 dikaitkan dengan kejadian buta warna total (achromatopsia).[9,10]
Sel fotoreseptor menanggapi stres retikulum endoplasma melalui unfolded protein response (UPR). Respon ini bertujuan untuk memfasilitasi proses protein folding di retikulum endoplasma dan mengurangi jumlah protein yang misfolded. Pada retina, activating transcription factor 6 (ATF6) meregulasi proses awal UPR untuk mengembalikan homeostasis. Mutasi pada gen ATF6 dapat menyebabkan disfungsi fotoreseptor kerucut dan terjadinya achromatopsia.[11,12]
Klasifikasi Buta Warna
Defisiensi penglihatan warna kongenital disebabkan oleh ketiadaan atau kelainan fotoreseptor kerucut. Keadaan ini dapat dikelompokkan menjadi trikomat anomali, dikromat, dan monokromat.[9]
Gambar 1. Klasifikasi Buta Warna
Trikromat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu protanomaly (defek pada kerucut L), deuteranomaly (defek pada kerucut M), dan tritanomaly (defek pada kerucut S). Secara klasik, protanomaly dijelaskan sebagai kondisi dengan kerucut M normal dan kerucut L yang mengalami pergeseran sensitivitas, sedangkan deuteranomaly melibatkan kerucut L normal dan kerucut M yang bergeser sensitivitasnya.
Namun, konsep lain menyatakan bahwa pada protanomaly, kerucut L tidak ada, tetapi individu memiliki dua tipe kerucut M (M dan M’) dan satu kerucut S, dengan M’ memiliki sensitivitas bergeser ke panjang gelombang lebih panjang. Sebaliknya, pada deuteranomaly, kerucut M tidak ada, tetapi terdapat dua tipe kerucut L (L dan L’), dengan L’ bergeser ke panjang gelombang lebih pendek.
Dikromat terjadi akibat ketiadaan salah satu tipe kerucut dan dibagi menjadi protanopia (tidak ada kerucut L), deuteranopia (tidak ada kerucut M), dan tritanopia (tidak ada kerucut S). Pada monokromat, setidaknya dua tipe kerucut tidak ada, seperti pada rod monochromacy (ketiadaan total kerucut) atau blue-cone monochromacy (hanya kerucut biru yang ada).[1,13,14]